KONSEP
TUHAN
Oleh: Hafidh Fadhlurrohman[1]
Pembicaraan tentang Tuhan merupakan pembicaraan yang menyedot
pemikiran manusia sejak jaman dahulu kala. Manusia senantiasa bertanya tentang
siapa di balik adanya alam semesta ini. Apakah alam semesta terjadi dengan
sendirinya ataukah ada kekuatan lain yang mengatur alam semesta ini.
Bertitik-tolak dari keinginan manusia untuk mengetahui keberadaan alam semesta
ini, maka manusia mencoba mengkajinya sesuai dengan kemampuan akal yang
dimilikinya. Hasil dari kajian-kajian yang dilakukan, manusia sejak jaman
primitif sudah mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang
disebut dengan Tuhan.
Namun, kepercayaan kepada adanya Tuhan berbeda-beda. Hal ini
disebabkan karena perbedaan tingkat kemampuan akal manusia. Menurut Ibnu
Thufail yang menulis kisah novel Hayy bin Yaqdzan mengatakan bahwa manusia
dengan akalnya mampu mempercayai adanya Tuhan.
Menurut Stephen Hawking, orang ateis berasumsi bahwa tuhan itu ada
namun dia tidak turut campur dalam pengaturan alam. Lalu asumsi ateis kedua
mengatakan bahwa tuhan tidak ada dan segalanya adalah akibat dari gravitasi.
Jadi menurut Stephen orang ateis itu seperti Anak Baru Gede
(ABG) yang jatuh cinta, tidak mengaku adanya tuhan tapi obrolannya melulu soal
tuhan.
Kalaulah kita kaji mitologi Yunani, yang menurut kepercayaan
mereka dewa adalah pengatur seluruh kehidupan. Dalam mitologi Yunani, dewa
terkuat pertama itu adalah Auranus. Namun dewa dalam mitologi Yunani itu ia
bisa menikah, melahirkan dan banyak sifat-sifat yang memang serupa dengan
manusia biasa hanya saja dalam pandangan masyarakat Yunani dewa itu mempunyai
kekuatan yang lebih daripada mereka. Pada saat Auranus menjabat sebagai dewa
terkuat pada saat itu ia memiliki ketakutan akan lahirnya anak dia yang lebih
kuat dari pada dirinya. Sehingga dalam kisah mitologi Yunani dewa Auranus ini
ketika istrinya akan melahirkan anak, Auranus mencoba memasukkan kembali
anaknya kedalam rahim
istrinya namun hal ini gagal dan lahirnya anaknya yang bernama Chronos. Dan apa
yang ditakutkan oleh Auranus ini memang benar-benar terjadi, anaknya yang
bernama Chronos ini memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan dengan ayahnya
yaitu Auranus. Sehingga Chronos mengalahkan ayahnya dan ia menjabat sebagai
dewa terkuat dalam mitologi Yunani. Bercermin kepada ayahnya saat menjadi dewa
sebelum dirinya, yang ketakutan akan adanya generasi yang lebih kuat darinya
sehingga hal itupun dirasakan oleh Chronos. Saat istri Chronos hamil, Chronos
mencari cara supaya istrinya gagal saat melahirkan anaknya. Lalu ketika hendak
melahirkan, karena cara Auranus yang memasukkan kembali bayinya ke dalam rahim
gagal pada dulu kala, Chronos mempunyai cara yang berbeda untuk menggagalkan
lahirnya seorang anak dewa, yakni dengan memakan anaknya. Namun cara itupun gagal
dan lahirnya anak Chronos yang bernama Zeus. Dan hal serupa pun terjadi, Zeus
lebih kuat dengan senjata terkuatnya yakni petir dan elang karena hal itu Zeus
pun bisa mengalahkan ayahnya Chronos dengan bantuan kakak-kakanya juga, dan
Zeus mempunyai jabatan tertinggi sebagai dewa terkuat Yunani.
Dalam mitologi Yunani Zeus adalah dewa
terkuat Yunani namun tidak mengetahui segala hal, ia pun memakan istrinya yang
bernama Metis, cintanya ditolak Demeter, ia pun memiliki istri banyak dan istri
terakhirnya bernama Hera; dinikahi setelah diperkosa oleh Zeus, juga Zeus
memperkosa Europa dan mencampakkannya, lalu banyak lagi karakter negatif yang
Zeus miliki di samping dirinya yang paling kuat.
Nah dengan karakter negatif itu, akhirnya
orang-orang Yunani pun kebingungan dengan term kebenaran. Karena memang dewa
mereka tak mengajarkan kebenaran kepada mereka, sehingga dalam buku-buku
filsafat yunani ada teori tentang kebenaran, dari situlah asal muasalnya
mengapa pemikir Yunani menciptakan teori-teori kebenaran.
Karena konsep Tuhan yang kita fahami, akan
berpengaruh pada cara berfikir kita. Konsep Islamic worldview mempunyai karakteristik yang bersifat
otentik dan final. Maka konsep Islam tentang Tuhan, menurut Prof. Naquib
Al-Attas, juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan konsep
Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam al-Quran yang juga
bersifat otentik dan final. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas
yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan
konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan
dalam filsafat Barat modern, ataupun
dalam tradisi mistik Barat dan Timur.
Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama
Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak
boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang
dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam al-Quran[2]. Dengan
adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad – yang sampai
pada Rasulullah saw – maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah
dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama
Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah. Dengan demikian, "nama
Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena menemukan
sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw.
Umat Islam tidak
melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu
sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT melalui al-Quran, dan diajarkan
langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.
Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper
name) dari Dzat yang Maha Kuasa, yang
memiliki nama-nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan
nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan
kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang
Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak
diperanakan, dan tidak ada sesatupun yang serupa dengan Dia (QS Al-Ikhlas). Dan
syahadat Islam pun jelas: “Laa ilaaha illallah, Muhammadurr Rasulullah”
Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Syahadat Islam
ini juga bersifat final dan tidak mengalami perubahan sejak zaman Nabi Muhammad
saw sampai hari kiamat. Kaum muslim di seluruh dunia dengan latar belakang
budaya dan bahasa yang berbeda juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara
yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang
mendasar dalam masalah konsep Tuhan. Karen Amstrong menulis dalam bukunya:
"al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis,
mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu
yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin
Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan
contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai
penghujatan."[3]
Dalam Islam ada istilah ma’rifatullah yakni
mengenal Allah, ada tiga cara terkait mengenal Allah: dengan panca indera,
dengan akal dan dengan wahyu. Islam adalah agama yang sangat jelas menerangkan
jati diri Tuhan dalam kalam-Nya, meskipun dalam bentuk yang abstrak.
[1]
Ia adalah Ketua Hima Persis
Al-Imarat Bandung periode 2017-2018, mahasiswa semester 4 jurusan Ilmu Al-Quran
Tafsir STAI Persis Bandung, Peserta Sekolah Pemikiran Islam Bandung Angkatan 4
[2] Salah
satu syarat qiraah yang sahih dalam al-Quran adalah bahwa bacaan itu harus
ditetapkan berdasarkan sanad yang mutawatir atau shahih, bukan berdasarkan
spekulasi akal. Qiraat ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada
Rasulullah saw. Karena itu, ketika bertemu dengan huruf Alif Lam Lam ha
(Allah), orang Islam pasti akan membaca dengan "Alloh", bukan "Allah". Ketika bertemu dengan huruf Alif Lam
Mim, maka akan dibaca dengan "Alim Lam
Mim" dengan panjang pendek tertentu.
Tentang ilmul Qiraat bisa dilihat dalam berbagai Kitab Ulumul Qur'an. Ali As-Shabuni,
misalnya, menulis bahwa qiraat "tsabitatun
bi asanidiha ila Rasulillahi shallallahu 'alaihi wa sallam". (Lihat, Muhammad Ali as-Shabuni, at-Tibyan fi Ulumil Quran, (Beirut:
Darul Irsyad, 1970), hal. 249). Tradisi Islam dalam qiraat berdasarkan sanad
ini sangat menarik jika dibandingkan dengan tradisi Yahudi-Kristen yang tidak
mengenal 'sanad' sehingga mereka kehilangan jejak untuk menentukan bagaimana
membaca satu manuskrip, termasuk dalam mengucapkan nama Tuhannya.
No comments:
Post a Comment