Menangkal Sekularisme dan Liberalisme di Dunia Pendidikan

Masa kejayaan Islam baik di Barat (Cordova) maupun di Timur (Baghdad) di tandai dengan warisan tradisi ilmu pengetahuan yang sangat luas. Para ilmuwan muslim mulai dari Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Ibnu Batutah dan juga yang lainnya seakan berlomba dalam menciptakan teori di berbagai disipilin ilmu. Pada masa kejayaan Islam, kalangan intelektual Barat banyak menimba ilmu dari Islam, karena intelektual muslim merupakan produsen ilmu pengetahuan.




Dalam penemuan berbagai teorinya, di berbagai disipilin ilmu, dalam membangun argumentasi teoritisnya kalangan intelektual muslim, tidak pernah melepaskan unsur tauhid dalam ilmu pengetahuan. Tauhid merupakan pijakan pokok dalam mengembangkan berbagai teori keilmuan. Dengan demikian, tidak ada keterpisahan antara nilai-nilai yang transcenden dengan alam nyata yang menjadi objek observasi.

Seiring dengan runtuhnya kekhalifahan Islam dan redupnya temuan ilmu pengetahuan di masyarakat muslim, maka Barat mengambil alih posisi dalam peradaban dan ilmu pengetahuan. Tradisi pengetahuan islam beralih dari agresif - melahirkan banyak teori - menjadi kensorvatif hanya menghafal. Seperti kita dapatkan hari ini, banyak perguruan yang hanya berorientasi pada hafalan, sementara penalaran seakan menemui jalan buntu.

Dasar Pemikiran Pendidikan Islam

Beberapa cendekiawan muslim seperti Ismail Raj'i Al-Farouqi, Syed Naqib al-Attas, dan yang lainnya berpendapat bahwa problem utama dalam dunia pendidikan saat ini adalah kuatnya anggapan bahwa "agama" dan "ilmu" adalah dua ranah yang berbeda yang tak mungkin dipersatukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri terpisah antara satu dengan yang lainnya.

Perbedaan antara agama dan ilmu semakin hari semakin jauh, ibarat deret ukur terbalik dan membawa akibat yang tidak nyaman bagi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Dikotomi ilmu pengetahuan ini semakin menemukan pijakannya manakala Barat menjadi pusat dunia pendidikan. Ironisnya dunia Islam, hanya mengekor pada apa yang dilahirkan oleh Barat, seperti diungkapkan oleh Sophie Bessis dalam bukunya Western Supermacy Triumph of an Idea, bahwa dunia selain Barat saat ini hanya mengikuti pemikiran yang dikembangkan oleh Barat. Sebab hanya Baratlah yang memproduksi berbagai macam teori.

Diagnosa terhadap masalah utama pendidikan yaitu adanya dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan, maka M. Naquib Al-Attas, Ismail Raj'i Al-Farouqi beserta intelektual muslim lainnya mengkontruksi ulang bangunan ilmu dalam perspektif Islam. Dari hasil kajian mereka ditemukanlah teori yang sering disebut "islamisasi ilmu pengetahuan" (islamization of knowledge). Inti pokoknya adalah mengikat semua ilmu dengan "Tauhid" agar tidak terjadi dikotomi seperti yang disaksikan saat ini.

Nor Wan Daud Wan Mohd, dalam bukunya filsafat Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, menjelaskan bahwa ide islamisasi ilmu pengetahuan atau lebih tepatnya islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer lahir berangkat dari anggapan bahwa ilmu pengetahuan kontemporer tidak bebas nilai dan tidak universal. Selanjutnya Prof M. Naquib Al-Attas menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan modern sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan dan filsafat yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman Barat.

Pemikiran Barat yang banyak mempengaruhi terhadap kelahiran ilmu modern adalah pemikiran sekularisme dan materialisme. Sekularisme di sini melibatkan tiga komponen terpadu; “penolakan unsur ruhiyyah dalam alam semesta, memisahkan agama dan politik, dan penolakan terhadap adanya nilai-nilai yang mutlak seperti nilai dari wahyu Allah Swt. (Al-Quran dan Sunnah)”. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri.

Karenanya tugas Islamisasi ilmu yang paling pokok adalah menyingkirkan terlebih dahulu bias-bias pemikiran sekuler dalam semua disiplin ilmu pengetahuan, termasuk pemikiran sekuler dalam ilmu agama yang dikenalkan oleh para pemikir yang dikenal dengan sebutan “Islam Liberal”. Setelah itu, setiap landasan ilmu pemikirannya didasarkan pada pandangan dasar Islam (Islamic worldview). Dengan sendirinya berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu itu akan sesuai dengan Islam dan tidak akan terjadi “dikotomi” dalam hal keilmuan apapun.

Cakupan Islamisasi ilmu di atas menunjukkan bahwa Islamisasi ilmu utamanya adalah persoalan epistimologi dan metodologi. Hasilnya nanti adalah ilmu-ilmu yang bisa jadi hampir sama dengan yang telah ada sebelumnya, namun landasan dasar dan paradigmanya adalah “Islam”. Oleh Sebab landasan dasar yang sama, maka antara yang sering disebut “ilmu agama” dan “ilmu umum” (ilmu sekuler) akan memiliki bobot nilai yang sama pada taraf tertentu sehingga tidak perlu dipertentangkan. Keduanya akan terintegrasikan secara epistimologi.

Sebagai konsekuensi gerakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini dalam pengajaran adalah adanya sintesis kreatif diantara kedua domain ilmu agama dan ilmu umum saat diajarkan di berbagai lembaga-lembaga pendidikan Islam. Oleh karena yang dirujuk dalam Islamisasi ilmu ini adalah apa yang sudah dilakukan para ulama dahulu saat zaman kejayaan Islam, maka sebetulnya dalam pengajaran pun sudah dipraktikan sejak dulu.

Integrasi dalam pengajaran dan pendidikan Islam sebagaimana dicontohkan para ulama terdahulu adalah menghidupkan kembali pengajaran “Fardhu ‘ain” dan “Fardhu Kifayah”. Pengajaran fardhu ‘ain yang harus dipelajari setiap orang dengan peminatan ilmu apapun adalah pengajaran agama (‘ulum al-syar’iyyah) dengan ukuran sejauh yang akan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara ilmu fardhu kifayah adalah semua disiplin ilmu yang dibutuhkan oleh manusia, termasuk ilmu-ilmu agama bagi calon-calon pengajar agama, da’i, dan ulama. Walapun di lapangan nantinya pasti setiap orang akan memiliki keahlian yang berbeda-beda namun semuanya akan diikat oleh ikatan yang sama, yaitu “Islam” yang dijadikan pegangan dalam hidupnya. 


*diambil dari beberapa sumber

No comments:

Post a Comment