MAKALAH
KONSEP KETUHANAN; TAUHIDULLAH SEBAGAI
PANDANGAN HIDUP
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
mengikuti MAKKAH PW. Hima Persis Jawa Barat
Ditulis oleh: Hafidh Fadhlurrohman (Kader
Hima Persis Kota Bandung)
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt
yang telah memberikan nikmat yang luar biasa kepada kita semua, baik itu nikmat
iman maupun nikmat islam, semuanya wajib kita syukuri dengan segala bentuk
ketaatan kita kepada Allah swt. Allah swt juga memberikan nikmat sehat yang selalu
kita terima setiap hari dan disetiap saat, mudah-mudahan dengan nikmat sehat
ini menjadi salah satu alasan kita untuk tetap semangat dalam mencari ilmu dan
juga menyebarkan ilmu yang telah kita dapat kepada orang lain yang memang wajib
kita sampaikan.
Penulis menyadari, bahwa
dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena kami sadar
kami masih dalam proses belajar yang tetap harus menyempurnakan keilmuan dan
wawasan kami. Oleh
karena itu saran atau kritikan yang positif dari para pembaca sangat penulis
harapkan,sehingga penulisan makalah ini menjadi lebih sempurna.
Semoga makalah ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya para
pembaca yang budiman. Akhirnya, hanya kepada Allah swt jugalah penulis memohon
maaf dan mudah-mudahan dengan makalah ini memberikan petunjuk-Nya ke jalan yang
lurus yang diridhai-Nya, Aamiin.
Bandung, Oktober 2019
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI.................................................................................................... 2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG........................................................................... 3
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................... 3
C. TUJUAN PENULISAN......................................................................... 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT TUHAN.............................................................................. 6
B. TUHAN DALAM SEJARAH PEMIKIRAN MANUSIA DAN
AGAMA
..................................................................................................................... 11
C. TAUHID SEBAGAI PERBANDINGAN.............................................. 20
D. TAUHID SEBAGAI LANDASAN DAN PANDANGAN HIDUP...... 38
BAB III
PENUT
A. KESIMPULAN...................................................................................... 43
B. SARAN.................................................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 45
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembicaraan tentang Tuhan merupakan pembicaraan yang
menyedot pemikiran manusia sejak jaman dahulu kala. Manusia senantiasa bertanya
tentang siapa di balik adanya alam semesta ini. Apakah alam semesta terjadi
dengan sendirinya ataukah ada kekuatan lain yang mengatur alam semesta ini.
Bertitik-tolak dari keinginan manusia untuk mengetahui keberadaan alam semesta
ini, maka manusia mencoba mengkajinya sesuai dengan kemampuan akal yang
dimilikinya. Hasil dari kajian-kajian yang dilakukan, manusia sejak jaman
primitif sudah mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang
disebut dengan Tuhan.
Namun, kepercayaan akan adanya Tuhan ini berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena perbedaan tingkat
kemampuan akal manusia. Menurut Ibnu Thufail yang menulis kisah novel Hayy bin
Yaqdzan mengatakan bahwa manusia dengan akalnya mampu mempercayai adanya Tuhan.
Karen Amstrong dalam bukunya The
History of God menunjukkan dimensi kesejarahan konsep tentang Tuhan.
Manusia adalah makhluk sejarah, oleh karena itu nama-nama Tuhan pun muncul
dalam konteks sejarah dan agama. Dan manusia hidup dengan berbagai etnik dan
budaya, maka varian-varian tentang Tuhan pun ada di dalamnya.
Manusia pada mulanya telah meyakini
adanya suatu kekuatan yang menjadi penyebab tercipta dirinya dan alam semesta,
sesuatu yang dianggap mahakuasa, yang bisa mendatangkan kebaikan juga
keburukan. (Amstrong, ,Zaimul, 2002: 27)
Amstrong pun mengutip pendapat Wilhelm
Schmidt yang menyatakan bahwa manusia telah ada pemahaman monoteisme primitif
sebelum manusia menyembah banyak dewa. Artinya sejak dulu manusia sudah
menciptakan satu Tuhan yang ia anggap sebagai kekuatan yang sangat besar.
(Amstrong, ,Zaimul, 2002: 27).
Dalam sebuah worldview, konsep
Tuhan menduduki posisi yang sentral. Keyakinan akan Tuhan dan begitupula
sebaliknya akan mempengaruhi pola pikir dan pola hidup manusia dalam melakukan
keseharianya. Antara yang meyakini adanya Tuhan dan yang tidak meyakini pasti
akan berbeda pula dalam menyikapi persoalan kehidupan. Pun mereka yang beragama
akan mengalami berbagai perbedaan terkait konsep Tuhan ini sesuai ajaran
agamanya masing-masing.
Para pemeluk agama meyakini bahwa
Tuhan-lah yang telah menciptakan dirinya dan segala sesuatu di sekelilingnya.
Oleh karena itu, Tuhan pula lah yang lebih mengetahui segala luka liku
kehidupan yang ada di alam semesta hingga pada akhirnya Tuhan dijadikan sebagai
sumber pencarian makna kebenaran.
Dalam pandangan Islam, konsep ketuhanan
disebut ilmu tauhid. Dimana di dalamnya mengajarkan manusia untuk meng-esa-kan
tuhannya lalu sebagai disiplin ilmu, ilmu tauhid mempunyai karakter, manhaj dan
lain sebagainya yang kadang belum difahami oleh umat muslim secara keseluruhan.
Dan kerap kali umat Islam tidak bisa mengkontekstualisasikan pandangan hidup
tauhidnya dalam hidup bermasyarakat, kiranya hal ini perlu dikaji lebih dalam.
Pembahasan tentang konsepsi-konsepsi ketuhanan
yang merupakan salah satu kajian pokok dari filsafat agama dianggap penting
untuk dilakukan penelitian lebih dalam.
B.
Rumusan
Masalah
Beberapa
pokok yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hakikat
Tuhan?
2. Bagaimana
Sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan ?
3. Bagaimana
pemikiran tentang Tuhan
menurut agama-agama?
4.
Bagaimana pandangan Tauhid sebagai perbandingan?
5.
Bagaimana menjadikan Tauhid sebagai landasan dan
pandangan hidup?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui hakikat Tuhan
2.
Mengetahui sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan
3.
Mengetahui pemikiran agama-agama terkait tuhan
4.
Mengetahui pandangan tauhid sebagai perbandingan
5.
Mengetahui tauhid sebagai landasan dan pandangan hidup
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Tuhan
Dalam
literatur umum, ilmu tentang ketuhanan disebut dengan Theologi. Perkataan
theologi berasal dari kata “Theology” (bahasa inggris) atau berasal dari
kata “Theologie” (bahasa Prancis dan Belanda). Baik Inggris, Prancis
ataupun Belanda mengambil kata Theologi dari bahasa latin atau bahasa Greek
tua.
Dalam bahasa
latin, “Theology” terdiri dari dua suku kata, yaitu “Theo” yang
berarti sebutan atau panggilan terhadap dewa, dan kata “Logia” atau “Logos”
yang bermakna akal, teori atau ilmu. Jadi dasarnya, “Theology” ialah
ilmu tentang dewa.
Dalam
perkembangan ilmu-ilmu keagamaan selanjutnya, “Theo” diartikan sebagai
Tuhan, sehingga “Theology” diartikan ilmu yang membahas tentang Tuhan
dan hubungannya dengan manusia. Maka bahasa Indonesia pun mengikuti
perkembangan tersebut dan kata Teologi itu diartikan dengan ilmu tentang
ketuhanan. (Salamudin dan Hadis, 2016: 1-2)
Manusia
adalah makhluk yang bertanya. Ia selalu bertanya. Apapun yang berhadapan
dengannya selalu dipertanyakan. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah
sampai. Tidak ada pengetahuan yang bisa membuatnya tak lagi bertanya lebih
lanjut. (Suseno, 2015:17)
Franz
menyebutkan manusia bersifat demikian karena ia memang memerlukan pengetahuan.
Ada dua kenyataan yang membuatnya selalu ingin mengetahui lebih jauh. Pertama
tentu hanya dengan tahu manusia dapat bertindak, ia bertindak dengan segala
macam alasan dan yang paling dasar ialah ia terdorong untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya seperti makan, minum, dan lain sebagainya. Karena itu,
ia harus tahu. Misalnya, tahu dari mana ia memperoleh makan dan minum.
Tetapi yang
kedua menurut Franz, manusia selalu ingin mengetahui lebih jauh karena sifat
dasar manusia, yakni manusia berwawasan tak terbatas. Pengetahuan manusia
selalu terbatas tetapi wawasan tidak terbatas. Maka tak ada pengetahuan yang
dapat memenuhi cakrawala perhatiannya, dan karena itu manusia bertanya terus.
Ketika
seorang manusia mencapai usia kematangan, ia akan menemukan fase pencarian
dimana banyak pertanyaan-pertanyaan muncul dalam dirinya. Dari mana ia berasal,
kemana ia akan pulang, oleh siapa ia diciptakan, bagaimana alam semesta diciptakan, siapa yang
menciptakan alam semesta. Ia mendorong untuk selalu bertanya terus karena ingin
mencapai pengetahuan yang lebih benar lagi. Manusia, lain daripada binatang,
bahkan ingin tahu demi untuk tahu. Dan karena itu juga manusia bertanya tentang
Tuhan.
Arnold
Toynbee, seorang pakar yang mempelajari sejarah perkembangan pemikiran manusia
mengemukakan bahwa agama berada pada posisi yang sentral. Dalam artikel
hariannya ia menulis:
“saya berkeyakinan bahwa agama memegang kunci penting
untuk memahami apa yang dinamakan misteri eksistensi”
Manusia-semesta-Tuhan menjadi masalah yang krusial dalam perkembangan
pemikiran manusia.
Agama
menurut Oxford Dictionary adalah keyakinan pada kekuatan besar yaitu Tuhan Yang
Maha Esa atau dewa-dewa yang dipatuhi dan disembah. Namun keyakinan terkait
agama ini dalam perkembangannya banyak yang menggugat dari kaum yang tidak
mempercayai adanya Tuhan. Mereka tidak mempercayai Tuhan dengan alasan bahwa
keberadaan Tuhan tidak dapat dirasakan oleh panca indera. Padahal mereka yang
berkata hanya meyakini apa-apa yang ditangkap oleh indera, mereka pun tidak
dapat mengingkat realitas yang terjadi di kehidupan mereka yang tak bisa
ditangkap oleh panca indera, semisal hukum gravitasi, adanya rasio atau akal
pikiran, dan lain sebagainya.
Zakir Naik menjelaskan
dalam tulisannya yang berjudul “Konsep Tuhan dalam Agama-agama Besar Dunia”
bahwa orang-orang yang beriman berkeyakinan bahwa alam semesta diciptakan oleh
Tuhan, berbeda dengan orang atheis yang berkeyakinan bahwa alam semesta hadir
dengan sendirinya, secara kebetulan (koinsidens).
Koinsidens,
dalam batas-batas tertentu dapat kita fahami, satu-dua kali mungkin saja
terjadi. Namun ketika permasalahan semakin besar dan kompleks asumsi koinsidens
menjadi sesuatu yang tak rasional. Alam semesta dengan segala hukum, aturan dan
kompleksitasnya yang sangat sempurna menurut manusia yang berpikiran sehat
adalah mustahil untuk tercipta secara kebetulan.
Bahkan pada
diri manusia itu sendiri dengan sistem biologi yang rumit, kompleks namun tertata
secara sempurna itu adalah campur tangan Tuhan.
Lalu apa
yang dimaknai sebagai Tuhan? Kalau kita mengutip wikipedia terkait makna Tuhan,
di sana dikatakan bahwa Tuhan dipahami sebagai Roh Mahakuasa dan asas dari
suatu kepercayaan. (Wikipedia) Artinya sebagian besar memahami bahwa Tuhan itu
ialah zat supranatural yang menciptakan langit bumi beserta isi-isinya.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuhan adalah sesuatu yang diyakini, dipuja,
disembah oleh manusia, sebagai yang Maha Kuasa, Maha Perkasa dan lain sebagai
nya. Kalimat
Tuhan dapat dipergunakan untuk apa saja yang dipuja dan disembah oleh manusia.
baik persembahan yang benar atau yang salah.
Terkait
Tuhan Plato berpendapat bahwa semua orang percaya akan eksistensi Tuhan, jika
tidak maka Tuhan bukan suatu konsep yang universal. Tuhan bukanlah fiksi,
melainkan realitas yang paling pasti dan tidak patut diragukan.
Bagi Aristoteles, Tuhan adalah
penggerak alam. Menurut teori actus potensi alam adalah
objek yang memiliki potensi untuk melakukan perubahan. Perubahan di sini
artinya adalah tujuan. Dengan kata lain, alam memiliki potensi untuk
merealisasikan dirinya sesuai dengan tujuannya. Tujuan dari setiap objek yang
terdapat dalam alam semesta adalah actus purus, yaitu Tuhan (Hadiwijono,
2005:51)
Imadudin dalam bukunya yang berjudul Kuliah Tauhid menjelaskan
bahwa Tuhan ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai (didominasi)
olehnya. Pendapat ini perlu kita artikan secara luas, termasuk di dalamnya yang
dicinta, dipuja, diagungkan, dan diharapkan memberikan kemaslahatan dan atau
kegembiraan serta termasuk pula yang ditakuti untuk mendatangkan bahaya.
Lalu Imadudin pun mengutip pendapat Yusuf Qardhawi ketika menjelaskan
Tuhan, menurutnya Tuhan ialah yang dipuja dengan kecintaan hati, tunduk
kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya,
kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal
kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan
menimbulkan ketenangan di saat mengingat dan terpaut cinta kepadanya.
(Imadudin, 1989: 56).
Berdasarkan uraian di atas, dapat difahami bahwa Tuhan bisa berbentuk
apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Dan menurut Imadudin bahwa manusia
tak mungkin atheis, tidak mungkin tidak bertuhan. Sekalipun ia berfaham atheis
sebetulnya ada sesuatu yang ia tuhankan. (Imadudin, 1989: 57).
Lalu banyak pemikir-pemikir Islam yang menjelaskan Tuhan dalam worldview
Islam, dalam pandangan
Syeikh Siti Jenar Tuhan merupakan Dzat yang melingkupi materi dan alam jiwa
sekaligus, sehingga wujud Tuhan tidak mampu diindera oleh manusia dan makhluk
lain yang diciptakan olehNya. Indera manusia hanya bisa digunakan
untuk mengindera hal-hal yang berwujud
materi saja, yang sangat terbatas jumlahnya.
Dengan
demikian, Dzat Tuhan yang juga melingkupi alam jiwa dan alam esensi tak akan mampu diserep oleh indera.
Pemaknaan tentang Tuhan tidak akan mampu
menunjukkan kesejatian Tuhan. Berdasarkan uraian diatas mengenai konsep Tuhan menurut Syeikh Siti Jenar dapat
disimpulkan bahwa Tuhan tidak dapat didefenisikan
secara mendasar, sebab pemahaman maupun bahasa yang digunakan oleh manusia tidak akan pernah mampu untuk
mengungkapkan esensi dan kesejatian dari
Tuhan itu sendiri.
Menurut Nasr Tuhan adalah Dzat yang Maha Suci, sehingga untuk mendekati Nya seseorang harus dalam keadaan
suci. Oleh karena itu, orang-orang sufi berusaha untuk mensucikan dirinya
demi perjumpaannya
dengan Dzat yang Maha Suci tersebut.
Sementara
itu, menurut Al-Suhrawadi Tuhan adalah “Nur al-Anwar” atau cahaya dari
segala cahaya dan merupakan wujud realitas yang bersifat absolute dan tidak
terbatas, karena tidak terbatas sehingga atas kehendak Nya, maka segala sesuatu
yang ada di dunia ini beserta isinya tercipta. Nur al-Anwar adalah Dzat Tuhan,
yaitu Allah swt yang memancarkan cahaya-cahaya terus menerus secara berkesinambungan
dan melalui sinar-sinar itu, maka terciptalah segala wujud dari segala
kehidupan.
Menurut Ibnu
Thufail Tuhan adalah Dzat yang sempurna yang memberi
eksistensi kepada segala sesuatu.Thufail mengatakan bahwa Tuhan merupakan Wajibul
Wujud, maksudnya yang memberikan bentuk kepada segala yang ada dan Dia
adalah sebab effesien yang menciptakannya Dia mendengar sebagaimana manusia
mendengar dan melihat sebagaimana manusia melihat. Dia mengetahui setiap saat partikel kecil sekalipun baik di bumi maupun
di surga.
Menurut al
Kindi Tuhan adalah Dzat tunggal yang tak terlihat karena ia tidak tersusun dan
tak ada susunan baginya, tetapi sesungguhnya Ia terpisah dari segala apa yang
dilihat. Ia bukan materi, tak berbentuk,
tak berjumlah dan tak berkualitas. Al-Kindi menganggap Tuhan sebagai “Al-Wahidul haq” yakni Tuhan yang
satu dalam hakikatnya.
Menurut
al Farabi Tuhan sebagai “Al-Maujud Al-Awwal” yakni wujud yang pertama
yang harus dimengerti sebagai zat yang qadim. Keqadimannya itu bukan karena sesuatu yang lain, melainkan
karena dirinya sendiri. Oleh karena Dirinya merupakan Dzat yang qadim, mau
tidak mau mestilah hubungannya dengan alam atau sesuatu diluar diri Nya tidak
menyentuh secara
langsung.
Menurut
Ibnu Rush Tuhan
adalah pencipta sesungguhnya, artinya Ia mencipta dengan tujuan tertentu, manfaat
tertentu, serta nilai-nilai tertentu. Yang sangat jelas dalam Al-quran adalah
diciptakannya alam semesta.
Berdasarkan worldview Islam terkait konsep Tuhan, maka dapat
disimpulkan bahwa Tuhan merupakan Dzat yang Maha Suci dan sempurna yang memberi
eksistensi kepada segala sesuatu.
B.
Tuhan dalam Sejarah Pemikiran Manusia dan
Agama
1.
Pemikiran Manusia
Yang dimaksud konsep Ketuhanan
menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran
baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang
amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Proses perkembangan
pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
a.
Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak
zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan.
Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda
mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang
berpengaruh negatif.
b.
Animisme
Di samping kepercayaan dinamisme,
masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda
baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang
aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai
sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta
mempunyai kebutuhan-kebutuhan.
c.
Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme
lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi
sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa
mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang
bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang
membidangi angin dan lain sebagainya.
d.
Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan
terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui
diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama.
Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu).
Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia
masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu
bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).
e.
Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme
melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk
seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari
filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan
teisme. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).
Kalaulah kita kaji mitologi Yunani, yang
menurut kepercayaan mereka dewa adalah pengatur seluruh kehidupan. Dalam
mitologi Yunani, dewa terkuat pertama itu adalah Auranus. Namun dewa dalam
mitologi Yunani itu ia bisa menikah, melahirkan dan banyak sifat-sifat yang
memang serupa dengan manusia biasa hanya saja dalam pandangan masyarakat Yunani
dewa itu mempunyai kekuatan yang lebih daripada mereka. Pada saat Auranus menjabat
sebagai dewa terkuat pada saat itu ia memiliki ketakutan akan lahirnya anak dia
yang lebih kuat dari pada dirinya. Sehingga dalam kisah mitologi Yunani dewa
Auranus ini ketika istrinya akan melahirkan anak, Auranus mencoba memasukkan
kembali anaknya kedalam rahim istrinya namun hal ini gagal dan lahirnya
anaknya yang bernama Chronos. Dan apa yang ditakutkan oleh Auranus ini memang
benar-benar terjadi, anaknya yang bernama Chronos ini memiliki kekuatan yang
lebih dibandingkan dengan ayahnya yaitu Auranus. Sehingga Chronos mengalahkan
ayahnya dan ia menjabat sebagai dewa terkuat dalam mitologi Yunani. Bercermin
kepada ayahnya saat menjadi dewa sebelum dirinya, yang ketakutan akan adanya
generasi yang lebih kuat darinya sehingga hal itupun dirasakan oleh Chronos.
Saat istri Chronos hamil, Chronos mencari cara supaya istrinya gagal saat
melahirkan anaknya. Lalu ketika hendak melahirkan, karena cara Auranus yang
memasukkan kembali bayinya ke dalam rahim gagal pada dulu kala, Chronos
mempunyai cara yang berbeda untuk menggagalkan lahirnya seorang anak dewa,
yakni dengan memakan anaknya. Namun cara itupun gagal dan lahirnya anak Chronos
yang bernama Zeus. Dan hal serupa pun terjadi, Zeus lebih kuat dengan senjata
terkuatnya yakni petir dan elang karena hal itu Zeus pun bisa mengalahkan
ayahnya Chronos dengan bantuan kakak-kakanya juga, dan Zeus mempunyai jabatan
tertinggi sebagai dewa terkuat Yunani.
Dalam mitologi Yunani Zeus adalah dewa
terkuat Yunani namun tidak mengetahui segala hal, ia pun memakan istrinya yang
bernama Metis, cintanya ditolak Demeter, ia pun memiliki istri banyak dan istri
terakhirnya bernama Hera; dinikahi setelah diperkosa oleh Zeus, juga Zeus
memperkosa Europa dan mencampakkannya, lalu banyak lagi karakter negatif yang
Zeus miliki di samping dirinya yang paling kuat.
Nah dengan karakter negatif itu,
akhirnya orang-orang Yunani pun kebingungan dengan term kebenaran. Karena
memang dewa mereka tak mengajarkan kebenaran kepada mereka, sehingga dalam
buku-buku filsafat yunani ada teori tentang kebenaran, dari situlah asal
muasalnya mengapa pemikir Yunani menciptakan teori-teori kebenaran.
Sebetulnya masih banyak kisah dalam
mitologi Yunani, yang dituliskan dalam kisah-kisah yang secara khusus membahas
tentang dewa dewi seperti Theogony, atau yang berkisah tentang interaksi
manusia dengan dewa dewi seperti The Odyssey, atau juga yang diadaptasi
ke dalam bentuk drama, dapat memanjakan imajinasi para penikmatnya. Karena di
dalamnya bercerita tentang dewa dewi, maka di dalamnya pun terdapat ajaran
tentang konsep tuhan versis Yunani Kuno. Dengan kata lain, mitologi menunjukan
cara masyarakat Yunani kuno memandang dewa-dewi mereka, dan apa yang mereka
pikirkan itu kemudian juga berpengaruh pada cara mereka menjalani hidup.
Bagi masyarakat Yunani kuno,
pengklasifikasian manusia berdasarkan orientasi seksual tidaklah seperti yang
lazim digunakanan di zaman sekarang. Bagi mereka homoseksualitas itu adalah hal
yang biasa terjadi di tengah-tengah mereka. Banyak dewa Yunani yang melakukan
homoseks ini, baik dengan sesama dewa yang sejenis (misalnya Apollo dengan
Hymen), dewa dengan manusia (misalnya Poseideon dengan Pelops), atau dengan
dewa yang menyamar menjadi lawan jenisnya (misalnya Zeus yang menyamar menjadi
Artemis untuk berhubungan seks dengan Callisto). Tidak menjadi suatu pertanyaan
kiranya jika tokoh-tokoh legendaris Yunani juga banyak yang dikisahkan
melakukan hubungan sejenis, misalnya antara Achilles dengan Patroclus, atau
Heracles dengan Iolaus. Sebagaimana Zeus berhubungan seks dengan Ganymedes,
masyarakat Yunani juga mengenal tradisi pederasty, yaitu hubungan
sejenis antara laki-laki dewasa dengan remaja. Sebagaimana hubungan seks dengan
binatang juga dikisahkan dalam mitologinya, masyarakat Yunani pun dikenal telah
mempraktekkannya dalam kehidupan. Singkatnya orang-orang Yunani melakukan apa
yang biasa dilakukan oleh dewa-dewa mereka.
Dalam memandang hubungan antara manusia
dengan dewa-dewi tersebut, masyarakat Yunani cenderung ambigu. Di satu sisi,
sudah sangat jelas kewajiban manusia untuk menyembah dewa-dewi tersebut, namun
di sisi lain, dewa-dewi itu lebih sering terlihat sibuk dengan urusannya
masing-masing ketimbang mempedulikan manusia. Oleh karena itu, muncul paham
Deist yang menekankan eksistensi tuhan, faham itu berkeyakinan bahwa tuhan
telah menciptakan alam semesta, namun kemudian “berlepas tangan” dan tidak ikut
campur tangan lagi dalam segala proses di alam semesta ini. Oleh karena itu,
kaum Deist berpendapat bahwa penggunaan akal dalam memahami alam adalah
satu-satunya metode untuk memahami tuhan, sebab tuhan tidak berbicara dengan
manusia dan tidak mengajarkan apapun kepada manusia secara langsung.
2.
Tuhan Menurut
Agama-agama
a. Agama Majusi
Agama Majusi lahir di negri Persia pada
zaman dahulu kala, dianut oleh bangsa Persia dan umumnya bangsa Arya Persia.
Dalam pemahaman agama ini, majusi mengajarkan kepercayaan kepada dua Tuhan yang
maha kuasa, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap. (Hakim, 1993: 21).
Mereka memberi nama Tuhan Cahaya dengan
nama Ahuramazda, yang dianggapnya sebagai Tuhan kebaikan, dan Tuhan Gelap
mereka namai dengan Ahirman, yakni Tuhan kejahatan.
Kepercayaan terhadap dua Tuhan ini
timbul karena mereka memperhatikan dua hal yang selalu beredar di alam ini:
Senang dan susah, suka dan duka, sehat dan sakit, lahir dan mati, bangun dan
runtuh, terang dan gelap, dan lain sebagainya.
b.
Agama
Shabiah
Shabiah menurut bahasa berasal dari kata
shaba’a atau shaba yang artinya membelok atau melepaskan diri dari ikatan.
Orang yang menganut shabiah dinamakan shabiin, karena mereka membelok dari
jalan yang ditunjukkan oleh para Nabi. (Hakim, 1993: 32).
Aliran shabiah mengajarkan kepercayaan
kepada roh-roh (Rohaniah). Yang dimaksud dengan roh-roh disini ada dua macam:
1)
Ruh, yaitu
suatu golongan makhluk Tuhan yang tertinggi, yang juga maha suci zat dan
sifatnya, mereka tidak tampak dan tidak dapat diraba, tidak dapat dijangkau
dengan panca indera, lepas dari sifat-sifat dan pengaruh benda, tidak terikat
oleh pengaruh ruang dan waktu.
2)
Rauh,
artinya kesentosaan, keadilan, kebahagiaan, rahmat dan nikmat. Rauh adalah
sifat daripada roh. Dan rauh juga sebagai haluan dan cita-cita tertinggi
penganut shabiah.
Keyakinan
kepada Tuhan:
Para penganut shabiah berkeyakinan bahwa
alam ini diciptakan oleh Tuhan, Tuhan Maha Pandai, Maha Bijaksana, Maha suci
dari pengaruh dan sifat alam. Lalu mereka beranggapan bahwa penyembahan atau
pemujaan terhadap Tuhan yang menciptakan alam ini harus melalui perantara, kita
tidak bisa langsung menghadap ke hadirat Tuhan Yang Maha Suci, Maha besar dan
Maha Tinggi itu. Perantara dengan menggunakan roh-roh yang suci pula, yang bersih
dari pengaruh jisim dan benda, bebas daripada ikatan ruang dan waktu. (Hakim,
1993: 32).
c.
Agama
Yahudi
Pada awalnya Yahudi bukanlah nama suatu
agama, tetapi nama suatu bangsa, yaitu bangsa Yahudi; yang biasa juga disebut
bangsa Israil atau Ibrani.
Hanya agama yang mereka anut telah
dibangsakan kepada nama bangsa mereka, dengan sebutan agama Yahudi atau agama
Israil. (Hakim, 1993: 38).
Sebetulnya jika ingin mengetahui
genealogi pemahaman agama ini kita harus mengkaji dari mulai asal usul
perkembangan bangsa yang menganut agama ini, hanya saja pada makalah ini kita
tidak difokuskan ke arah sana.
Secara ringkas, pada awalnya kepercayaan
agama ini ialah Tauhid yang diajarkan oleh Nabi Musa a.s melalui wahyu dari
Allah dan kitab Taurat sebagai pegangannya. Agus Salim dalam bukunya yang
berjudul Perbandingan Agama, ia mengatakan karena banyaknya perkembangan yang
terjadi, saat Nabi Musa bermunajat kepada Tuhannya di gunung Thursina selama 40
hari, lalu ketiadaan Nabi Musa pada saat itu dijadikan sebagai kesempatan oleh
seorang yang Fasik yang bernama Samiri untuk menyesatkan Bani Israil.
Ajaran Tauhid mulai bergeser, akibat
penyesatan Samiri yang mendoktrin untuk syirik kepada Tuhannya, sehinga Bani
Israil meyembah berhala.
d.
Agama
Kristen
Menurut Agus Salim, ringkasnya agama
Kristen yang kita lihat pada masa sekarang ini tersebar luas di negara-negara
Barat dan lain-lainnya, berasal dari pengajaran Nabi Isa a.s yang telah dirobah
demikian jauh dari pokoknya yang asli oleh penganut-penganutnya sendiri.
Sebenarnya pengajaran yang asli dari
Nabi Isa a.s ialah Tauhid yang suci; yaitu meng-esakan Allah Swt. Akan tetapi
orang Nasrani di belakang Nabi Isa telah menjadikan agama Tauhid menjadi agama
musyrik, mirip dengan agama berhala, menjadi Trinitas, bertuhan tiga, yaitu
menuhankan Nabi Isa dan Ruhul Kudus di samping Allah swt. Pola ini mereka ambil
dari kemusyrikan Yunani dan Romawi, serta dari pengajaran trimurti agama mesir
kuno dan Brahma. (Hakim, 1993: 90-91).
e.
Agama
Hindu
Tuhan dalam agama Hindu disebut Brahma.
Kalimat Brahma dalam bahasa Hindu lama (Sansekertas) yaitu nama bagi Tuhan yang
wujud dengan sendirinya, Maha Esa dan Maha Kuasa yang bersifat azali, tidak
berawal dan tidak berakhir, yang menciptakan dan menjadi asal dari sekalian alam;
ia tidak dapat diraba dengan pancaindera tetapi hanya dapat diketahui dengan
akal.
Brahma itu Tuhan yang tunggal dalam
agama Hindu. Tetapi beberapa abad di belakang, penganut agama Hindu telah
merubah kepercayaan bertuhan satu itu (monotheisme), kepada trimurti atau
bertuhan tiga.
Trimurti itu terdiri dari: Brahma,
Wisynu dan Syiwa.
Apabila diperhatikan dalam kitab Weda,
kitab suci agama Hindu, di situ tidak disebutkan Tuhan yang berbilang, tetapi
hanya menyatakan ketuhanan Brahma semata-mata. Nama Wisnu dan Syiwa memang ada
disebut, tetapi bukan sebagai Tuhan, hanya sebagai sifat. Wisynu kasih sayang
dan memelihara, Syiwa sifat maha kuasa dan memusnahkan.
Para pendeta telah mengkhayal dalam
pikiran mereka, untuk menempatkan kedua sifat Tuhan itu sebagai Tuhan yang
kedua dan ketiga.
f.
Agama
Budha
Masih dalam bukunya Agus Hakim yang berjudul Perbandingan Agama,
ia menjabarkan bahwa Budha sebenarnya bukanlah nama bagi seseorang, tetapi
sebutan yang diberikan kepada orang yang telah mencapai “bodhi” yaitu ilmu
pengetahuan yang tinggi dan sempurna, yang telah mendapatkan jalan untuk
melepaskan diri dari kekangan karma.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa Budha
yang kita kenal dalam sejarah sebagai pendiri agama Budha ialah seorang anak
raja dari Kapilawastu India, bernama Sidharta.
Ketika berbicara keperyaan agama Budha
terkait Tuhan, pada umumnya bila orang membicarakan suatu agama, terkait
kepercayaannya kepada Tuhan, ia selalu berkeyakinan terkait Tuhan yang Maha
Kuasa, bahkan itu dijadikan sebagai pandangan pertama. Akan tetapi lagi-lagi
Agus Hakim memberikan pandangannya bahwa setelah ia mengupas agama Budha, kepercayaan kepada tuhan dalam agama
Budha jarang sekali dikemukakan.
Ketika memperhatikan khutbah-khutbah
Budha Gautama dan soal jawabnya, ia tidak percaya kepada tuhan yang banyak,
dewa dan berhala-berhala yang dipuja dalam agama Hindu; bahkan penyembahan
demikian dicela dalam agama Budha.
Akan tetapi ketuhanan Brahma tetap
diakui oleh Budha, mereka mengakui Brahma sebagai tuhan yang menciptakan, yang
bersifat kasih sayang kepada semua makhluknya, lalu dalam hal ini Budha tidak
mengakui tuhan yang lain. Oleh sebab itu ahli-ahli sejarah agama memasukkan
agama Budha kepada golongan agama yang menuhankan satu tuhan (monotheisme),
bukan musyrik. (Hakim, 1993: 166).
D.
Tauhid
Sebagai Perbandingan
1.
Pengertian
Tauhid
Setiap
agama memiliki tentang Tuhan, sebab pada hakikatnya agama adalah peraturan
ketuhanan yang menjadi tuntutan bagi umatnya untuk mencapai kebahagiaan hidup
lahir dan batin,baik di dunia maupun di akhirat. Itulah sebabnya setiap agama
menjadikan ajaran atau ilmu ketuhanan dalam agamanya tersebut sebagai pelajaran
utama. (Purba dan Salamuddin, 2016: 2)
Islam adalah nama agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad Saw. Sumber ajaan agama Islam adalah al-Quran dan Hadits. Dengan
demikian, Theologi Islam ialah ajaran tentang Tuhan menurut agama Islam yang
dibawa oleh Rasulullah yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits, yaitu mengajak
umat manusia untuk meng-Esa-kan Allah Swt.
Berdasarkan uraian di atas, sebutan
literatur Islam terhadap theologinya ialah Tauhid (peng-Esa-an). Jadi ketika
berbicara mengetai teologi Islam maka kita akan membicarakan pengertian Ilmu
Tauhid.
Seperti yang dikutip oleh Purba dan
Salamuddin terkait definisi ilmu, mereka mengambil pandangan dari Wihadi Admojo
yang mengatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu dalam bidang itu. mereka pun mengutip
pendapat Mulliadi Kartanegara dan Amsal Bakhtiar terkait objek ilmu, bahwasanya
ia meliputi hal yang empiris maupun yang tidak empiris, karena itu teologi
sebagai ilmu yang membahas tentang Tuhan juga termasuk ilmu yang saa dengan
ilmu-ilmu lainnya. (Purba dan Salamuddin, 2016: 2).
Perkataan Tauhid berasal dari bahasa
arab, yaitu bentuk masdar dari kata “wahhada yuwahhidu” yang artinya
“menyatukan” atau “mengesakan”. Sebagai bentuk masdar (sifat dan keadaan), kata
“tauhid” artinya “penyatuan” dan “pengesaan”. Secata bahasa, kata “penyatuan”
atau “pengesaan” mengandung dua pengertian.
Pertama, penggabungan atau
penyatuan beberapa benda/unsur sehingga menjadi satu kesatuan. Contoh ketika
seseorang menggabungkan beberapa unsur seperti kopi, gula, susu, dan air panas
dalam sebuah gelas sehingga menjadi satu kesatuan yang bernama kopi susu, maka
secara bahasa pekerjaan yang dilakukan oleh orang tersebut adalah proses tauhid
(penyatuan). Contoh yang lain misalnya ketika seorang ibu menggabungkan ikan,
air, garam, cabai, dan berbagai unsur lainnya dalam sebuah kuali kemudian
dimasak dan hasilnya gulai ikan, maka secara bahasa, proses yang dilakukan oleh
seorang ibu tadi ialah proses tauhid. Demikian juga apabila seseorang
menyatukan unsur pikirannya, perasaannya, perkataannya dan perbuatannya
sehingga menjadi satu kesatuan (tidak berbeda antara pikiram, perasaan,
perkataan dan perbuatannya) maka secara bahasa apa yang dilakukan oleh orang
tersebut ialah proses tauhid.
Kedua, pengakuan
kebenaran tentang keesaan sesuatu/seseorang. Contoh apabila misalnya terjadi
bahwa di suatu desa, hanya ada seorang laki-laki dan selainnya adalah
perempuan, maka apabila kita mengakui dan mengatakan bahwa benar di desa
tersebut hanya terdapat seorang laki-laki, maka pengakuan kita tersebut secara
bahasa adalah proses tauhid, yaitu mengakui keesaan seseorang. (Purba dan
Salamuddin, 2016: 7).
Bisa kita
ambil pemahaman bahwa inti ajaran Tauhid Islam tersimpul dalam sebuah kalimat “Tiada
Tuhan Selain Allah”. Pada akhirnya Tauhid ialah “penolakan terhadap
segala sesuatu dan menetapkan keesaan sesuatu” . Kalau mengutip perkataan
Syeikh Utsaimin dalam kitabnya Qaul Mufid inti ajaran tauhid islam ialah
menolak atau meniadakan segala sesuatu untuk dijadikan tuhan dan menetapkan
hanya Allah satu-satunya yang harus dipertuhankan.
Pengungkapan tauhid dalam Al-Quran ada
yang menggunakan kata “ahad” adapula yang menggunakan kata “wahid”.
Kedua kata tersebut memiliki esensi yang sama terkait ke-Esa-an Allah, hanya
saja ada perbedaan dalam menafsirkan ketika relasional antar kata berbeda.
Seperti dalam Q.S Al-Ikhlas
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ - ١
Katakanlah
(Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa
Lalu dalam Q.S Al-Baqarah ayat 163
وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ لَآاِلٰهَ اِلَّا هُوَ
الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ
Dan Tuhan kamu
adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih,
Maha Penyayang
Kita bisa mengambil
pemahaman berdasarkan uraian di atas, bahwa ilmu Tauhid ialah ilmu yang
membahas tentang Allah Swt yang Maha Esa.
Lalu kita pun bisa merujuk pendapat para
ahli yang telah mengemukakan terkait definisi ilmu Tauhid ini, Purba dan
Salamuddin mengutip pendapat Syeikh Muhammad Abduh yang mengemukakan bahwa ilmu
tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat
yang wajib disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali wajib
dilenyapkan daripada-Nya, juga membahas tentang rasul-rasul-Nya, meyakinkan
kerasulan mereka, sifat-sifat yang boleh ditetapkan kepada mereka dan apa yang
terlarang dinisbatkan kepada mereka.
Selanjutnya masih dalam buku Teologi
Islam Ilmu Tauhid karya Purba dan Salamuddin, mereka mengutip perkataan Husain
Afandi Al-Jisr yang mengemukakan bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas
tentang hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang
meyakinkan.
Ibnu Khaldun pun menjadi rujukan kedua
penulis ini, dalam pandangan Ibnu Khaldun ilmu tauhid berisi alasan-alasan dari
akidah keimanan dengan dalil aqliyah dan alasan-alasan yang merupakan penolakan
terhadap golongan bid’ah yang dalam bidang aqidah telah menyimpang dari mazhab
salaf dan Ahlus sunnah.
Terakhir mereka mengutip pendapat Thahir
Abdul Muin yang mengemukakan bahwa ilmu tauhid ialah ilmu yang menyelidiki dan
membahas soal yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan bagi sekalian
utusan-Nya; juga mengupas dalil-dalil yang mungkin cocok dengan akal pikiran sebagai
alat bantu untuk membuktikan adanya Zat yang mewujudkan. (Purba dan
Salamuddin, 2016: 3).
Disamping definisi-definisi di atas
masih banyak definisi lain yang dikemukakan para ahli. Sekalipun redaksi yang
dihadirkan tidaklah sama, namun bila kita simak apa yang tersirat dari definisi
yang mereka berikan tiada lain ialah masalah yang berkisar pada
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah dan ke-Esa-an-Nya.
2.
Objek
Pembahasan Tauhid
Tauhid
dalam pengajarannya sudah tentu mempunyai objek pembahasan, seperti yang
dikemukakan oleh Thahir Abdul Muin bahwa objek pembahasan tauhid yaitu yang
berkaitan dengan zat Allah dan zat utusan-utusan-Nya, yang wajib, mustahil dan
jaiz. Juga mengupas segala yang mungkin dan dapat diterima akal untuk dijadikan
dalil dan bukti. Akhirnya, mengupas soal-soal sam’iyyat agar dapat mempercayai
dalil-dalil dengan yakin. (Purba dan Salamuddin, 2016: 6).
3.
Karakteristik
Tauhid
Yang
dimaksud dengan karakteristik adalah ciri khas, tanda khusus atau sifat khusus
yang dimiliki oleh sesuatu atau setiap individu yang tidak dimiliki oleh
individu lain secara utuh. Jadi, yang dimaksud dengan karakteristik ilmu Tauhid
adalah tanda, ciri dan sifat khusus dari Teologi Islam sebagai ilmu, hal mana
sifat itu tidak dimiliki oleh ilmu-ilmu lain secara utuh.
Setelah kita faham inti dari ajaran
Tauhid ialah “an-nafyu” dan “ats-tsabtu” yakni meniadakan tuhan
dan menetapkan bahwa Allah sebagai satu-satunya tuhan, kita pun dapat
merumuskan bahwa karakteristik ilmu Tauhid antara lain:
a.
Menuntut
Pengalaman
Makna yang sebenarnya terkait tauhid
ialah bukan kata benda, tetapi menuntut pekerjaan. Karena itu karakteristik
yang pertama dari ilmu Tauhid adalah menuntuk untuk diamalkan, bukan hanya
sekedar diketahui. Kalau hanya sekedar diketahui, kaum musyrik arab pada saat
dahulu mengetahui bahwa hanya Allah semata pencipta segala sesuatu, namun
mereka tetap saja tidak bertauhid. Artinya, mempelajari ilmu tauhid bukan hanya
untuk diketahui semata tetapi harus diamalkan.
Seperti pendapat Syeikh Abdurrahman yang
dikutip oleh Purba dan Salamuddin bahwa Tauhid bukan hanya sebatas pengakuan
lidah akan ke-Esa-an Allah. Tetapi harus dilanjutkan dengan meniadakan
tuhan-tuhan selain-Nya dan komitemen unruk senantiasa beribadah kepada-Nya.
(Purba dan Salamuddin, 2016: 9).
b.
Menuntut
Integrasi Ilmu, Iman dan Amal
Dari pengertian Tauhid seperti
dikemukakan di atsa, yaitu “penyatuan”, maka dapat dipahami bahwa manusia
adalah makhluk tauhid (ittihad), karena kejadian manusia merupakan hasil
penyatuan atau gabungan dari beberapa unsur yaitu unsur jasmani dan rohani,
sehingga pada diri manusia itu terdapat pikiran, hati dan perbuatan. (Purba dan
Salamuddin, 2016: 10).
Oleh karena itu, tauhid menuntut kita
sebagai orang yang mempelajarinya agar pada diri kita terjadi penyatuan
(integrasi) antara ilmu, iman dan amal.
Ilmu tauhid tidak ada artinya apabila
tidak dilanjutkan dengan iman. Pun begitu dengan iman, tidak akan benar jika
tidak didasari oleh ilmu yang benar tentang ke-Esa-an Allah, dan selanjutnya
akan sia-sia semua itu jika tidak diwujudkan dengan perbuatan. Demikian juga
amal perbuatan akan menjadi benar dan kokoh manakala didasari oleh ilmu yang
benar dan syahadah yang kokoh. Sedangkan, mengakui dan mengamalkan tanpa
didasari ilmu pengetahuan disebut taklid. Selanjutnya, pengamalan tanpa
didasari hati disebut munafik. Tidak berilmu, tidak beriman dan tidak beramal
disebut sesat. Selanjutnya, pemisahan antara ilmu, syahadah dan pengamalan
disebut sekularisasi, orangnya disebut sekuler. Semua itu dilarang dalam ilmu
tauhid. Tauhid adalah penyatuan dari ketiga aspek itu: ilmu, pengakuan hati dan
pengamalan. Itulah esensi penghambaam, persembahan dan pengabdian manusia yang
paling hakiki kepada Allah Swt.
Jika Tauhid hanya dimaksudkan untuk
mengetahui keesaan Allah semata, maka kita harus mengakui bahwa iblis merupakan
makhluk yang tergolong paling pertama bertauhid, sebab dia telah bertauhid jauh
sebelum manusia diciptakan Tuhan. Itulah pesan yang Allah sampaikan dari
firmanya surat Al-Baqarah ayat 34.
Maka penulis berpandangan bahwa perilaku
manusia yang berbeda antara pikiran, hati, ucapan dan perbuatan itu merupakan
perbuatan yang sangat menyalahi karakteristik ilmu tauhid.
c.
Menuntut Berkesinambungan
Dalam ilmu nahwu, kata “wahhada
yuwahhidu” yang artinya “menyatukan” atau “meng-esa-kan” adalah bentuk kata
kerja yang bermakna bahwa pekerjaan mengesakan tersebut dilakukan tidak sekali
saja, tetapi dilakukan secara berulang-ulang. (Purba dan Salamuddin, 2016: 12).
Karena itu, karakteristik ilmu tauhid
menuntut bahwa dalam pengakuan terhadap keesaan Allah itu harus dilakukan terus
menerus selama hidupnya di dunia tanpa berhenti atau mundur. Orang yang
berhenti atau mundur dari pandangan tauhid berarti ia telah murtad, ia telah
menyalahi karakter ilmu tauhid. Senada dengan pesan yang Allah sampaikan dalam
Q.S Al-Ahzab ayat 41, Al-A’raf ayat 205, Ali Imran ayat 191, dan An-Nisa ayat
103.
d.
Menuntut
Kepatuhan
Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas
ajaran ketuhanan dalam agama Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits.
Jika kita mengkaji Islam secara harfiah, ia berasal dari kata “aslama-yuslimu”
yang artinya berserah diri dan patuh. Juga arti harfiah lain dari perkataan
Islam ialah “damai”. (Purba dan Salamuddin, 2016: 13).
Purba dan Salamuddin mengutip pendapat
Khursid Ahmad yang menyebutkan bahwa ilmu tauhid itu menghendaki kita patuh
menyerahkan dii kepada Allah dengan sesempurnanya. Hanya dengan kepatuhan
kepada Allah itulah yang akan membuat manusia mencapai kedamaian jiwa yang riil
dan menyebabkan terciptanya kedamaian dalam masyarakat. Hal ini senada dengan
pesan yang Allah sampaikan dalam surat Ar-Rad ayat 28-29.
4.
Sumber
Ajaran dan Manhaj Ilmu Tauhid
a.
Sumber
Ajaran Ilmu Tauhid
Ketika memahami
Tuhan, jika manusia hanya mengandalkan akalnya semata, maka manusia tidak
mungkin dapat mengenal Tuhannya secara baik, kecuali hanya melihat
eksistensi-Nya saja dengan perantara ciptaan-ciptaan-Nya yang empiris. Karena
manusia adalah makhluk yang tebatas di dalam segala aspeknya sedangkan Tuhan
tidak terbatas. Maka mengutip perkataan Syahiman Zaini dan Ananto Kusuma Seta
dalam bukunya yang berjudul “Bukti-bukti Al-Quran sebagai Wahyu Allah”
menurutnya, bagaimana mungkin yang terbatas dapat mengetahui sesuatu yang tidak
terbatas, bagaimana mungkin barang ciptaan dapat mengetahui penciptanya. (Purba
dan Salamuddin, 2016: 14).
Selanjutnya Hadis Purba dan Salamuddin
(2016: 14) mengutip pula pendapat Agus Mustofa yang terdapat dalam bukunya yang
berjudul “Bersatu Bersama Allah”, ia mengatakan bahwa sebenarnya manusia
bisa menemukan Allah dengan akal dan sains, tapi butuh waktu sangat panjang.
Dan tidak semua orang bisa memahaminya dengan baik, sering kali, usia manusia
–bahkan sepanjang peradabannya- tidak cukup untuk menemukan Allah, yang ketemu
adalah tuhan-tihannya yang dzat sepesifikasinya jauh lebih rendah dari Tuhan
yang sebenarnya. Dalam Islam, tidak hanya akal yang digunakan dalam memahami
sesuatu, ada wahyu yang memandu akan hal itu. Karena dalam sejarahnya ketika
manusia mencari dan mengenal Tuhannya hanya dengan naluri saja, pada
kenyataannya dalam mengupayakan hal itu sering kali jatuh dalam kesesatan.
Bukan ketemu Allah tetapi ketemu tuhan-tuhannya. Kenapa demikian? Menurut Agus
mustofa sebab dzat Tuhan yang sesungguhnya memang jauh di luar perkiraan akal
manusia.
Pencarian dan pengenalan Allah lewat
akal semata hanya akan melahirkan prasangka-prasangka tentang Allah, bukan
mengenal Allah yang sebenarnya. Senada dengan firman Allah dalam surat Fusilat
ayat 23 yang artinya: ”Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah
kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu
termasuk orang-orang yang merugi”.
Karena itulah Allah memperkenalkan
diri-Nya kepada manusia, agar manusia mengenalnya bukan sekedar dugaan-dugaan
saja. Jadi, kunci pengenalan Dzat Allah itu harus berdasar pada informasi yang
akurat yang bisa dipercaya. Bukan sekedar dugaan. Lantas dimana informasi itu
berada? Menurut Agus Mustofa masih dalam bukunya, ia menjawab bahwa informasi
iru berada di dalam firman-firman-Nya.
Hemat penulis, tidak ada jalan lain
untuk memahami dan mengenal Allah swt secara hakiki ya dengan cara memahami
pesan Allah dalam kitab-Nya secara tekstual maupun kontekstual. Bahkan hal ini
lebih ditegaskan lagi oleh Syahiman Zaini dan Ananto Kusuma Seta yang dikutip
oleh Hadis Purba dan Salamuddin dalam bukunya (2016: 15), bahwa Al-quran yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada manusia, untuk dibaca,
dihayati, dan diamalkan isinya di satu sisi untuk memahami dan mengenal Dzat
Allah, di sisi lain agar tercapai kehidupan yang selamat dan bahagia di dunia
dan di akhirat.
Setelah memahami uraian di atas, maka
kita dapat berkesimpulan bahwa sumber ajaran tauhid yang pertama ialah
Al-Quran. Bahkan kalau kita cermati genealogi pemikiran tauhid ini, sejatinya
telah Allah sampaikan sejak rasul-rasul terdahulu mulai dari Adam a.s hingga
Isa al-masih dan terakhir sebagai penutup yakni Rasulullah Muhammad Saw.
Berita (khabar) dalam al-Quran ada yang
berupa penjelasan tentang Allah, asma-Nya, sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya dan firman-firman-Nya. Inilah yang dinamakan dengan tauhid
ilmi khabari. Lalu di dalamnya ada yang berupa dakwah atau ajakan agar
hanya beribadah kepada Allah swt dan berlepas diri dari semua sesembahan
selain-Nya, maka ini yang dinamakan tauhid iraadi Thalabi (kehendak dan
tujuan). Ada juga yang berupa perintah (amr), larangan (nahyu) dan kewajiban
taat kepada-Nya, baik perintah-Nya maupun larangan-Nya. Inilah yang dinamakan
dengan hak-hak tauhid dan sarana-sarana menuju kesempurnaanya. Ada pula yang
berupa berita tentang ahli tauhid dan apa yang Allah perbuat terhadap mereka di
dunia serta yang Dia muliakan di akhirat, maka inilah yang dinamakan dengan
balasan bertauhid kepada-Nya. Ada lagi yang berupa khabar tentang ahli syirik
dan apa yang Allah perbuat terhadap mereka di dunia maupun di akhirat, maka itu
dinamakan balasan bagi orang yang menyalahi hakikat dan hukum dari tauhid. Jadi
al-Quran membicarakan tauhid secara menyeluruh. (Purba dan Salamuddin, 2016:
17-18).
b.
Manhaj
Ilmu Tauhid
Pada masa kehidupan Rasul, ilmu tauhid
sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dalam agama Islam belumlah
ada. Pada masa kehidupan Rasul, umat Islam tidak banyak bertanya tentang apa
yang disampaikan Rasul, mereka bersikap “sami’na wa atha’na”. Karena
itulah menurut Hadis Purba dan Salamuddin tauhid belum menjadi ilmu pada saat
itu.
Setelah Rasul wafat, dan Islam semakin
luas dan berkembang, mulailah bermunculan peroalan dan pertanyaan-pertanyaan
yang semakin luas salah satunya terkait persoalan tauhid ini. Maka atas dasar
itulah para ulama mencoba mengkai ajaran tauhid dari al-Quran dan hadits dengan
maksud untuk:
Pertama, memberikan jawaban
terhadap persoalan-persoalan ketauhidan yang tumbuh dan berkembang di kalangan
umat Islam sebagai akibat logis dari dinamika perkembangan sosial umat Islam.
Kedua, memberikan
jawaban terhadap pengaruh kepercayaan dan paham-paham lain yang telah memasuki
dunia Islam yang oleh para ulama dipandang sebagai ancaman dan bahaya bagi
kemurnian akidah umat Islam.
Ketiga, mengkonkritkan
(upaya memperjelas) ajaran ketauhidan karena oleh para ulama masalah ini
dianggap masih bersifat samar dalam al-Quran dan hadits bagi masyarakat awam.
(Purba dan Salamuddin, 2016: 18).
Ketika ingin memahami manjah atau metode
ilmu tauhid maka dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: 1) Manhaj pengembangan
Tauhid, 2) Alat yang digunakan ilmu tauhid dalam mencari kebenaran Allah dan 3)
Manhaj yang dipergunakan ilmu Tauhid dalam pembuktian kebenaran yang dibahas.
(Purba dan Salamuddin, 2016: 19)
1)
Manhaj
Pengembangan Ilmu Tauhid
Ilmu
tauhid sebagai suatu disiplin ilmu yang membahas masalah ketuhanan dalam Islam,
adalah hasil rumusan para ulama terhadap ajaran ketuhanan yang terkandung dalam
al-Quran dan hadits-hadits. Manhaj atau cara proses pengembangan ilmu ini
tidaklah tumbuh sekaligus dalam waktu yang singkat, tetapi lahir dan tumbuh
secara bertahap, berangsur-angsur menjawab persoal umat sesuai dengan keadaan
dan faktor-faktor yang terjadi dalam dunia umat Islam itu sendiri. (Purba dan
Salamuddin, 2016: 19).
Apabila diklasifikasikan sebab-sebab
timbulnya Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam sebagai suatu disiplin ilmu disiplin
dalam Islam, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a)
Faktor
Internal atau sebab yang timbul dalam diri Islam itu sendiri. Faktor internal
dapat dibagi menjadi dua bagian:
1.
Sebab yang
datang dari al-Quran
Pertama, al-Quran mendebat
orang-orang musyrik dan kaum atheis dan menolak semua argumen mereka
Kedua, ayat-ayat
al-Quran ada yang mutasyabihat yang menimbulkan kecenderungan hati manusia
untuk memahami dan membahas maksudnya.
Ketiga, al-Quran
menghargai akal manusia dan bahkan menghadapkan khitab (titah) kepada akal itu
agar dapat berfungsi secara maksimal memperhatikan alam dan cakrawala dalam
membuktikan kebenaran Allah.
2.
Sebab yang
datang dari kaum muslim sendiri:
Pertama, kemenangan-kemenangan
yang diperoleh umat Islam dalam peperangan telah menghantarkan mereka sebagai
negara yang kuat dan jaya serta merasa aman tinggal di negeri mereka sendiri.
Dengan keadaan ini membuat umat muslim mempunyai kesempatan untuk membahas
secara filosofis terhadap permasalahan agama, sehingga tidak lagi membatasi
diri pada arti zhahir nash saja seperti pada masa sebelumnya.
Kedua, masalah
perbedaan faham politik antara sesama umat Islam yang membawa mereka menjadi
berkelompok-kelompok/ lebih dari faham politik ini mengakibatkan terbunuhnya
khalifat Usman dan Abu Thalid. Untuk kepentingan politiknya, banyak umat Islam
ketika itu yang berani menjadikan ayat-ayat al-Quran untuk memperkuat posisi
politiknya. Hal itu karena pada masa itu pengaruh agama sangatlah kuat.
Ketiga, kebebasan
dan kemerdekaan berfikir serta mengeluarkan pendapat sangat sempurna di masa
awal abad-abad hijirah itu, dan memang hal ini sangat sesuai dengan watak
budaya orang Arab dan bahkan dikuatkan lagi oleh ajaran Islam. Keadaan seperti
inilah yang membuat suburnya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam saat
itu.
b)
Faktor
eksternal atau sebab-sebab yang datang dari luar Islam. Adapun sebab-sebab yang
datang dari luar Islam, antara lain:
1.
Pengaruh
kepercayaan dan agama lain
Kebanyakan orang yang masuk dalam agama
Islam pada masa penaklukan di zaman khulafaur rasyidin adalah orang yang sudah
menganut suatu agama atau paling tidak memiliki kepercayaan lain sebelumnya.
Walaupun sudah menganut agama Islam, namun kepercayaan lama mereka belum hilang
menyeluruh. Kepercayaan lama itu menurut Hadis Purba dan Salamuddin (2016: 20)
mereka campurkan dengan aqidah Islam sehingga terjadilah apa yang disebut
dengan sinkritisme. Sehingga pada saat itu agak sulit membedakan mana ajaran
Islam yang murni dan yang terkontaminasi oleh ajaran lain.
Menyadari akan bahaya hal tersebut, maka
ulama mulai melakukan tindakan-tindakan kemurnian dan mengajari umat tentang
aqidah yang benar sehingga mampu membedakannya dari aqidah di luar Islam. Juga Hadis
Purba dan Salamuddin mengatakan bahwa pada saat itu dunia Islam mulai membuka
diri bagi masuknya budaya luar, maka makin banyak pulalah ajaran aqidah yang
berkembang di dunia Islam bahkan memiliki potensi untuk melemahkan aqidah Islam
itu sendiri. Karena itu para ulama tentunya membela aqidah Islam dari ajaran luar
itu dengan menggunakan argumentasi yang rasional untuk membuktikan keunggulan
aqidah Islam itu. Maka dngan cara inilah semakin meluasnya pengetahuan umat
Islam tnetang aqidah yang disertai dali-dalilnya.
2.
Pengaruh
Filsafat Yunani
Dengan semakin berkembangnya dunia Islam
dan membuka diri terhadap perkembangan kebudayaan internasional, maka pemikiran
filsafat Yunani juga akhirnya memasuki
dunia Islam. Pemikiran filsafat Yunani ini sangat menarik perhatian ulama
karena al-Quran sendiri sangat mendorong umatnya untuk berfikir secara
filosofis. Alasan lain adalah karena ulama Islam menyadari bahwa para lawan
aqidah islam juga menpergunakan senjata filsafat dalam melemahkan aqidah umat
Islam, karena itu para ulama merasa perlu membela aqidah umat Islam dengan
menggunakan senjata yang sama yaitu filsafat. Itulah sebabnya dalam ilmu tauhid
selain terdapat dalil-dalil yang berupa nash-nash al-Quran dan hadits, juga
didukung dengan dalil (argumentasi) akal yang rasional dan filosofis.
Dari faktor-faktor di atas, semakin kaya
lah khazanah ilmu ketauhidan itu dan akhirnya tumbuh menjadi suatu disiplin
ilmu dalam agama Islam.
2)
Alat yang
Dipakai Ilmu Tauhid dalam Membahas Kebenaran Allah
Ilmu
tauhid adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan menurut ajaran Islam. Dalam
membahas dan menetapkan kebenaran Allah tersebut, alat yang digunakan ilmu
tauhid adalah hukum. Thaib Thahir seperti dikutip Hadis Purba dan Salamuddin
(2016: 22) “Hukum ialah menetapkan suatu
perkara terhadap sesuatu yang lain atau tidak menetapkannya”.
Ada 3
hukum yang digunakan oleh ilmu tauhid dalam menetapkan dan mempertahankan
adanya Allah, yaitu: hukum syara’, hukum adat, dan hukum akal.
a)
Hukum
Syara
Hukum syara ialah hukum atau perintah
Allah Swt yang terdapat dalam nash al-Quran dan Hadits Rasul. Hukum syara ini
terbagi dua, yaitu:
-
Taklifi,
artinya perintah-perintah Allah kepada orang mukallaf supaya mengakui adanya
Allah, mengerjakan perintah-perintah-Nya yang wajib dan sunnah, atau menjauhi
larangan-larangan Allah yang haram dan yang makruh dan boleh memilih diantara
yang mubah.
-
Wadh’i, artinya
perintah Allah untuk menunjukan sesuatu itu menjadi sebab, syarat atau larangan
kebaikan atau kerusakan
b)
Hukum Adat
Hukum adat yaitu hukum yang ditetapkan
atau tidaknya atas sesuatu itu berdasarkan pada kebiasaan yang berlaku atau
biasa karena terjadi berulang-ulang. Hukum adat yang dimaksud adalah kebiasaan
yang berlaku bagi semua manusia di atas bumi tanpa kecuali, bukan adat tradisi
yang terjadi pada masing-masing suku tertentu.
Contoh hukum adat ialah: “kenyang itu
biasanya terjadi sesudah makan, jadi hukum adat menetapkan bahwa makan itu
mengenyangkan. Adat atau kebiasaan ini berlaku bagi semua manusia di atas muka
bumi. (Purba dan Salamuddin, 2016: 22)
c)
Hukum Akal
Thaib Thahir Abdul Muin seperti dikutip
oleh Hadis Purba dan Salamuddin (2016: 22-23) mengemukakan sebagai berikut:
Hukum akal yaitu menerapkan atau menafikan sesuatu perkara terhadap perkara
yang lain dengan akal pikiran, jadi bukan karena adat (peristiwa
berulang-ulang) dan juga bukan karena ada syara yang menetapkan. Misalnya kita
menetapkan wajib wujud bagi Allah, maka kita katakan: Allah Wujud
Hukum akal itu ada 3, yaitu:
-
Wajib,
artinya tidak terbayang pada akal akan ketidak adaannya; jadi mesti ada.
-
Mustahil,
artinya tidak terbayang pada akal akan wujudnua; jadi mesti tidak ada.
-
Jaiz,
artinya barang yang terbayang adanya atau tidak adanya, pada akal sama saja.
Dengan hukum akal inilah maka di dalam
ilmu tauhid ditetapkan pembagian sifat-sifat Allah ada 3; sifat wajib, mustahil
dan jaiz.
3)
Manhaj
Pembuktian Kebenaran dalam Ilmu Tauhid
Kalau kita
melihat kepada ilmu-ilmu alam, pembuktian kebenaran sesuatu didasarkan pada
hasil observasi (pengamatan), dan melalui experiment laboratories atau
percobaan dan pengujian laboratorium, yang berarti pengamatan langsung lewat
panca indera dibantu peralatan teknis terhadap objek kajian.
Jadi menurut ilmu ini, ilmu dapat
dikatakan benar apabila dapat dibuktikan secara empiris melalui pengamatan
langsung ataupun dengan pengujian laboratorium.
Selanjutnya, Hadis Purba dan Salamuddin
(2016: 23) menilai kalau pembuktian dalam filsafat bukanlah pada hasil
observasi atau pengamatan empiris, tetapi penilainnya terhadap susun fikir
(silogisme) yang dianggap logis dan rasional, yakni terterima dan tertelan oleh
akal. Seperti Yoesoef Sou’yb yang dikutip Purba dan Salamuddin, andaipun
pendapat filsafat itu tidak didukung oleh data konkrit sepanjang ilmiah maka
hal itu tidak merupakan soal bagi filsafat itu tidak menjadi soal.
Berbeda halnya dengan dua metode
pembuktian kebenaran di atas, Yoesoef Sou’yb berpendapat kembali bahwa
pembuktian kebenaran dalam teologi Islam (Ilmu Tauhid) adalah metode
partisipasi yakni keikutsertaan jiwa dan perasaan untuk percaya dan mengakui
sepenuhnya akan keesaan Allah. Sepeeti yang sudah ditegaskan dalam Al-Quran
yang merupakan wahyu. (Purba dan Salamuddin, 2016: 23)
Menurut Hadis Purba dan Salamuddin
pembuktian paling primer tentang kebenaran dalam ilmu tauhid adalah wahyu
Allah. Sekalipun wahyu itu tidak dapat dibuktikan secara empiris pada saat ini,
atau juga tidak tertelan oleh akal maka hal itu bagi ilmu tauhid tidak menjadi
suatu masalah.
Ketika sama-sama membicarakan hal ihwal
tentang Tuhan, baik filsafat maupun ilmu tauhid. Pada hakikatnya ada kesamaan
terkait ada Dzat yang paling tinggi di alam semesta ini, tetapi ketika
berbicara metodologi kebenaran tentu ada yang berbeda karena worldview
nya pun berbeda.
Seperti A. Hanafi dalam bukunya teologi
Islam lalu dikutip oleh Hadis Purba dan Salamuddin, ketika melakukan pengujian
terhadap kebenaran akan adanya Tuhan, para ulama muslim lebih dahulu percaya
pada pokok persoalan dan mempercayai kebenarannya, kemudian mereka menetapkan
dalil-dalil fikiran untuk pembuktiannya, sedang filsafat sebaliknya.
Memang dengan metode pembuktian seperti
ini, banyak ilmuwan yang keberatan jika ilmu tauhid disebut sebagai ilmu, dan
mereka bertanya kenapa teologi islam (ilmu tauhid) ini disebut sebagai ilmu?
Bukankah lebih tepat jika disebut keyakinan atau kepercayaan?
Maka adapunn jawaban yang dikemukakan
oleh para ulama tauhid (teolog Islam) seperti Yoesoef Sou’yb ialah yang dikutip
Haris Purba dan Salamuddin (2016: 25): “setiap yang disebut ilmu tidaklah
mesti berdasarkan pembuktian observasi atau pengamatan langsung panca indera.
Sebagai contoh bukankah sejarah dan kepurbakalaan disebut juga sebagai ilmu?
Pembuktian dalam ilmu sejara bukanlah berdasarkan observasi atau pengamatan
langsung ahli sejarah terhadap peristiwa pada zaman dahulu; zaman tengah
apalagi zaman purbakala, akan tetapu berdasarkan catatan-catatan atau
bekas-bekas berupa peninggalan yang menggambarkan peristiwa masa lalu itu.
Demikian juga dengan arkeologi (ilmu kepurbakalaan), pembuktiannya tidak lebih
hanya berupa penarikan-penarikan kesimpulan terhadap tulang belulang dan
benda-benda purba yang ditemukan.
Dengan demikian, tidak ada keberatan
jika pembicaraan tentang Tuhan disebut juga sebagai “ilmu” hinggu disebut
teologi seperti memanggilkan geologi dan sebagainya, sekalipun pembuktiannya
bukan berdasarkan observasi.
E.
Tauhid
Sebagai Landasan dan Pandangan Hidup
Pandangan
hidup saya, atau bahkan kita sebagai muslim ialah tauhid. Tauhid yang telah
dijelaskan di atas secara keseluruhan. Namun seiring berjalannya waktu ada
pemikir-pemikir yang mengira bahwa tauhid hanya sekedar mengajarkan spiritual
semata, bahkan menurut pemikir-pemikir semisal Ali Syariati, Asghar Ali
Engineer, Hasan Hanafi dan yang lainnya aspek sosial kurang tersorot oleh
konsep tauhid.
Mengutip pendapat Ali Syariati (2001:
73) menurutnya banyak orang percaya akan tauhid sebagai suatu teori religius
filosofis, yang hanya berarti “Tuhan adalah satu, tidak lebih dari satu”.
Tetapi bagi saya –Syariati- tauhid adalah suatu pandangan hidup, dan saya
(read: Ali Syariati) yakin bahwa inilah yang Islam maksudkan.
Bahkan Ali Syariati menyebutkan bahwa
tauhid ialah suatu pandangan hidup tentang kesatuan yang universal, kesatuan
antara tiga hipostastis yang terpisah, yakni Allah, alam dan manusia.
Menurutnya ketiganya tidak terpisah antara satu sama lain, tidak saling
bertentangan dan tidak saling diceraikan oleh sekat-sekat. Masing-masing tidak
mempunyai arah sendiri-sendiri tapi saling berkaitan. (Syariari, 2001: 74)
Hubungan
segi tiga antara Tuhan, manusia dan alam sangat umum diungkapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Namun seringkali hal ini dianggap sederhana dan sebelah
mata, pada intinya hal ini menjadi pondasi bagi kita untuk menghadapi segala
sesuatu. Terlebih persoalan ini sering disampaikan di forum-forum kajian dan
ceramah di masjid-masjid. Seyogianya, Tuhan sebagai Pencipta, dan dua yang
terakhir sebagai ciptaan dan manifestasi dari kekuasaan-Nya dan wujud
keberadaan-Nya.
Menurut Ahmad
Sahidah (2018, 29) keterkaitan tiga hal ini
sebetulnya sangatlah rumit, karena terkadang pemahaman terhadap Tuhan ternyata
menghasilkan pelbagai persoalan dan tindakan yang berbeda, bahkan di antara
sesama penganut satu agama.
Semua
telah sepakat bahwa kepercayaan kepada Tuhan, biasanya disebut dengan iman di
dalam Islam. Hal itu merupakan inti dari agama. Lalu Toshihiko Izutsu, sebagai
seorang sarjana kajian Islam memberikan perhatian lebih pada persoalan
pemikiran Islam dan telah menerjemahkan al-Quran ke dalam Bahasa Jepang,
tentunya ia memandang ke tiga persoalan itu sangatlah penting. Tidak hanya
terkait esensi dan eksistensi Islam, tetapi juga pembahasan ini muncul sebagai
permulaan dari pemikiran teologi muslim zaman awal. Perselisihan ini muncul
akibat kepentingan politik di antara kelompok-kelompok Islam pada saat itu,
tepatnya perpecahan antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Hingga
muncul satu kelompok yang kita kenal dengan istilah khawarij. (Sahidah, 2018: 30)
Tentu
saja, kita bisa membayangkan bahwa permasalahan ini mempunyai dampak yang
menentukan bagi kehidupan muslim. Sebab, sejak masa lalu sampai sekarang,
permasalahan ini yang menyebabkan kita terjebak dalam mengafirkan satu sama
lain, baik terhadap muslim maupun non muslim.
Disamping hal tersebut, Ahmad
Sahidah menggambarkan bahwa hubungan manusia dan alam mempunyai pengaruh besar
terhadap lingkungan sekitar, baik manusia dan alam itu sendiri bahkan
makhluk-makhluk yang ada disekitarnya sepeti flora dan fauna. Kesadaran terhadap
pemeliharaan lingkungan sangatlah menentukan kualitas ketiganya (manusia, alam,
dan binatang). Walau bagaimana pun manusia, ternyata kebanyakan manusia
mengabaikan susunan alam ini untuk memanfaatkan kekayaan yang ada di dalamnya.
Ketamakan dan kerakusanlah yang menakibatkan hubungan itu tidak stabil.
Sebenarnya, bencana-bencana yang terjadi
per hari ini bukan atas dasar takdir semata, akan tetapi efek dari banyaknya
eksploitasi hutan yang tidak terkawal, pembakaran liar, dan perambahan lahan hijau
secara sembarangan. Karena hutan sebagai tandahan air tidak mampu lagi menahan
air, sehingga banjir mudah terjadi. Tidak itu saja, ekosistem yang rusak juga
mengganggu keberlangsungan hidup flora dan fauna.
Berdasarkan fakta yang ada, Ahmad Sahidah
menilai terkait teologi ini, hampir-hampir kita mudah menemukan praktik
keagamaan yang hanya berhubungan dengan ibadah dalam pengertian sempit
(ritual-formal). Praktik keagamaan belum menyentuh ibadah yang lebih luas
(sosial), yang seharusnya jauh lebih ditekankan di dalam Kitab Suci (Al-Quran).
Ahmad Sahidah mengungkapkan dalam
pendahuluan bahwa hal-hal yang spiritual mestilah ditafsirkan kembali, jangan
sampai muncul pemahaman yang sempit terkait teologi ini. Jangan sampai ada
anggapan bahwa keshalihan ibadah ritual formal telah memadai untuk mengantarkan
seseorang masuk ke syurga. Padahal pemahaman semacam ini mengabaikan ketundukan
sejati, yaitu sikap taat yang ditunjukkan juga dengan mengamalkan
ketentuan-ketentuan Tuhan yang berkenaan dengan kewajiban terhadap lingkungan
dan manusia yang lainnya.
Berangkat dari uraian tentang masalah
kerumitan hubungan Tuhan dan manusia, serta implikasinya terhadap alam.
Penjelasan Al-Quran menjadi sangat penting untuk kemudian dapat dijadikan
pijakan tentang cara manusia beragama dan menjalankan keyakinannya atas dasar pengertian yang mendalam terhadap
ajaran Tuhan.
Pemahaman teologis umat Islam, atau
ajaran yang diberikan oleh para dai per hari ini cenderung ritualis, dogmatis,
dan metafisis. Padahal secara substantif, Islam merupakan agama yang
membebaskan manusia dari bentuk eksploitasi, penjajahan, penindasan dan
kezhaliman. Kedatangan Islam pada dasarnya ialah untuk merubah status quo
serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan dilemahkan. Di sini kita bisa
lihat bagaimana Islam menentang riba, perbudakan, barbarism, perusakan
lingkunan, ketidak-adilan ekonomi, politik dan gender, serta kecenderungan
eksploitatif yang dilakukan oleh kaum status quo. (Asghar, 2000: 7)
Ketika melihat pendapat Asghar pun kita
sepakat bahwa tauhid bukan hanya sekedar kepercayaan kepada tuhan semata, tapi
tauhid mengajarkan bagaimana hubungan kita dengan manusia lainnya, dan juga
perhatian kita terhadap lingkungan.
Misi Islam dalam hal ini sangat jelas,
ketika tauhid menjadi landasan dan pandangan hidup umat Islam, ia mendorong
manusia khususnya muslim untuk memiliki persaudaraan yang universal,
kesetaraan, dan keadilan sosial.
Tujuan teologis itu mengisyaratkan adanya
pemahaman bahwa semua manusia itu sama, tidak peduli suku, bangsa, negara,
gender, karena yang berbeda dalam pandangan Allah ialah tentang ketaqwaannya,
senada dengan pesan yang disampaikan dalam surat al-Hujurat ayat 13.
Berbicara tujuan teologis Islam yang
hubungannya dengan manusia, menurut Kuntowijoyo (1994: 162-163) konsep manusia
dalam Islam ialah manusia yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya
manusia menduduki tempat yang sangat terhormat. Bahkan dapat dilihat dari
predikat yang diberikan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi. Dalam
hal ini memberikan gambaran seolah Allah mempercayakan kekuasan-Nya kepada
manusia untuk mengatur dunia ini, sebuah tugas yang maha berat yang
makhluk-makhluk lainnya enggan memikulnya. Konsepsi seperti ini sebenarnya
suatu konsepsi yang sangat revolusioner jika diingat bahwa pada konteks
lahirnya Islam pada abad ke VI/VII, dunia, terutama di belahan Barat yang
dihegemoni oleh pandangan filsafat romawi dan Yunani yang memandang manusia
sebagai makhluk yang rendah, muram dan pesimis.
Dalam pandangan hidup tauhid, manusia
hanya menaruh takut akan satu kekuatan, dan hanya merasa bertanggung jawab
kepada satu hakim. Ia hanya menghadap ke arah satu kiblat, dan menunjukkan
harap dan hasratnya kepada satu sumber. Akibatnya ialah bahwa selain itu
semuanya palsu dan tanpa arti.
Tauhid memberkahi manusia dengan
kebebabasan dan kemuliaan. Kebebasan dari prilaku kezhaliman dan penindasan,
menyerah semata-mata kepada-Nya, norma teragung dari segala-galanya, membuat
manusia memberontak terhadap semua kekuasaan dusta dan zhalim, mematahkan
segenap belenggu dan kerakusan nista.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah pembahasan di atas terkait konsep Tuhan, maka dapat disimpulkan
bahwa Tuhan merupakan Dzat yang Maha Suci dan sempurna yang memberi eksistensi
kepada segala sesuatu.
Dari sejarah pemikiran manusia, bahwa
manusia pun sedari awal mengakui adanya tuhan, namun banyak persepsi tentang
tuhan. Banyak objek yang dijadikannya sebagai tuhan. Tapi pada fase akhir
manusia mengakui konsep monotheisme, yang memahami bahwa tuhan itu tunggal.
Begitupun agama-agama ketika
membicarakan tuhan, semua sama bahwa ada Dzat yang maha tinggi yang mengatur di
luar manusia, walaupun kepercayaan kepada tuhannya tidak bisa disamaratakan.
Islam hadir sebagai solusi bagi manusia,
ia menghadirkan konsep tuhan yang sangat komprehensif. Menurut Islam, konsep
tuhan itu ialah Tauhidullah, yakni meng-esakan Allah. Atau ketika dirunut
secara bahasa, meniadakan dan menetapkan. Meniadakan tuhan-tuhan selain Allah,
lalu menetapkan bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan di alam semesta.
Tauhid hadir tidak hanya sebagai konsep
kepercayaan terkait keesaan Allah saja, tapi tauhid hadir untuk solusi
kehidupan manusia. Konsep teologis dalam Islam tidak melulu hanya meng-esakan
Allah, tapi bagaimana relasi kehidupan antara Allah dan manusia, manusia dan
manusia lainnya, Allah dengan alam, dan manusia dengan alam. Tauhid hadir
sebagai bentuk perlawanan terhadap perilaku penindasan dan kezhaliman. Ketika
kita ber-Tuhan maka kita pun harus berani melawan.
B. Saran
Makalah ini jauh dari kata
sempurna, maka saran saya ketika kita mengkaji tauhid secara holistik harus
melakukan pengkajian secara metodologis dan komparatif antara pemikir terdahulu
dengan pemikir kontemporer. Sehingga tauhid bisa dikontekstualisasikan ke dalam
kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya
Ali
Enginner, Ashgar, Islam
dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung:
Mizan, 1994
Sahidah, Ahmad, God, Man, and Nature, Yogyakarta:
IRCiSod, 2018.
Syariati, Ali, Paradigma Kaum Tertindas, Jakarta:
Islamic Center Jakarta Al-Huda, 2001.
Hakim, Agus, Perbandingan Agama, Bandung: CV.
Dipenogoro, 1993.
Abdulrahim, Muhammad Imaduddin, Kuliah Tawhid,
Jakarta: YAASIN, 1990.
Amstrong, Karen, Sejarah Tuhan,Terjemahan Zaimul
Am, Bandung: Mizan, 2002.
Suseno, Franz Magnis, Menalar Tuhan, Yogyakarta:
PT KANISIUS, 2015
Hadis Purba dan Salamuddin, Theologi Islam –Ilmu
Tauhid-, Medan: Perdana Publishing 2016.
Jusuf, Zaghlul,
Dr, SH., Studi Islam, Jakarta: Ikhwan, 1993
Hanafi, Hasan, Dari Akidah ke
Revolusi, Terjemahan Asep Usman dkk, Jakarta: Paramadina, 2003
JOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com