Makalah Konsep Ketuhanan; Tauhidullah Sebagai Pandangan Hidup







MAKALAH
KONSEP KETUHANAN; TAUHIDULLAH SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti MAKKAH PW. Hima Persis Jawa Barat
Ditulis oleh: Hafidh Fadhlurrohman (Kader Hima Persis Kota Bandung)





KATA PENGANTAR
       Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan nikmat yang luar biasa kepada kita semua, baik itu nikmat iman maupun nikmat islam, semuanya wajib kita syukuri dengan segala bentuk ketaatan kita kepada Allah swt. Allah swt juga memberikan nikmat sehat yang selalu kita terima setiap hari dan disetiap saat, mudah-mudahan dengan nikmat sehat ini menjadi salah satu alasan kita untuk tetap semangat dalam mencari ilmu dan juga menyebarkan ilmu yang telah kita dapat kepada orang lain yang memang wajib kita sampaikan.
       Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena kami sadar kami masih dalam proses belajar yang tetap harus menyempurnakan keilmuan dan wawasan kami. Oleh karena itu saran atau kritikan yang positif dari para pembaca sangat penulis harapkan,sehingga penulisan makalah ini menjadi lebih sempurna.
       Semoga makalah ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya para pembaca yang budiman. Akhirnya, hanya kepada Allah swt jugalah penulis memohon maaf dan mudah-mudahan dengan makalah ini memberikan petunjuk-Nya ke jalan yang lurus yang diridhai-Nya, Aamiin. 






Bandung, Oktober 2019


Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI.................................................................................................... 2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG........................................................................... 3
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................... 3
C. TUJUAN PENULISAN......................................................................... 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT TUHAN.............................................................................. 6
B. TUHAN DALAM SEJARAH PEMIKIRAN MANUSIA DAN AGAMA
..................................................................................................................... 11
C. TAUHID SEBAGAI PERBANDINGAN.............................................. 20
D. TAUHID SEBAGAI LANDASAN DAN PANDANGAN HIDUP...... 38
BAB III
PENUT
A. KESIMPULAN...................................................................................... 43
B. SARAN.................................................................................................. 43

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 45



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
       Pembicaraan tentang Tuhan merupakan pembicaraan yang menyedot pemikiran manusia sejak jaman dahulu kala. Manusia senantiasa bertanya tentang siapa di balik adanya alam semesta ini. Apakah alam semesta terjadi dengan sendirinya ataukah ada kekuatan lain yang mengatur alam semesta ini. Bertitik-tolak dari keinginan manusia untuk mengetahui keberadaan alam semesta ini, maka manusia mencoba mengkajinya sesuai dengan kemampuan akal yang dimilikinya. Hasil dari kajian-kajian yang dilakukan, manusia sejak jaman primitif sudah mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang disebut dengan Tuhan.
       Namun, kepercayaan akan adanya Tuhan ini berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena perbedaan tingkat kemampuan akal manusia. Menurut Ibnu Thufail yang menulis kisah novel Hayy bin Yaqdzan mengatakan bahwa manusia dengan akalnya mampu mempercayai adanya Tuhan.
       Karen Amstrong dalam bukunya The History of God menunjukkan dimensi kesejarahan konsep tentang Tuhan. Manusia adalah makhluk sejarah, oleh karena itu nama-nama Tuhan pun muncul dalam konteks sejarah dan agama. Dan manusia hidup dengan berbagai etnik dan budaya, maka varian-varian tentang Tuhan pun ada di dalamnya.
       Manusia pada mulanya telah meyakini adanya suatu kekuatan yang menjadi penyebab tercipta dirinya dan alam semesta, sesuatu yang dianggap mahakuasa, yang bisa mendatangkan kebaikan juga keburukan. (Amstrong, ,Zaimul, 2002: 27)
       Amstrong pun mengutip pendapat Wilhelm Schmidt yang menyatakan bahwa manusia telah ada pemahaman monoteisme primitif sebelum manusia menyembah banyak dewa. Artinya sejak dulu manusia sudah menciptakan satu Tuhan yang ia anggap sebagai kekuatan yang sangat besar. (Amstrong, ,Zaimul, 2002: 27).
       Dalam sebuah worldview, konsep Tuhan menduduki posisi yang sentral. Keyakinan akan Tuhan dan begitupula sebaliknya akan mempengaruhi pola pikir dan pola hidup manusia dalam melakukan keseharianya. Antara yang meyakini adanya Tuhan dan yang tidak meyakini pasti akan berbeda pula dalam menyikapi persoalan kehidupan. Pun mereka yang beragama akan mengalami berbagai perbedaan terkait konsep Tuhan ini sesuai ajaran agamanya masing-masing.
       Para pemeluk agama meyakini bahwa Tuhan-lah yang telah menciptakan dirinya dan segala sesuatu di sekelilingnya. Oleh karena itu, Tuhan pula lah yang lebih mengetahui segala luka liku kehidupan yang ada di alam semesta hingga pada akhirnya Tuhan dijadikan sebagai sumber pencarian makna kebenaran.
       Dalam pandangan Islam, konsep ketuhanan disebut ilmu tauhid. Dimana di dalamnya mengajarkan manusia untuk meng-esa-kan tuhannya lalu sebagai disiplin ilmu, ilmu tauhid mempunyai karakter, manhaj dan lain sebagainya yang kadang belum difahami oleh umat muslim secara keseluruhan. Dan kerap kali umat Islam tidak bisa mengkontekstualisasikan pandangan hidup tauhidnya dalam hidup bermasyarakat, kiranya hal ini perlu dikaji lebih dalam.
       Pembahasan tentang konsepsi-konsepsi ketuhanan yang merupakan salah satu kajian pokok dari filsafat agama dianggap penting untuk dilakukan penelitian lebih dalam.
B.     Rumusan Masalah
       Beberapa pokok yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana hakikat Tuhan?
2.    Bagaimana Sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan ?
3.    Bagaimana pemikiran tentang Tuhan menurut agama-agama?
4.    Bagaimana pandangan Tauhid sebagai perbandingan?
5.    Bagaimana menjadikan Tauhid sebagai landasan dan pandangan hidup?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui hakikat Tuhan
2.      Mengetahui sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan
3.      Mengetahui pemikiran agama-agama terkait tuhan
4.      Mengetahui pandangan tauhid sebagai perbandingan
5.      Mengetahui tauhid sebagai landasan dan pandangan hidup


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Tuhan
       Dalam literatur umum, ilmu tentang ketuhanan disebut dengan Theologi. Perkataan theologi berasal dari kata “Theology” (bahasa inggris) atau berasal dari kata “Theologie” (bahasa Prancis dan Belanda). Baik Inggris, Prancis ataupun Belanda mengambil kata Theologi dari bahasa latin atau bahasa Greek tua.
       Dalam bahasa latin, “Theology” terdiri dari dua suku kata, yaitu “Theo” yang berarti sebutan atau panggilan terhadap dewa, dan kata “Logia” atau “Logos” yang bermakna akal, teori atau ilmu. Jadi dasarnya, “Theology” ialah ilmu tentang dewa.
       Dalam perkembangan ilmu-ilmu keagamaan selanjutnya, “Theo” diartikan sebagai Tuhan, sehingga “Theology” diartikan ilmu yang membahas tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia. Maka bahasa Indonesia pun mengikuti perkembangan tersebut dan kata Teologi itu diartikan dengan ilmu tentang ketuhanan. (Salamudin dan Hadis, 2016: 1-2)      
       Manusia adalah makhluk yang bertanya. Ia selalu bertanya. Apapun yang berhadapan dengannya selalu dipertanyakan. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah sampai. Tidak ada pengetahuan yang bisa membuatnya tak lagi bertanya lebih lanjut. (Suseno, 2015:17)
       Franz menyebutkan manusia bersifat demikian karena ia memang memerlukan pengetahuan. Ada dua kenyataan yang membuatnya selalu ingin mengetahui lebih jauh. Pertama tentu hanya dengan tahu manusia dapat bertindak, ia bertindak dengan segala macam alasan dan yang paling dasar ialah ia terdorong untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya seperti makan, minum, dan lain sebagainya. Karena itu, ia harus tahu. Misalnya, tahu dari mana ia memperoleh makan dan minum.
       Tetapi yang kedua menurut Franz, manusia selalu ingin mengetahui lebih jauh karena sifat dasar manusia, yakni manusia berwawasan tak terbatas. Pengetahuan manusia selalu terbatas tetapi wawasan tidak terbatas. Maka tak ada pengetahuan yang dapat memenuhi cakrawala perhatiannya, dan karena itu manusia bertanya terus.
       Ketika seorang manusia mencapai usia kematangan, ia akan menemukan fase pencarian dimana banyak pertanyaan-pertanyaan muncul dalam dirinya. Dari mana ia berasal, kemana ia akan pulang, oleh siapa ia diciptakan,  bagaimana alam semesta diciptakan, siapa yang menciptakan alam semesta. Ia mendorong untuk selalu bertanya terus karena ingin mencapai pengetahuan yang lebih benar lagi. Manusia, lain daripada binatang, bahkan ingin tahu demi untuk tahu. Dan karena itu juga manusia bertanya tentang Tuhan.
       Arnold Toynbee, seorang pakar yang mempelajari sejarah perkembangan pemikiran manusia mengemukakan bahwa agama berada pada posisi yang sentral. Dalam artikel hariannya ia menulis:

“saya berkeyakinan bahwa agama memegang kunci penting untuk memahami apa yang dinamakan misteri eksistensi”

       Manusia-semesta-Tuhan menjadi masalah yang krusial dalam perkembangan pemikiran manusia.
       Agama menurut Oxford Dictionary adalah keyakinan pada kekuatan besar yaitu Tuhan Yang Maha Esa atau dewa-dewa yang dipatuhi dan disembah. Namun keyakinan terkait agama ini dalam perkembangannya banyak yang menggugat dari kaum yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Mereka tidak mempercayai Tuhan dengan alasan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dirasakan oleh panca indera. Padahal mereka yang berkata hanya meyakini apa-apa yang ditangkap oleh indera, mereka pun tidak dapat mengingkat realitas yang terjadi di kehidupan mereka yang tak bisa ditangkap oleh panca indera, semisal hukum gravitasi, adanya rasio atau akal pikiran, dan lain sebagainya.
     Zakir Naik menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul “Konsep Tuhan dalam Agama-agama Besar Dunia” bahwa orang-orang yang beriman berkeyakinan bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan, berbeda dengan orang atheis yang berkeyakinan bahwa alam semesta hadir dengan sendirinya, secara kebetulan (koinsidens).
       Koinsidens, dalam batas-batas tertentu dapat kita fahami, satu-dua kali mungkin saja terjadi. Namun ketika permasalahan semakin besar dan kompleks asumsi koinsidens menjadi sesuatu yang tak rasional. Alam semesta dengan segala hukum, aturan dan kompleksitasnya yang sangat sempurna menurut manusia yang berpikiran sehat adalah mustahil untuk tercipta secara kebetulan.
       Bahkan pada diri manusia itu sendiri dengan sistem biologi yang rumit, kompleks namun tertata secara sempurna itu adalah campur tangan Tuhan.
       Lalu apa yang dimaknai sebagai Tuhan? Kalau kita mengutip wikipedia terkait makna Tuhan, di sana dikatakan bahwa Tuhan dipahami sebagai Roh Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan. (Wikipedia) Artinya sebagian besar memahami bahwa Tuhan itu ialah zat supranatural yang menciptakan langit bumi beserta isi-isinya.
       Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuhan adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, disembah oleh manusia, sebagai yang Maha Kuasa, Maha Perkasa dan lain sebagai nya. Kalimat Tuhan dapat dipergunakan untuk apa saja yang dipuja dan disembah oleh manusia. baik persembahan yang benar atau yang salah.
       Terkait Tuhan Plato berpendapat bahwa semua orang percaya akan eksistensi Tuhan, jika tidak maka Tuhan bukan suatu konsep yang universal. Tuhan bukanlah fiksi, melainkan realitas yang paling pasti dan tidak patut diragukan.
       Bagi Aristoteles, Tuhan adalah penggerak alam. Menurut teori actus potensi alam adalah objek yang memiliki potensi untuk melakukan perubahan. Perubahan di sini artinya adalah tujuan. Dengan kata lain, alam memiliki potensi untuk merealisasikan dirinya sesuai dengan tujuannya. Tujuan dari setiap objek yang terdapat dalam alam semesta adalah actus purus, yaitu Tuhan (Hadiwijono, 2005:51)
       Imadudin dalam bukunya yang berjudul Kuliah Tauhid menjelaskan bahwa Tuhan ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai (didominasi) olehnya. Pendapat ini perlu kita artikan secara luas, termasuk di dalamnya yang dicinta, dipuja, diagungkan, dan diharapkan memberikan kemaslahatan dan atau kegembiraan serta termasuk pula yang ditakuti untuk mendatangkan bahaya.
       Lalu Imadudin pun mengutip pendapat Yusuf Qardhawi ketika menjelaskan Tuhan, menurutnya Tuhan ialah yang dipuja dengan kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat dan terpaut cinta kepadanya. (Imadudin, 1989: 56).
       Berdasarkan uraian di atas, dapat difahami bahwa Tuhan bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Dan menurut Imadudin bahwa manusia tak mungkin atheis, tidak mungkin tidak bertuhan. Sekalipun ia berfaham atheis sebetulnya ada sesuatu yang ia tuhankan. (Imadudin, 1989: 57).
       Lalu banyak pemikir-pemikir Islam yang menjelaskan Tuhan dalam worldview Islam, dalam pandangan Syeikh Siti Jenar Tuhan merupakan Dzat yang melingkupi materi dan alam jiwa sekaligus, sehingga wujud Tuhan tidak mampu diindera oleh manusia dan makhluk lain yang diciptakan olehNya. Indera manusia hanya bisa digunakan untuk mengindera hal-hal yang berwujud materi saja, yang sangat terbatas jumlahnya.
       Dengan demikian, Dzat Tuhan yang juga melingkupi alam jiwa dan alam esensi tak akan mampu diserep oleh indera. Pemaknaan tentang Tuhan tidak akan mampu menunjukkan kesejatian Tuhan. Berdasarkan uraian diatas mengenai konsep Tuhan menurut Syeikh Siti Jenar dapat disimpulkan bahwa Tuhan tidak dapat didefenisikan secara mendasar, sebab pemahaman maupun bahasa yang digunakan oleh manusia tidak akan pernah mampu untuk mengungkapkan esensi dan kesejatian dari Tuhan itu sendiri.
       Menurut Nasr Tuhan adalah Dzat yang Maha Suci, sehingga untuk mendekati Nya seseorang harus dalam keadaan suci. Oleh karena itu, orang-orang sufi berusaha untuk mensucikan dirinya demi perjumpaannya dengan Dzat yang Maha Suci tersebut.
       Sementara itu, menurut Al-Suhrawadi Tuhan adalah “Nur al-Anwar” atau cahaya dari segala cahaya dan merupakan wujud realitas yang bersifat absolute dan tidak terbatas, karena tidak terbatas sehingga atas kehendak Nya, maka segala sesuatu yang ada di dunia ini beserta isinya tercipta. Nur al-Anwar adalah Dzat Tuhan, yaitu Allah swt yang memancarkan cahaya-cahaya terus menerus secara berkesinambungan dan melalui sinar-sinar itu, maka terciptalah segala wujud dari segala kehidupan.
       Menurut Ibnu Thufail Tuhan adalah Dzat yang sempurna yang memberi eksistensi kepada segala sesuatu.Thufail mengatakan bahwa Tuhan merupakan Wajibul Wujud, maksudnya yang memberikan bentuk kepada segala yang ada dan Dia adalah sebab effesien yang menciptakannya Dia mendengar sebagaimana manusia mendengar dan melihat sebagaimana manusia melihat. Dia mengetahui setiap saat partikel kecil sekalipun baik di bumi maupun di surga.
       Menurut al Kindi Tuhan adalah Dzat tunggal yang tak terlihat karena ia tidak tersusun dan tak ada susunan baginya, tetapi sesungguhnya Ia terpisah dari segala apa yang dilihat. Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjumlah dan tak berkualitas. Al-Kindi menganggap Tuhan sebagai Al-Wahidul haq” yakni Tuhan yang satu dalam hakikatnya.
       Menurut al Farabi Tuhan sebagai “Al-Maujud Al-Awwal” yakni wujud yang pertama yang harus dimengerti sebagai zat yang qadim. Keqadimannya itu bukan karena sesuatu yang lain, melainkan karena dirinya sendiri. Oleh karena Dirinya merupakan Dzat yang qadim, mau tidak mau mestilah hubungannya dengan alam atau sesuatu diluar diri Nya tidak menyentuh secara
langsung.
       Menurut Ibnu Rush Tuhan adalah pencipta sesungguhnya, artinya Ia mencipta dengan tujuan tertentu, manfaat tertentu, serta nilai-nilai tertentu. Yang sangat jelas dalam Al-quran adalah diciptakannya alam semesta.
        Berdasarkan worldview Islam terkait konsep Tuhan, maka dapat disimpulkan bahwa Tuhan merupakan Dzat yang Maha Suci dan sempurna yang memberi eksistensi kepada segala sesuatu.
B.     Tuhan dalam Sejarah Pemikiran Manusia dan Agama
1.      Pemikiran Manusia
       Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
a.       Dinamisme
       Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif.
b.      Animisme
       Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam  hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan.
c.       Politeisme
       Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
d.      Henoteisme
       Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).


e.       Monoteisme
       Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme, panteisme, dan teisme. (Zaglul Yusuf, 1993: 26-37).
       Kalaulah kita kaji mitologi Yunani, yang menurut kepercayaan mereka dewa adalah pengatur seluruh kehidupan. Dalam mitologi Yunani, dewa terkuat pertama itu adalah Auranus. Namun dewa dalam mitologi Yunani itu ia bisa menikah, melahirkan dan banyak sifat-sifat yang memang serupa dengan manusia biasa hanya saja dalam pandangan masyarakat Yunani dewa itu mempunyai kekuatan yang lebih daripada mereka. Pada saat Auranus menjabat sebagai dewa terkuat pada saat itu ia memiliki ketakutan akan lahirnya anak dia yang lebih kuat dari pada dirinya. Sehingga dalam kisah mitologi Yunani dewa Auranus ini ketika istrinya akan melahirkan anak, Auranus mencoba memasukkan kembali anaknya kedalam rahim istrinya namun hal ini gagal dan lahirnya anaknya yang bernama Chronos. Dan apa yang ditakutkan oleh Auranus ini memang benar-benar terjadi, anaknya yang bernama Chronos ini memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan dengan ayahnya yaitu Auranus. Sehingga Chronos mengalahkan ayahnya dan ia menjabat sebagai dewa terkuat dalam mitologi Yunani. Bercermin kepada ayahnya saat menjadi dewa sebelum dirinya, yang ketakutan akan adanya generasi yang lebih kuat darinya sehingga hal itupun dirasakan oleh Chronos. Saat istri Chronos hamil, Chronos mencari cara supaya istrinya gagal saat melahirkan anaknya. Lalu ketika hendak melahirkan, karena cara Auranus yang memasukkan kembali bayinya ke dalam rahim gagal pada dulu kala, Chronos mempunyai cara yang berbeda untuk menggagalkan lahirnya seorang anak dewa, yakni dengan memakan anaknya. Namun cara itupun gagal dan lahirnya anak Chronos yang bernama Zeus. Dan hal serupa pun terjadi, Zeus lebih kuat dengan senjata terkuatnya yakni petir dan elang karena hal itu Zeus pun bisa mengalahkan ayahnya Chronos dengan bantuan kakak-kakanya juga, dan Zeus mempunyai jabatan tertinggi sebagai dewa terkuat Yunani.
       Dalam mitologi Yunani Zeus adalah dewa terkuat Yunani namun tidak mengetahui segala hal, ia pun memakan istrinya yang bernama Metis, cintanya ditolak Demeter, ia pun memiliki istri banyak dan istri terakhirnya bernama Hera; dinikahi setelah diperkosa oleh Zeus, juga Zeus memperkosa Europa dan mencampakkannya, lalu banyak lagi karakter negatif yang Zeus miliki di samping dirinya yang paling kuat.
       Nah dengan karakter negatif itu, akhirnya orang-orang Yunani pun kebingungan dengan term kebenaran. Karena memang dewa mereka tak mengajarkan kebenaran kepada mereka, sehingga dalam buku-buku filsafat yunani ada teori tentang kebenaran, dari situlah asal muasalnya mengapa pemikir Yunani menciptakan teori-teori kebenaran.
       Sebetulnya masih banyak kisah dalam mitologi Yunani, yang dituliskan dalam kisah-kisah yang secara khusus membahas tentang dewa dewi seperti Theogony, atau yang berkisah tentang interaksi manusia dengan dewa dewi seperti The Odyssey, atau juga yang diadaptasi ke dalam bentuk drama, dapat memanjakan imajinasi para penikmatnya. Karena di dalamnya bercerita tentang dewa dewi, maka di dalamnya pun terdapat ajaran tentang konsep tuhan versis Yunani Kuno. Dengan kata lain, mitologi menunjukan cara masyarakat Yunani kuno memandang dewa-dewi mereka, dan apa yang mereka pikirkan itu kemudian juga berpengaruh pada cara mereka menjalani hidup.
       Bagi masyarakat Yunani kuno, pengklasifikasian manusia berdasarkan orientasi seksual tidaklah seperti yang lazim digunakanan di zaman sekarang. Bagi mereka homoseksualitas itu adalah hal yang biasa terjadi di tengah-tengah mereka. Banyak dewa Yunani yang melakukan homoseks ini, baik dengan sesama dewa yang sejenis (misalnya Apollo dengan Hymen), dewa dengan manusia (misalnya Poseideon dengan Pelops), atau dengan dewa yang menyamar menjadi lawan jenisnya (misalnya Zeus yang menyamar menjadi Artemis untuk berhubungan seks dengan Callisto). Tidak menjadi suatu pertanyaan kiranya jika tokoh-tokoh legendaris Yunani juga banyak yang dikisahkan melakukan hubungan sejenis, misalnya antara Achilles dengan Patroclus, atau Heracles dengan Iolaus. Sebagaimana Zeus berhubungan seks dengan Ganymedes, masyarakat Yunani juga mengenal tradisi pederasty, yaitu hubungan sejenis antara laki-laki dewasa dengan remaja. Sebagaimana hubungan seks dengan binatang juga dikisahkan dalam mitologinya, masyarakat Yunani pun dikenal telah mempraktekkannya dalam kehidupan. Singkatnya orang-orang Yunani melakukan apa yang biasa dilakukan oleh dewa-dewa mereka.
       Dalam memandang hubungan antara manusia dengan dewa-dewi tersebut, masyarakat Yunani cenderung ambigu. Di satu sisi, sudah sangat jelas kewajiban manusia untuk menyembah dewa-dewi tersebut, namun di sisi lain, dewa-dewi itu lebih sering terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing ketimbang mempedulikan manusia. Oleh karena itu, muncul paham Deist yang menekankan eksistensi tuhan, faham itu berkeyakinan bahwa tuhan telah menciptakan alam semesta, namun kemudian “berlepas tangan” dan tidak ikut campur tangan lagi dalam segala proses di alam semesta ini. Oleh karena itu, kaum Deist berpendapat bahwa penggunaan akal dalam memahami alam adalah satu-satunya metode untuk memahami tuhan, sebab tuhan tidak berbicara dengan manusia dan tidak mengajarkan apapun kepada manusia secara langsung.

2.    Tuhan Menurut Agama-agama
a.       Agama Majusi
       Agama Majusi lahir di negri Persia pada zaman dahulu kala, dianut oleh bangsa Persia dan umumnya bangsa Arya Persia. Dalam pemahaman agama ini, majusi mengajarkan kepercayaan kepada dua Tuhan yang maha kuasa, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap. (Hakim, 1993: 21).
       Mereka memberi nama Tuhan Cahaya dengan nama Ahuramazda, yang dianggapnya sebagai Tuhan kebaikan, dan Tuhan Gelap mereka namai dengan Ahirman, yakni Tuhan kejahatan.
       Kepercayaan terhadap dua Tuhan ini timbul karena mereka memperhatikan dua hal yang selalu beredar di alam ini: Senang dan susah, suka dan duka, sehat dan sakit, lahir dan mati, bangun dan runtuh, terang dan gelap, dan lain sebagainya.
b.      Agama Shabiah
       Shabiah menurut bahasa berasal dari kata shaba’a atau shaba yang artinya membelok atau melepaskan diri dari ikatan. Orang yang menganut shabiah dinamakan shabiin, karena mereka membelok dari jalan yang ditunjukkan oleh para Nabi. (Hakim, 1993: 32).
       Aliran shabiah mengajarkan kepercayaan kepada roh-roh (Rohaniah). Yang dimaksud dengan roh-roh disini ada dua macam:
1)      Ruh, yaitu suatu golongan makhluk Tuhan yang tertinggi, yang juga maha suci zat dan sifatnya, mereka tidak tampak dan tidak dapat diraba, tidak dapat dijangkau dengan panca indera, lepas dari sifat-sifat dan pengaruh benda, tidak terikat oleh pengaruh ruang dan waktu.
2)      Rauh, artinya kesentosaan, keadilan, kebahagiaan, rahmat dan nikmat. Rauh adalah sifat daripada roh. Dan rauh juga sebagai haluan dan cita-cita tertinggi penganut shabiah.
Keyakinan kepada Tuhan:
       Para penganut shabiah berkeyakinan bahwa alam ini diciptakan oleh Tuhan, Tuhan Maha Pandai, Maha Bijaksana, Maha suci dari pengaruh dan sifat alam. Lalu mereka beranggapan bahwa penyembahan atau pemujaan terhadap Tuhan yang menciptakan alam ini harus melalui perantara, kita tidak bisa langsung menghadap ke hadirat Tuhan Yang Maha Suci, Maha besar dan Maha Tinggi itu. Perantara dengan menggunakan roh-roh yang suci pula, yang bersih dari pengaruh jisim dan benda, bebas daripada ikatan ruang dan waktu. (Hakim, 1993: 32).
c.       Agama Yahudi
       Pada awalnya Yahudi bukanlah nama suatu agama, tetapi nama suatu bangsa, yaitu bangsa Yahudi; yang biasa juga disebut bangsa Israil atau Ibrani.
       Hanya agama yang mereka anut telah dibangsakan kepada nama bangsa mereka, dengan sebutan agama Yahudi atau agama Israil. (Hakim, 1993: 38).
       Sebetulnya jika ingin mengetahui genealogi pemahaman agama ini kita harus mengkaji dari mulai asal usul perkembangan bangsa yang menganut agama ini, hanya saja pada makalah ini kita tidak difokuskan ke arah sana.
       Secara ringkas, pada awalnya kepercayaan agama ini ialah Tauhid yang diajarkan oleh Nabi Musa a.s melalui wahyu dari Allah dan kitab Taurat sebagai pegangannya. Agus Salim dalam bukunya yang berjudul Perbandingan Agama, ia mengatakan karena banyaknya perkembangan yang terjadi, saat Nabi Musa bermunajat kepada Tuhannya di gunung Thursina selama 40 hari, lalu ketiadaan Nabi Musa pada saat itu dijadikan sebagai kesempatan oleh seorang yang Fasik yang bernama Samiri untuk menyesatkan Bani Israil.
       Ajaran Tauhid mulai bergeser, akibat penyesatan Samiri yang mendoktrin untuk syirik kepada Tuhannya, sehinga Bani Israil meyembah berhala.
d.      Agama Kristen
      Menurut Agus Salim, ringkasnya agama Kristen yang kita lihat pada masa sekarang ini tersebar luas di negara-negara Barat dan lain-lainnya, berasal dari pengajaran Nabi Isa a.s yang telah dirobah demikian jauh dari pokoknya yang asli oleh penganut-penganutnya sendiri.
       Sebenarnya pengajaran yang asli dari Nabi Isa a.s ialah Tauhid yang suci; yaitu meng-esakan Allah Swt. Akan tetapi orang Nasrani di belakang Nabi Isa telah menjadikan agama Tauhid menjadi agama musyrik, mirip dengan agama berhala, menjadi Trinitas, bertuhan tiga, yaitu menuhankan Nabi Isa dan Ruhul Kudus di samping Allah swt. Pola ini mereka ambil dari kemusyrikan Yunani dan Romawi, serta dari pengajaran trimurti agama mesir kuno dan Brahma. (Hakim, 1993: 90-91).
e.       Agama Hindu
       Tuhan dalam agama Hindu disebut Brahma. Kalimat Brahma dalam bahasa Hindu lama (Sansekertas) yaitu nama bagi Tuhan yang wujud dengan sendirinya, Maha Esa dan Maha Kuasa yang bersifat azali, tidak berawal dan tidak berakhir, yang menciptakan dan menjadi asal dari sekalian alam; ia tidak dapat diraba dengan pancaindera tetapi hanya dapat diketahui dengan akal.
       Brahma itu Tuhan yang tunggal dalam agama Hindu. Tetapi beberapa abad di belakang, penganut agama Hindu telah merubah kepercayaan bertuhan satu itu (monotheisme), kepada trimurti atau bertuhan tiga.
       Trimurti itu terdiri dari: Brahma, Wisynu dan Syiwa.
       Apabila diperhatikan dalam kitab Weda, kitab suci agama Hindu, di situ tidak disebutkan Tuhan yang berbilang, tetapi hanya menyatakan ketuhanan Brahma semata-mata. Nama Wisnu dan Syiwa memang ada disebut, tetapi bukan sebagai Tuhan, hanya sebagai sifat. Wisynu kasih sayang dan memelihara, Syiwa sifat maha kuasa dan memusnahkan.
       Para pendeta telah mengkhayal dalam pikiran mereka, untuk menempatkan kedua sifat Tuhan itu sebagai Tuhan yang kedua dan ketiga.
f.        Agama Budha
       Masih dalam bukunya  Agus Hakim yang berjudul Perbandingan Agama, ia menjabarkan bahwa Budha sebenarnya bukanlah nama bagi seseorang, tetapi sebutan yang diberikan kepada orang yang telah mencapai “bodhi” yaitu ilmu pengetahuan yang tinggi dan sempurna, yang telah mendapatkan jalan untuk melepaskan diri dari kekangan karma.
       Selanjutnya ia berpendapat bahwa Budha yang kita kenal dalam sejarah sebagai pendiri agama Budha ialah seorang anak raja dari Kapilawastu India, bernama Sidharta.
       Ketika berbicara keperyaan agama Budha terkait Tuhan, pada umumnya bila orang membicarakan suatu agama, terkait kepercayaannya kepada Tuhan, ia selalu berkeyakinan terkait Tuhan yang Maha Kuasa, bahkan itu dijadikan sebagai pandangan pertama. Akan tetapi lagi-lagi Agus Hakim memberikan pandangannya bahwa setelah ia mengupas agama  Budha, kepercayaan kepada tuhan dalam agama Budha jarang sekali dikemukakan.
       Ketika memperhatikan khutbah-khutbah Budha Gautama dan soal jawabnya, ia tidak percaya kepada tuhan yang banyak, dewa dan berhala-berhala yang dipuja dalam agama Hindu; bahkan penyembahan demikian dicela dalam agama Budha.
       Akan tetapi ketuhanan Brahma tetap diakui oleh Budha, mereka mengakui Brahma sebagai tuhan yang menciptakan, yang bersifat kasih sayang kepada semua makhluknya, lalu dalam hal ini Budha tidak mengakui tuhan yang lain. Oleh sebab itu ahli-ahli sejarah agama memasukkan agama Budha kepada golongan agama yang menuhankan satu tuhan (monotheisme), bukan musyrik. (Hakim, 1993: 166).
D.    Tauhid Sebagai Perbandingan
1.      Pengertian Tauhid
       Setiap agama memiliki tentang Tuhan, sebab pada hakikatnya agama adalah peraturan ketuhanan yang menjadi tuntutan bagi umatnya untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin,baik di dunia maupun di akhirat. Itulah sebabnya setiap agama menjadikan ajaran atau ilmu ketuhanan dalam agamanya tersebut sebagai pelajaran utama. (Purba dan Salamuddin, 2016: 2)
       Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Sumber ajaan agama Islam adalah al-Quran dan Hadits. Dengan demikian, Theologi Islam ialah ajaran tentang Tuhan menurut agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits, yaitu mengajak umat manusia untuk meng-Esa-kan Allah Swt.
       Berdasarkan uraian di atas, sebutan literatur Islam terhadap theologinya ialah Tauhid (peng-Esa-an). Jadi ketika berbicara mengetai teologi Islam maka kita akan membicarakan pengertian Ilmu Tauhid.
       Seperti yang dikutip oleh Purba dan Salamuddin terkait definisi ilmu, mereka mengambil pandangan dari Wihadi Admojo yang mengatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dalam bidang itu. mereka pun mengutip pendapat Mulliadi Kartanegara dan Amsal Bakhtiar terkait objek ilmu, bahwasanya ia meliputi hal yang empiris maupun yang tidak empiris, karena itu teologi sebagai ilmu yang membahas tentang Tuhan juga termasuk ilmu yang saa dengan ilmu-ilmu lainnya. (Purba dan Salamuddin, 2016: 2).
       Perkataan Tauhid berasal dari bahasa arab, yaitu bentuk masdar dari kata “wahhada yuwahhidu” yang artinya “menyatukan” atau “mengesakan”. Sebagai bentuk masdar (sifat dan keadaan), kata “tauhid” artinya “penyatuan” dan “pengesaan”. Secata bahasa, kata “penyatuan” atau “pengesaan” mengandung dua pengertian.
       Pertama, penggabungan atau penyatuan beberapa benda/unsur sehingga menjadi satu kesatuan. Contoh ketika seseorang menggabungkan beberapa unsur seperti kopi, gula, susu, dan air panas dalam sebuah gelas sehingga menjadi satu kesatuan yang bernama kopi susu, maka secara bahasa pekerjaan yang dilakukan oleh orang tersebut adalah proses tauhid (penyatuan). Contoh yang lain misalnya ketika seorang ibu menggabungkan ikan, air, garam, cabai, dan berbagai unsur lainnya dalam sebuah kuali kemudian dimasak dan hasilnya gulai ikan, maka secara bahasa, proses yang dilakukan oleh seorang ibu tadi ialah proses tauhid. Demikian juga apabila seseorang menyatukan unsur pikirannya, perasaannya, perkataannya dan perbuatannya sehingga menjadi satu kesatuan (tidak berbeda antara pikiram, perasaan, perkataan dan perbuatannya) maka secara bahasa apa yang dilakukan oleh orang tersebut ialah proses tauhid.
       Kedua, pengakuan kebenaran tentang keesaan sesuatu/seseorang. Contoh apabila misalnya terjadi bahwa di suatu desa, hanya ada seorang laki-laki dan selainnya adalah perempuan, maka apabila kita mengakui dan mengatakan bahwa benar di desa tersebut hanya terdapat seorang laki-laki, maka pengakuan kita tersebut secara bahasa adalah proses tauhid, yaitu mengakui keesaan seseorang. (Purba dan Salamuddin, 2016: 7).
        Bisa kita ambil pemahaman bahwa inti ajaran Tauhid Islam tersimpul dalam sebuah kalimat “Tiada Tuhan Selain Allah”. Pada akhirnya Tauhid ialah “penolakan terhadap segala sesuatu dan menetapkan keesaan sesuatu” . Kalau mengutip perkataan Syeikh Utsaimin dalam kitabnya Qaul Mufid inti ajaran tauhid islam ialah menolak atau meniadakan segala sesuatu untuk dijadikan tuhan dan menetapkan hanya Allah satu-satunya yang harus dipertuhankan.
       Pengungkapan tauhid dalam Al-Quran ada yang menggunakan kata “ahad” adapula yang menggunakan kata “wahid”. Kedua kata tersebut memiliki esensi yang sama terkait ke-Esa-an Allah, hanya saja ada perbedaan dalam menafsirkan ketika relasional antar kata berbeda.
       Seperti dalam Q.S Al-Ikhlas
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ - ١
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa
Lalu dalam Q.S Al-Baqarah ayat 163
وَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ لَآاِلٰهَ اِلَّا هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ
Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
       Kita bisa mengambil pemahaman berdasarkan uraian di atas, bahwa ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas tentang Allah Swt yang Maha Esa.
       Lalu kita pun bisa merujuk pendapat para ahli yang telah mengemukakan terkait definisi ilmu Tauhid ini, Purba dan Salamuddin mengutip pendapat Syeikh Muhammad Abduh yang mengemukakan bahwa ilmu tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan daripada-Nya, juga membahas tentang rasul-rasul-Nya, meyakinkan kerasulan mereka, sifat-sifat yang boleh ditetapkan kepada mereka dan apa yang terlarang dinisbatkan kepada mereka.
       Selanjutnya masih dalam buku Teologi Islam Ilmu Tauhid karya Purba dan Salamuddin, mereka mengutip perkataan Husain Afandi Al-Jisr yang mengemukakan bahwa ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang hal-hal yang menetapkan akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan.
       Ibnu Khaldun pun menjadi rujukan kedua penulis ini, dalam pandangan Ibnu Khaldun ilmu tauhid berisi alasan-alasan dari akidah keimanan dengan dalil aqliyah dan alasan-alasan yang merupakan penolakan terhadap golongan bid’ah yang dalam bidang aqidah telah menyimpang dari mazhab salaf dan Ahlus sunnah.
       Terakhir mereka mengutip pendapat Thahir Abdul Muin yang mengemukakan bahwa ilmu tauhid ialah ilmu yang menyelidiki dan membahas soal yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan bagi sekalian utusan-Nya; juga mengupas dalil-dalil yang mungkin cocok dengan akal pikiran sebagai alat bantu untuk membuktikan adanya Zat yang mewujudkan. (Purba dan Salamuddin, 2016: 3).
       Disamping definisi-definisi di atas masih banyak definisi lain yang dikemukakan para ahli. Sekalipun redaksi yang dihadirkan tidaklah sama, namun bila kita simak apa yang tersirat dari definisi yang mereka berikan tiada lain ialah masalah yang berkisar pada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah dan ke-Esa-an-Nya.
2.      Objek Pembahasan Tauhid
       Tauhid dalam pengajarannya sudah tentu mempunyai objek pembahasan, seperti yang dikemukakan oleh Thahir Abdul Muin bahwa objek pembahasan tauhid yaitu yang berkaitan dengan zat Allah dan zat utusan-utusan-Nya, yang wajib, mustahil dan jaiz. Juga mengupas segala yang mungkin dan dapat diterima akal untuk dijadikan dalil dan bukti. Akhirnya, mengupas soal-soal sam’iyyat agar dapat mempercayai dalil-dalil dengan yakin. (Purba dan Salamuddin, 2016: 6).
3.      Karakteristik Tauhid
       Yang dimaksud dengan karakteristik adalah ciri khas, tanda khusus atau sifat khusus yang dimiliki oleh sesuatu atau setiap individu yang tidak dimiliki oleh individu lain secara utuh. Jadi, yang dimaksud dengan karakteristik ilmu Tauhid adalah tanda, ciri dan sifat khusus dari Teologi Islam sebagai ilmu, hal mana sifat itu tidak dimiliki oleh ilmu-ilmu lain secara utuh.
       Setelah kita faham inti dari ajaran Tauhid ialah “an-nafyu” dan “ats-tsabtu” yakni meniadakan tuhan dan menetapkan bahwa Allah sebagai satu-satunya tuhan, kita pun dapat merumuskan bahwa karakteristik ilmu Tauhid antara lain:
a.       Menuntut Pengalaman
       Makna yang sebenarnya terkait tauhid ialah bukan kata benda, tetapi menuntut pekerjaan. Karena itu karakteristik yang pertama dari ilmu Tauhid adalah menuntuk untuk diamalkan, bukan hanya sekedar diketahui. Kalau hanya sekedar diketahui, kaum musyrik arab pada saat dahulu mengetahui bahwa hanya Allah semata pencipta segala sesuatu, namun mereka tetap saja tidak bertauhid. Artinya, mempelajari ilmu tauhid bukan hanya untuk diketahui semata tetapi harus diamalkan.
       Seperti pendapat Syeikh Abdurrahman yang dikutip oleh Purba dan Salamuddin bahwa Tauhid bukan hanya sebatas pengakuan lidah akan ke-Esa-an Allah. Tetapi harus dilanjutkan dengan meniadakan tuhan-tuhan selain-Nya dan komitemen unruk senantiasa beribadah kepada-Nya. (Purba dan Salamuddin, 2016: 9).
b.      Menuntut Integrasi Ilmu, Iman dan Amal
       Dari pengertian Tauhid seperti dikemukakan di atsa, yaitu “penyatuan”, maka dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk tauhid (ittihad), karena kejadian manusia merupakan hasil penyatuan atau gabungan dari beberapa unsur yaitu unsur jasmani dan rohani, sehingga pada diri manusia itu terdapat pikiran, hati dan perbuatan. (Purba dan Salamuddin, 2016: 10).
       Oleh karena itu, tauhid menuntut kita sebagai orang yang mempelajarinya agar pada diri kita terjadi penyatuan (integrasi) antara ilmu, iman dan amal.
       Ilmu tauhid tidak ada artinya apabila tidak dilanjutkan dengan iman. Pun begitu dengan iman, tidak akan benar jika tidak didasari oleh ilmu yang benar tentang ke-Esa-an Allah, dan selanjutnya akan sia-sia semua itu jika tidak diwujudkan dengan perbuatan. Demikian juga amal perbuatan akan menjadi benar dan kokoh manakala didasari oleh ilmu yang benar dan syahadah yang kokoh. Sedangkan, mengakui dan mengamalkan tanpa didasari ilmu pengetahuan disebut taklid. Selanjutnya, pengamalan tanpa didasari hati disebut munafik. Tidak berilmu, tidak beriman dan tidak beramal disebut sesat. Selanjutnya, pemisahan antara ilmu, syahadah dan pengamalan disebut sekularisasi, orangnya disebut sekuler. Semua itu dilarang dalam ilmu tauhid. Tauhid adalah penyatuan dari ketiga aspek itu: ilmu, pengakuan hati dan pengamalan. Itulah esensi penghambaam, persembahan dan pengabdian manusia yang paling hakiki kepada Allah Swt.
       Jika Tauhid hanya dimaksudkan untuk mengetahui keesaan Allah semata, maka kita harus mengakui bahwa iblis merupakan makhluk yang tergolong paling pertama bertauhid, sebab dia telah bertauhid jauh sebelum manusia diciptakan Tuhan. Itulah pesan yang Allah sampaikan dari firmanya surat Al-Baqarah ayat 34.
      Maka penulis berpandangan bahwa perilaku manusia yang berbeda antara pikiran, hati, ucapan dan perbuatan itu merupakan perbuatan yang sangat menyalahi karakteristik ilmu tauhid.
c.       Menuntut Berkesinambungan
       Dalam ilmu nahwu, kata “wahhada yuwahhidu” yang artinya “menyatukan” atau “meng-esa-kan” adalah bentuk kata kerja yang bermakna bahwa pekerjaan mengesakan tersebut dilakukan tidak sekali saja, tetapi dilakukan secara berulang-ulang. (Purba dan Salamuddin, 2016: 12).
       Karena itu, karakteristik ilmu tauhid menuntut bahwa dalam pengakuan terhadap keesaan Allah itu harus dilakukan terus menerus selama hidupnya di dunia tanpa berhenti atau mundur. Orang yang berhenti atau mundur dari pandangan tauhid berarti ia telah murtad, ia telah menyalahi karakter ilmu tauhid. Senada dengan pesan yang Allah sampaikan dalam Q.S Al-Ahzab ayat 41, Al-A’raf ayat 205, Ali Imran ayat 191, dan An-Nisa ayat 103.
d.      Menuntut Kepatuhan
       Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas ajaran ketuhanan dalam agama Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits. Jika kita mengkaji Islam secara harfiah, ia berasal dari kata “aslama-yuslimu” yang artinya berserah diri dan patuh. Juga arti harfiah lain dari perkataan Islam ialah “damai”. (Purba dan Salamuddin, 2016: 13).
       Purba dan Salamuddin mengutip pendapat Khursid Ahmad yang menyebutkan bahwa ilmu tauhid itu menghendaki kita patuh menyerahkan dii kepada Allah dengan sesempurnanya. Hanya dengan kepatuhan kepada Allah itulah yang akan membuat manusia mencapai kedamaian jiwa yang riil dan menyebabkan terciptanya kedamaian dalam masyarakat. Hal ini senada dengan pesan yang Allah sampaikan dalam surat Ar-Rad ayat 28-29.
4.      Sumber Ajaran dan Manhaj Ilmu Tauhid
a.      Sumber Ajaran Ilmu Tauhid
       Ketika memahami Tuhan, jika manusia hanya mengandalkan akalnya semata, maka manusia tidak mungkin dapat mengenal Tuhannya secara baik, kecuali hanya melihat eksistensi-Nya saja dengan perantara ciptaan-ciptaan-Nya yang empiris. Karena manusia adalah makhluk yang tebatas di dalam segala aspeknya sedangkan Tuhan tidak terbatas. Maka mengutip perkataan Syahiman Zaini dan Ananto Kusuma Seta dalam bukunya yang berjudul “Bukti-bukti Al-Quran sebagai Wahyu Allah” menurutnya, bagaimana mungkin yang terbatas dapat mengetahui sesuatu yang tidak terbatas, bagaimana mungkin barang ciptaan dapat mengetahui penciptanya. (Purba dan Salamuddin, 2016: 14).
       Selanjutnya Hadis Purba dan Salamuddin (2016: 14) mengutip pula pendapat Agus Mustofa yang terdapat dalam bukunya yang berjudul “Bersatu Bersama Allah”, ia mengatakan bahwa sebenarnya manusia bisa menemukan Allah dengan akal dan sains, tapi butuh waktu sangat panjang. Dan tidak semua orang bisa memahaminya dengan baik, sering kali, usia manusia –bahkan sepanjang peradabannya- tidak cukup untuk menemukan Allah, yang ketemu adalah tuhan-tihannya yang dzat sepesifikasinya jauh lebih rendah dari Tuhan yang sebenarnya. Dalam Islam, tidak hanya akal yang digunakan dalam memahami sesuatu, ada wahyu yang memandu akan hal itu. Karena dalam sejarahnya ketika manusia mencari dan mengenal Tuhannya hanya dengan naluri saja, pada kenyataannya dalam mengupayakan hal itu sering kali jatuh dalam kesesatan. Bukan ketemu Allah tetapi ketemu tuhan-tuhannya. Kenapa demikian? Menurut Agus mustofa sebab dzat Tuhan yang sesungguhnya memang jauh di luar perkiraan akal manusia.
       Pencarian dan pengenalan Allah lewat akal semata hanya akan melahirkan prasangka-prasangka tentang Allah, bukan mengenal Allah yang sebenarnya. Senada dengan firman Allah dalam surat Fusilat ayat 23 yang artinya: ”Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi”.
       Karena itulah Allah memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, agar manusia mengenalnya bukan sekedar dugaan-dugaan saja. Jadi, kunci pengenalan Dzat Allah itu harus berdasar pada informasi yang akurat yang bisa dipercaya. Bukan sekedar dugaan. Lantas dimana informasi itu berada? Menurut Agus Mustofa masih dalam bukunya, ia menjawab bahwa informasi iru berada di dalam firman-firman-Nya.
       Hemat penulis, tidak ada jalan lain untuk memahami dan mengenal Allah swt secara hakiki ya dengan cara memahami pesan Allah dalam kitab-Nya secara tekstual maupun kontekstual. Bahkan hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Syahiman Zaini dan Ananto Kusuma Seta yang dikutip oleh Hadis Purba dan Salamuddin dalam bukunya (2016: 15), bahwa Al-quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada manusia, untuk dibaca, dihayati, dan diamalkan isinya di satu sisi untuk memahami dan mengenal Dzat Allah, di sisi lain agar tercapai kehidupan yang selamat dan bahagia di dunia dan di akhirat.
       Setelah memahami uraian di atas, maka kita dapat berkesimpulan bahwa sumber ajaran tauhid yang pertama ialah Al-Quran. Bahkan kalau kita cermati genealogi pemikiran tauhid ini, sejatinya telah Allah sampaikan sejak rasul-rasul terdahulu mulai dari Adam a.s hingga Isa al-masih dan terakhir sebagai penutup yakni Rasulullah Muhammad Saw.
       Berita (khabar) dalam al-Quran ada yang berupa penjelasan tentang Allah, asma-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan firman-firman-Nya. Inilah yang dinamakan dengan tauhid ilmi khabari. Lalu di dalamnya ada yang berupa dakwah atau ajakan agar hanya beribadah kepada Allah swt dan berlepas diri dari semua sesembahan selain-Nya, maka ini yang dinamakan tauhid iraadi Thalabi (kehendak dan tujuan). Ada juga yang berupa perintah (amr), larangan (nahyu) dan kewajiban taat kepada-Nya, baik perintah-Nya maupun larangan-Nya. Inilah yang dinamakan dengan hak-hak tauhid dan sarana-sarana menuju kesempurnaanya. Ada pula yang berupa berita tentang ahli tauhid dan apa yang Allah perbuat terhadap mereka di dunia serta yang Dia muliakan di akhirat, maka inilah yang dinamakan dengan balasan bertauhid kepada-Nya. Ada lagi yang berupa khabar tentang ahli syirik dan apa yang Allah perbuat terhadap mereka di dunia maupun di akhirat, maka itu dinamakan balasan bagi orang yang menyalahi hakikat dan hukum dari tauhid. Jadi al-Quran membicarakan tauhid secara menyeluruh. (Purba dan Salamuddin, 2016: 17-18).
b.      Manhaj Ilmu Tauhid
       Pada masa kehidupan Rasul, ilmu tauhid sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dalam agama Islam belumlah ada. Pada masa kehidupan Rasul, umat Islam tidak banyak bertanya tentang apa yang disampaikan Rasul, mereka bersikap “sami’na wa atha’na”. Karena itulah menurut Hadis Purba dan Salamuddin tauhid belum menjadi ilmu pada saat itu.
       Setelah Rasul wafat, dan Islam semakin luas dan berkembang, mulailah bermunculan peroalan dan pertanyaan-pertanyaan yang semakin luas salah satunya terkait persoalan tauhid ini. Maka atas dasar itulah para ulama mencoba mengkai ajaran tauhid dari al-Quran dan hadits dengan maksud untuk:
       Pertama, memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan ketauhidan yang tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam sebagai akibat logis dari dinamika perkembangan sosial umat Islam.
       Kedua, memberikan jawaban terhadap pengaruh kepercayaan dan paham-paham lain yang telah memasuki dunia Islam yang oleh para ulama dipandang sebagai ancaman dan bahaya bagi kemurnian akidah umat Islam.
       Ketiga, mengkonkritkan (upaya memperjelas) ajaran ketauhidan karena oleh para ulama masalah ini dianggap masih bersifat samar dalam al-Quran dan hadits bagi masyarakat awam. (Purba dan Salamuddin, 2016: 18).
       Ketika ingin memahami manjah atau metode ilmu tauhid maka dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: 1) Manhaj pengembangan Tauhid, 2) Alat yang digunakan ilmu tauhid dalam mencari kebenaran Allah dan 3) Manhaj yang dipergunakan ilmu Tauhid dalam pembuktian kebenaran yang dibahas. (Purba dan Salamuddin, 2016: 19)

1)      Manhaj Pengembangan Ilmu Tauhid
       Ilmu tauhid sebagai suatu disiplin ilmu yang membahas masalah ketuhanan dalam Islam, adalah hasil rumusan para ulama terhadap ajaran ketuhanan yang terkandung dalam al-Quran dan hadits-hadits. Manhaj atau cara proses pengembangan ilmu ini tidaklah tumbuh sekaligus dalam waktu yang singkat, tetapi lahir dan tumbuh secara bertahap, berangsur-angsur menjawab persoal umat sesuai dengan keadaan dan faktor-faktor yang terjadi dalam dunia umat Islam itu sendiri. (Purba dan Salamuddin, 2016: 19).
       Apabila diklasifikasikan sebab-sebab timbulnya Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam sebagai suatu disiplin ilmu disiplin dalam Islam, dapat dikemukakan sebagai berikut:
a)      Faktor Internal atau sebab yang timbul dalam diri Islam itu sendiri. Faktor internal dapat dibagi menjadi dua bagian:
1.      Sebab yang datang dari al-Quran
       Pertama, al-Quran mendebat orang-orang musyrik dan kaum atheis dan menolak semua argumen mereka
       Kedua, ayat-ayat al-Quran ada yang mutasyabihat yang menimbulkan kecenderungan hati manusia untuk memahami dan membahas maksudnya.
       Ketiga, al-Quran menghargai akal manusia dan bahkan menghadapkan khitab (titah) kepada akal itu agar dapat berfungsi secara maksimal memperhatikan alam dan cakrawala dalam membuktikan kebenaran Allah.
2.      Sebab yang datang dari kaum muslim sendiri:
       Pertama, kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam dalam peperangan telah menghantarkan mereka sebagai negara yang kuat dan jaya serta merasa aman tinggal di negeri mereka sendiri. Dengan keadaan ini membuat umat muslim mempunyai kesempatan untuk membahas secara filosofis terhadap permasalahan agama, sehingga tidak lagi membatasi diri pada arti zhahir nash saja seperti pada masa sebelumnya.
      Kedua, masalah perbedaan faham politik antara sesama umat Islam yang membawa mereka menjadi berkelompok-kelompok/ lebih dari faham politik ini mengakibatkan terbunuhnya khalifat Usman dan Abu Thalid. Untuk kepentingan politiknya, banyak umat Islam ketika itu yang berani menjadikan ayat-ayat al-Quran untuk memperkuat posisi politiknya. Hal itu karena pada masa itu pengaruh agama sangatlah kuat.
       Ketiga, kebebasan dan kemerdekaan berfikir serta mengeluarkan pendapat sangat sempurna di masa awal abad-abad hijirah itu, dan memang hal ini sangat sesuai dengan watak budaya orang Arab dan bahkan dikuatkan lagi oleh ajaran Islam. Keadaan seperti inilah yang membuat suburnya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam saat itu.
b)      Faktor eksternal atau sebab-sebab yang datang dari luar Islam. Adapun sebab-sebab yang datang dari luar Islam, antara lain:
1.      Pengaruh kepercayaan dan agama lain
       Kebanyakan orang yang masuk dalam agama Islam pada masa penaklukan di zaman khulafaur rasyidin adalah orang yang sudah menganut suatu agama atau paling tidak memiliki kepercayaan lain sebelumnya. Walaupun sudah menganut agama Islam, namun kepercayaan lama mereka belum hilang menyeluruh. Kepercayaan lama itu menurut Hadis Purba dan Salamuddin (2016: 20) mereka campurkan dengan aqidah Islam sehingga terjadilah apa yang disebut dengan sinkritisme. Sehingga pada saat itu agak sulit membedakan mana ajaran Islam yang murni dan yang terkontaminasi oleh ajaran lain.
       Menyadari akan bahaya hal tersebut, maka ulama mulai melakukan tindakan-tindakan kemurnian dan mengajari umat tentang aqidah yang benar sehingga mampu membedakannya dari aqidah di luar Islam. Juga Hadis Purba dan Salamuddin mengatakan bahwa pada saat itu dunia Islam mulai membuka diri bagi masuknya budaya luar, maka makin banyak pulalah ajaran aqidah yang berkembang di dunia Islam bahkan memiliki potensi untuk melemahkan aqidah Islam itu sendiri. Karena itu para ulama tentunya membela aqidah Islam dari ajaran luar itu dengan menggunakan argumentasi yang rasional untuk membuktikan keunggulan aqidah Islam itu. Maka dngan cara inilah semakin meluasnya pengetahuan umat Islam tnetang aqidah yang disertai dali-dalilnya.
2.      Pengaruh Filsafat Yunani
       Dengan semakin berkembangnya dunia Islam dan membuka diri terhadap perkembangan kebudayaan internasional, maka pemikiran filsafat Yunani juga  akhirnya memasuki dunia Islam. Pemikiran filsafat Yunani ini sangat menarik perhatian ulama karena al-Quran sendiri sangat mendorong umatnya untuk berfikir secara filosofis. Alasan lain adalah karena ulama Islam menyadari bahwa para lawan aqidah islam juga menpergunakan senjata filsafat dalam melemahkan aqidah umat Islam, karena itu para ulama merasa perlu membela aqidah umat Islam dengan menggunakan senjata yang sama yaitu filsafat. Itulah sebabnya dalam ilmu tauhid selain terdapat dalil-dalil yang berupa nash-nash al-Quran dan hadits, juga didukung dengan dalil (argumentasi) akal yang rasional dan filosofis.

       Dari faktor-faktor di atas, semakin kaya lah khazanah ilmu ketauhidan itu dan akhirnya tumbuh menjadi suatu disiplin ilmu dalam agama Islam.
2)      Alat yang Dipakai Ilmu Tauhid dalam Membahas Kebenaran Allah
       Ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan menurut ajaran Islam. Dalam membahas dan menetapkan kebenaran Allah tersebut, alat yang digunakan ilmu tauhid adalah hukum. Thaib Thahir seperti dikutip Hadis Purba dan Salamuddin (2016: 22)  “Hukum ialah menetapkan suatu perkara terhadap sesuatu yang lain atau tidak menetapkannya”.
Ada 3 hukum yang digunakan oleh ilmu tauhid dalam menetapkan dan mempertahankan adanya Allah, yaitu: hukum syara’, hukum adat, dan hukum akal.
a)      Hukum Syara
       Hukum syara ialah hukum atau perintah Allah Swt yang terdapat dalam nash al-Quran dan Hadits Rasul. Hukum syara ini terbagi dua, yaitu:
-          Taklifi, artinya perintah-perintah Allah kepada orang mukallaf supaya mengakui adanya Allah, mengerjakan perintah-perintah-Nya yang wajib dan sunnah, atau menjauhi larangan-larangan Allah yang haram dan yang makruh dan boleh memilih diantara yang mubah.
-          Wadh’i, artinya perintah Allah untuk menunjukan sesuatu itu menjadi sebab, syarat atau larangan kebaikan atau kerusakan
b)      Hukum Adat
       Hukum adat yaitu hukum yang ditetapkan atau tidaknya atas sesuatu itu berdasarkan pada kebiasaan yang berlaku atau biasa karena terjadi berulang-ulang. Hukum adat yang dimaksud adalah kebiasaan yang berlaku bagi semua manusia di atas bumi tanpa kecuali, bukan adat tradisi yang terjadi pada masing-masing suku tertentu.
       Contoh hukum adat ialah: “kenyang itu biasanya terjadi sesudah makan, jadi hukum adat menetapkan bahwa makan itu mengenyangkan. Adat atau kebiasaan ini berlaku bagi semua manusia di atas muka bumi. (Purba dan Salamuddin, 2016: 22)
c)      Hukum Akal
       Thaib Thahir Abdul Muin seperti dikutip oleh Hadis Purba dan Salamuddin (2016: 22-23) mengemukakan sebagai berikut: Hukum akal yaitu menerapkan atau menafikan sesuatu perkara terhadap perkara yang lain dengan akal pikiran, jadi bukan karena adat (peristiwa berulang-ulang) dan juga bukan karena ada syara yang menetapkan. Misalnya kita menetapkan wajib wujud bagi Allah, maka kita katakan: Allah Wujud
       Hukum akal itu ada 3, yaitu:
-          Wajib, artinya tidak terbayang pada akal akan ketidak adaannya; jadi mesti ada.
-          Mustahil, artinya tidak terbayang pada akal akan wujudnua; jadi mesti tidak ada.
-          Jaiz, artinya barang yang terbayang adanya atau tidak adanya, pada akal sama saja.
       Dengan hukum akal inilah maka di dalam ilmu tauhid ditetapkan pembagian sifat-sifat Allah ada 3; sifat wajib, mustahil dan jaiz.
3)      Manhaj Pembuktian Kebenaran dalam Ilmu Tauhid
       Kalau kita melihat kepada ilmu-ilmu alam, pembuktian kebenaran sesuatu didasarkan pada hasil observasi (pengamatan), dan melalui experiment laboratories atau percobaan dan pengujian laboratorium, yang berarti pengamatan langsung lewat panca indera dibantu peralatan teknis terhadap objek kajian.
       Jadi menurut ilmu ini, ilmu dapat dikatakan benar apabila dapat dibuktikan secara empiris melalui pengamatan langsung ataupun dengan pengujian laboratorium.
       Selanjutnya, Hadis Purba dan Salamuddin (2016: 23) menilai kalau pembuktian dalam filsafat bukanlah pada hasil observasi atau pengamatan empiris, tetapi penilainnya terhadap susun fikir (silogisme) yang dianggap logis dan rasional, yakni terterima dan tertelan oleh akal. Seperti Yoesoef Sou’yb yang dikutip Purba dan Salamuddin, andaipun pendapat filsafat itu tidak didukung oleh data konkrit sepanjang ilmiah maka hal itu tidak merupakan soal bagi filsafat itu tidak menjadi soal.
       Berbeda halnya dengan dua metode pembuktian kebenaran di atas, Yoesoef Sou’yb berpendapat kembali bahwa pembuktian kebenaran dalam teologi Islam (Ilmu Tauhid) adalah metode partisipasi yakni keikutsertaan jiwa dan perasaan untuk percaya dan mengakui sepenuhnya akan keesaan Allah. Sepeeti yang sudah ditegaskan dalam Al-Quran yang merupakan wahyu. (Purba dan Salamuddin, 2016: 23)
       Menurut Hadis Purba dan Salamuddin pembuktian paling primer tentang kebenaran dalam ilmu tauhid adalah wahyu Allah. Sekalipun wahyu itu tidak dapat dibuktikan secara empiris pada saat ini, atau juga tidak tertelan oleh akal maka hal itu bagi ilmu tauhid tidak menjadi suatu masalah.
        Ketika sama-sama membicarakan hal ihwal tentang Tuhan, baik filsafat maupun ilmu tauhid. Pada hakikatnya ada kesamaan terkait ada Dzat yang paling tinggi di alam semesta ini, tetapi ketika berbicara metodologi kebenaran tentu ada yang berbeda karena worldview nya pun berbeda.
       Seperti A. Hanafi dalam bukunya teologi Islam lalu dikutip oleh Hadis Purba dan Salamuddin, ketika melakukan pengujian terhadap kebenaran akan adanya Tuhan, para ulama muslim lebih dahulu percaya pada pokok persoalan dan mempercayai kebenarannya, kemudian mereka menetapkan dalil-dalil fikiran untuk pembuktiannya, sedang filsafat sebaliknya.
       Memang dengan metode pembuktian seperti ini, banyak ilmuwan yang keberatan jika ilmu tauhid disebut sebagai ilmu, dan mereka bertanya kenapa teologi islam (ilmu tauhid) ini disebut sebagai ilmu? Bukankah lebih tepat jika disebut keyakinan atau kepercayaan?
       Maka adapunn jawaban yang dikemukakan oleh para ulama tauhid (teolog Islam) seperti Yoesoef Sou’yb ialah yang dikutip Haris Purba dan Salamuddin (2016: 25): “setiap yang disebut ilmu tidaklah mesti berdasarkan pembuktian observasi atau pengamatan langsung panca indera. Sebagai contoh bukankah sejarah dan kepurbakalaan disebut juga sebagai ilmu? Pembuktian dalam ilmu sejara bukanlah berdasarkan observasi atau pengamatan langsung ahli sejarah terhadap peristiwa pada zaman dahulu; zaman tengah apalagi zaman purbakala, akan tetapu berdasarkan catatan-catatan atau bekas-bekas berupa peninggalan yang menggambarkan peristiwa masa lalu itu. Demikian juga dengan arkeologi (ilmu kepurbakalaan), pembuktiannya tidak lebih hanya berupa penarikan-penarikan kesimpulan terhadap tulang belulang dan benda-benda purba yang ditemukan.
       Dengan demikian, tidak ada keberatan jika pembicaraan tentang Tuhan disebut juga sebagai “ilmu” hinggu disebut teologi seperti memanggilkan geologi dan sebagainya, sekalipun pembuktiannya bukan berdasarkan observasi.

E.     Tauhid Sebagai Landasan dan Pandangan Hidup
       Pandangan hidup saya, atau bahkan kita sebagai muslim ialah tauhid. Tauhid yang telah dijelaskan di atas secara keseluruhan. Namun seiring berjalannya waktu ada pemikir-pemikir yang mengira bahwa tauhid hanya sekedar mengajarkan spiritual semata, bahkan menurut pemikir-pemikir semisal Ali Syariati, Asghar Ali Engineer, Hasan Hanafi dan yang lainnya aspek sosial kurang tersorot oleh konsep tauhid.
       Mengutip pendapat Ali Syariati (2001: 73) menurutnya banyak orang percaya akan tauhid sebagai suatu teori religius filosofis, yang hanya berarti “Tuhan adalah satu, tidak lebih dari satu”. Tetapi bagi saya –Syariati- tauhid adalah suatu pandangan hidup, dan saya (read: Ali Syariati) yakin bahwa inilah yang Islam maksudkan.
       Bahkan Ali Syariati menyebutkan bahwa tauhid ialah suatu pandangan hidup tentang kesatuan yang universal, kesatuan antara tiga hipostastis yang terpisah, yakni Allah, alam dan manusia. Menurutnya ketiganya tidak terpisah antara satu sama lain, tidak saling bertentangan dan tidak saling diceraikan oleh sekat-sekat. Masing-masing tidak mempunyai arah sendiri-sendiri tapi saling berkaitan. (Syariari, 2001: 74)
       Hubungan segi tiga antara Tuhan, manusia dan alam sangat umum diungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun seringkali hal ini dianggap sederhana dan sebelah mata, pada intinya hal ini menjadi pondasi bagi kita untuk menghadapi segala sesuatu. Terlebih persoalan ini sering disampaikan di forum-forum kajian dan ceramah di masjid-masjid. Seyogianya, Tuhan sebagai Pencipta, dan dua yang terakhir sebagai ciptaan dan manifestasi dari kekuasaan-Nya dan wujud keberadaan-Nya.
       Menurut Ahmad Sahidah (2018, 29)  keterkaitan tiga hal ini sebetulnya sangatlah rumit, karena terkadang pemahaman terhadap Tuhan ternyata menghasilkan pelbagai persoalan dan tindakan yang berbeda, bahkan di antara sesama penganut satu agama.
       Semua telah sepakat bahwa kepercayaan kepada Tuhan, biasanya disebut dengan iman di dalam Islam. Hal itu merupakan inti dari agama. Lalu Toshihiko Izutsu, sebagai seorang sarjana kajian Islam memberikan perhatian lebih pada persoalan pemikiran Islam dan telah menerjemahkan al-Quran ke dalam Bahasa Jepang, tentunya ia memandang ke tiga persoalan itu sangatlah penting. Tidak hanya terkait esensi dan eksistensi Islam, tetapi juga pembahasan ini muncul sebagai permulaan dari pemikiran teologi muslim zaman awal. Perselisihan ini muncul akibat kepentingan politik di antara kelompok-kelompok Islam pada saat itu, tepatnya perpecahan antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Hingga muncul satu kelompok yang kita kenal dengan istilah khawarij. (Sahidah, 2018: 30)
       Tentu saja, kita bisa membayangkan bahwa permasalahan ini mempunyai dampak yang menentukan bagi kehidupan muslim. Sebab, sejak masa lalu sampai sekarang, permasalahan ini yang menyebabkan kita terjebak dalam mengafirkan satu sama lain, baik terhadap muslim maupun non muslim.
       Disamping hal tersebut, Ahmad Sahidah menggambarkan bahwa hubungan manusia dan alam mempunyai pengaruh besar terhadap lingkungan sekitar, baik manusia dan alam itu sendiri bahkan makhluk-makhluk yang ada disekitarnya sepeti flora dan fauna. Kesadaran terhadap pemeliharaan lingkungan sangatlah menentukan kualitas ketiganya (manusia, alam, dan binatang). Walau bagaimana pun manusia, ternyata kebanyakan manusia mengabaikan susunan alam ini untuk memanfaatkan kekayaan yang ada di dalamnya. Ketamakan dan kerakusanlah yang menakibatkan hubungan itu tidak stabil.
       Sebenarnya, bencana-bencana yang terjadi per hari ini bukan atas dasar takdir semata, akan tetapi efek dari banyaknya eksploitasi hutan yang tidak terkawal, pembakaran liar, dan perambahan lahan hijau secara sembarangan. Karena hutan sebagai tandahan air tidak mampu lagi menahan air, sehingga banjir mudah terjadi. Tidak itu saja, ekosistem yang rusak juga mengganggu keberlangsungan hidup flora dan fauna.
       Berdasarkan fakta yang ada, Ahmad Sahidah menilai terkait teologi ini, hampir-hampir kita mudah menemukan praktik keagamaan yang hanya berhubungan dengan ibadah dalam pengertian sempit (ritual-formal). Praktik keagamaan belum menyentuh ibadah yang lebih luas (sosial), yang seharusnya jauh lebih ditekankan di dalam Kitab Suci (Al-Quran).
       Ahmad Sahidah mengungkapkan dalam pendahuluan bahwa hal-hal yang spiritual mestilah ditafsirkan kembali, jangan sampai muncul pemahaman yang sempit terkait teologi ini. Jangan sampai ada anggapan bahwa keshalihan ibadah ritual formal telah memadai untuk mengantarkan seseorang masuk ke syurga. Padahal pemahaman semacam ini mengabaikan ketundukan sejati, yaitu sikap taat yang ditunjukkan juga dengan mengamalkan ketentuan-ketentuan Tuhan yang berkenaan dengan kewajiban terhadap lingkungan dan manusia yang lainnya.
       Berangkat dari uraian tentang masalah kerumitan hubungan Tuhan dan manusia, serta implikasinya terhadap alam. Penjelasan Al-Quran menjadi sangat penting untuk kemudian dapat dijadikan pijakan tentang cara manusia beragama dan menjalankan keyakinannya atas dasar pengertian yang mendalam terhadap ajaran Tuhan.
       Pemahaman teologis umat Islam, atau ajaran yang diberikan oleh para dai per hari ini cenderung ritualis, dogmatis, dan metafisis. Padahal secara substantif, Islam merupakan agama yang membebaskan manusia dari bentuk eksploitasi, penjajahan, penindasan dan kezhaliman. Kedatangan Islam pada dasarnya ialah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan dilemahkan. Di sini kita bisa lihat bagaimana Islam menentang riba, perbudakan, barbarism, perusakan lingkunan, ketidak-adilan ekonomi, politik dan gender, serta kecenderungan eksploitatif yang dilakukan oleh kaum status quo. (Asghar, 2000: 7)
       Ketika melihat pendapat Asghar pun kita sepakat bahwa tauhid bukan hanya sekedar kepercayaan kepada tuhan semata, tapi tauhid mengajarkan bagaimana hubungan kita dengan manusia lainnya, dan juga perhatian kita terhadap lingkungan.
       Misi Islam dalam hal ini sangat jelas, ketika tauhid menjadi landasan dan pandangan hidup umat Islam, ia mendorong manusia khususnya muslim untuk memiliki persaudaraan yang universal, kesetaraan, dan keadilan sosial.
      Tujuan teologis itu mengisyaratkan adanya pemahaman bahwa semua manusia itu sama, tidak peduli suku, bangsa, negara, gender, karena yang berbeda dalam pandangan Allah ialah tentang ketaqwaannya, senada dengan pesan yang disampaikan dalam surat al-Hujurat ayat 13.
       Berbicara tujuan teologis Islam yang hubungannya dengan manusia, menurut Kuntowijoyo (1994: 162-163) konsep manusia dalam Islam ialah manusia yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya manusia menduduki tempat yang sangat terhormat. Bahkan dapat dilihat dari predikat yang diberikan kepadanya sebagai khalifah di muka bumi. Dalam hal ini memberikan gambaran seolah Allah mempercayakan kekuasan-Nya kepada manusia untuk mengatur dunia ini, sebuah tugas yang maha berat yang makhluk-makhluk lainnya enggan memikulnya. Konsepsi seperti ini sebenarnya suatu konsepsi yang sangat revolusioner jika diingat bahwa pada konteks lahirnya Islam pada abad ke VI/VII, dunia, terutama di belahan Barat yang dihegemoni oleh pandangan filsafat romawi dan Yunani yang memandang manusia sebagai makhluk yang rendah, muram dan pesimis.
       Dalam pandangan hidup tauhid, manusia hanya menaruh takut akan satu kekuatan, dan hanya merasa bertanggung jawab kepada satu hakim. Ia hanya menghadap ke arah satu kiblat, dan menunjukkan harap dan hasratnya kepada satu sumber. Akibatnya ialah bahwa selain itu semuanya palsu dan tanpa arti.
       Tauhid memberkahi manusia dengan kebebabasan dan kemuliaan. Kebebasan dari prilaku kezhaliman dan penindasan, menyerah semata-mata kepada-Nya, norma teragung dari segala-galanya, membuat manusia memberontak terhadap semua kekuasaan dusta dan zhalim, mematahkan segenap belenggu dan kerakusan nista.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
       Setelah pembahasan di atas terkait konsep Tuhan, maka dapat disimpulkan bahwa Tuhan merupakan Dzat yang Maha Suci dan sempurna yang memberi eksistensi kepada segala sesuatu.
       Dari sejarah pemikiran manusia, bahwa manusia pun sedari awal mengakui adanya tuhan, namun banyak persepsi tentang tuhan. Banyak objek yang dijadikannya sebagai tuhan. Tapi pada fase akhir manusia mengakui konsep monotheisme, yang memahami bahwa tuhan itu tunggal.
       Begitupun agama-agama ketika membicarakan tuhan, semua sama bahwa ada Dzat yang maha tinggi yang mengatur di luar manusia, walaupun kepercayaan kepada tuhannya tidak bisa disamaratakan.
       Islam hadir sebagai solusi bagi manusia, ia menghadirkan konsep tuhan yang sangat komprehensif. Menurut Islam, konsep tuhan itu ialah Tauhidullah, yakni meng-esakan Allah. Atau ketika dirunut secara bahasa, meniadakan dan menetapkan. Meniadakan tuhan-tuhan selain Allah, lalu menetapkan bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan di alam semesta.
       Tauhid hadir tidak hanya sebagai konsep kepercayaan terkait keesaan Allah saja, tapi tauhid hadir untuk solusi kehidupan manusia. Konsep teologis dalam Islam tidak melulu hanya meng-esakan Allah, tapi bagaimana relasi kehidupan antara Allah dan manusia, manusia dan manusia lainnya, Allah dengan alam, dan manusia dengan alam. Tauhid hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap perilaku penindasan dan kezhaliman. Ketika kita ber-Tuhan maka kita pun harus berani melawan.
B.     Saran
       Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka saran saya ketika kita mengkaji tauhid secara holistik harus melakukan pengkajian secara metodologis dan komparatif antara pemikir terdahulu dengan pemikir kontemporer. Sehingga tauhid bisa dikontekstualisasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya
Ali Enginner, Ashgar, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1994
Sahidah, Ahmad, God, Man, and Nature, Yogyakarta: IRCiSod, 2018.
Syariati, Ali, Paradigma Kaum Tertindas, Jakarta: Islamic Center Jakarta Al-Huda, 2001.
Hakim, Agus, Perbandingan Agama, Bandung: CV. Dipenogoro, 1993.
Abdulrahim, Muhammad Imaduddin, Kuliah Tawhid, Jakarta: YAASIN, 1990.
Amstrong, Karen, Sejarah Tuhan,Terjemahan Zaimul Am, Bandung: Mizan, 2002.
Suseno, Franz Magnis, Menalar Tuhan, Yogyakarta: PT KANISIUS, 2015
Hadis Purba dan Salamuddin, Theologi Islam –Ilmu Tauhid-, Medan: Perdana Publishing 2016.
Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, Jakarta: Ikhwan, 1993
Hanafi, Hasan, Dari Akidah ke Revolusi, Terjemahan Asep Usman dkk, Jakarta: Paramadina, 2003

1 comment:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    ReplyDelete