Renungan untuk umat muslim


RENUNGAN UNTUK UMAT MUSLIM



            Pertanyaan pertama yang saya ingin ajukan kepada umat muslim –di Indonesia khususnya- kenapa masyarakat Indonesia –kaum muslimin khususnya- sering dilanda bencana? Kadangkala kita semua menjawab dengan dingin “Itu sudah ketentuan-Nya..”.

            Diera globalisasi sekarang ini, masyarakat Indonesia semakin terpuruk, yang miskin semakin miskin yang kaya semakin kaya. Krisis ekonomi yang mereka alami, membuatnya menjadi yakin untuk mengikuti suapan satu amplop uang dan beberapa makanan yang menjadikan nya murtad dari agama Islam.

            Krisis ekonomi juga yang menjadikan mereka brutal dan melakukan kriminalitas. Mereka tak memikirkan halal dan haram suatu pekerjaan, tapi yang mereka pikirkan “bagaimana supaya mereka bisa bertahan hidup sementara mereka dilanda krisis ekonomi”. Itulah sebab, penyimpangan sosial pun sudah tak asing lagi dinegri ini, dari mulai pejabat sampai bawahan pun sama seperti itu.

            Ilmu pengetahuan yang kian tingginya, tak bisa membuat mereka bisa memutlaqkan suatu kebenaran. Mereka berfikir bahwa benar itu relatif, tidak ada mutlaqnya sama sekali. Itulah yang membuat saya aneh, ilmu pengetahuan kini sudah tentu tinggi, tapi moral umat? Nah, itu yang mesti kita renungkan.

            Imam syafi’i suatu ketika menggubah syair. Sebuah syair tentang para pencari imu dan syarat-syarat memperoleh ilmu.

            Kata Imam Syafi’i, tidaklah mungkin ilmu didapat, kecuali dengan enam syarat. Enam syarat itu adalah dzaka, hrish, isthibar, bulghah, irsyadu ustadzin, dan thulu zaman.

            Bagaimanapun, seorang pencari ilmu, kata Imam Syafi’i, harus seseorang yang memiliki kecerdasan, dzaka. Dzaka adalah yang tak bisa ditawar. Begitu pula hirshi, seorang pencari ilmu juga harus meiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Tanpa semangat, seorang pencari ilmu hanya akan tenggelam dalam cita-cita palsunya yang tak pernah selesai dibangun. Kecerdasan dan semangat juga tak cukup untuk mendapat ilmu yang sempurna. Para pencari ilmu harus membekali diri mereka dengan isthibar, kesabaran yang luas seperti samudra. Karena, semangat tanpa kesabaran akan berujung pada keputus asaan.

            Selanjutnya, Imam Syafi’i juga menyaratkan bulghatin, modal atau bekal. Setiap kesuksesan selalu meminta biaya. Kemajuan ilmu pengetahuan, memang bukan tiba-tiba jatuh dari langit. Semua usaha dikerahkan, termasuk dana dalam pencarian, penelitian, dan sekian banyak percobaan. Dan, unsure yang paling penting dalam syarat Imam Syafi’i adalah irsyadu ustadzin, guru yang membimbing. Ilmu memang bisa dicari tanpa guru. Ilmu mungkin saja didapat tanpa ustadz. Tapi guru dan pembimbing tak pernah bisa tersingkir. Sebab, ilmu bukan hanya soal matematika, tapi juga soal transfer akhlaq, moral, dan akidah. Hal inilah yang mungkin mereka tak menitik beratkan, mereka menganggap spele, mereka mengira bahwa moral, akhlak itu gampang. Tapi hakikatnya, seorang berilmu itu mempunyai moral, akidah dan akhlak yang bagus dan baik.

            Dan terakhir, kata Imam Syafi’i, dalam ilmu pengetahuan, tak satu hal pun bersifat instan. Ilmu selalu membutuhkan thulu zaman, perjalanan waktu. Tak ada ilmu untuk orang yang berfikir instan dan menghendaki hasil seperti mata yang dikedipkan. Tak ada ruang untuk orang-orang yang selalu ingin hasil secepat kilat.

            Cukupilah enam syarat seperti yang dicatat oleh Imam Syafi’i. janganlah berkurang, meski satu saja darinya. Sebab, semuanya mempunyai kaitan yang sangat erat. Dan akhir dari semua usaha, tentu dengan tengadah dan berlapang dada, memanjatkan do’a. Semoga Allah, dengan ilmu yang kita dapat, memberikan kesempatan seluas-luasnya, sehingga kita bermanfaat bagi umat. Dan memetik kemenangan didunia dan diakhirat. Semoga Allah meringankan langkah para pencari ilmu dan meridhainya dengan cahaya dijalan yang benderang.

No comments:

Post a Comment