Tidak
ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu,
baik itu peradaban kuno maupun peradaban modern. Mengapa tradisi ilmu?, sebab
manusia memiliki kemampuan untuk berfikir dan rasa ingin mengetahui akan
sesuatu di luar dirinya. Setiap manusia akan dihadapkan pada pertanyaan
filosofis yang menyangkut eksistensi dan realitas alam semesta termasuk diri
manusia itu sendiri sebagai bagian dari kosmologis.
Pertanyaan itu adalah dari mana manusia berasal?, untuk apa manusia
diciptakan?, dan akan kemana manusia mengakhiri hidupnya?. Ketiga pertanyaan
inilah kemudian memunculkan aliran-aliran filsafat besar dunia yang mana satu
dengan yang lainnya berusaha memberikan jawaban tentang Hakekat Manusia, Alam Semesta dan Tuhan.

Dalam
Islam ' Mengetahui tidak mustahil '. Dengan kata lain mengetahui menjadi
mungkin. Karena itu, untuk mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan itu
menjadi sesuatu yang tidak mustahil. Setiap manusia normal, dengan segala
potensi yang ada padanya, sesungguhnya dan pada hakekatnya dapat mengetahui (’ilm) dan mengenal (ma’rifah). Tidak seperti
yang diklaim oleh kaum sophis (as
sufasta’iyah), relativis (al
’indiyah), skeptis (al
’inadiyah), dan agnostis (al
laadriyah), bahwa manusia tidak mampu mencapai suatu kebenaran yang
hakiki. Dalam hal ini Imam An Nasafi menjelaskan bahwa ’Haqaiqul asyyak tsabitah wal ’ilmu
biha mutahaqqiqah khilafan lissufastha’iyah’ Maksudnya, hakikat (quiditas/esensi) segala
sesuatu itu tetap (dan oleh karena itu bisa ditangkap), tidak berubah
(segalanya bisa diketahui dengan jelas), lihat (Hamid Fahmy Zarkasyi,hal.27).
Tradisi Ilmu Islam
Adalah
Muhammad bin Abdillah dilahirkan di kawasan padang
pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban kala itu: Persia dan
Romawi. Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi sekaligus Rasul.
Tugas baru yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu bukanlah tugas yang
ringan, namun sebuah tugas yang amat sangat berat. Tugas itu adalah
menyampaikan risalah
tauhid kepada seluruh ummat manusia di penjuru dunia.
Dalam
waktu ± 23 tahun, setelah mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan
sepanjang dakwah risalah, Nabi Muhammad telah mampu membangun suatu tatanan
kehidupan di mana siapa saja yang berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukannya.
Hal itu ditandai dengan lahirnya sebuah kota
yaitu Madinah Al
Munawwarah, kota
yang tercerahkan. Kemudian Kota tersebut bermetamorfosis, menjelma menjadi
suatu negara (state)
atau peradaban (civilization).
Menurut
Ibnu Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen
penting antara lain 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains
dan teknologi, 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan
militer, dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup. Ketiga elemen tersebut telah
mewujud di Madinah kala itu. Berdasarkan teori Ibnul Khaldun tersebut
Madinah sudah bisa dikatan sebagai sebuah peradaban. Dari Madinah-lah
kebangkitan Peradaban Islam berawal dan berkembang. (Makalah Hamid Fahmy Zarkasyi.hal
7)
Peradaban
Islam di mulai dengan tradisi ilmu atau tafaqquh
fid din secara terus menerus. Mulai dari turunnya wahyu kepada Nabi
Muhammad Saw. proses interaksi dan ideasi antar individu dan masyarakat
senantiasa didasarkan pada wahyu. Ini bukti bahwa ilmu tidak hanya dalam
pikiran semata akan tetapi mewujud dalam sebuah aktifitas, baik berupa amal infiradi maupun amal jama’i. Dari
sinilah lahir komunitas ilmiah yang mana oleh sebagian ahli sejarah disebut Ahlus Suffah.
Di
lembaga pendidikan pertama inilah kandungan wahyu dan hadist-hadist Nabi dikaji
dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya masih sederhana
tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas
dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi
spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat
merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan
Barat (the cradle of
western civilization).
Hasil
dari kegiatan ini memunculkan alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadist
Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dhar Al Ghifari, Salman Al Farisy, Abdullah ibn
Mas’ud dan lain-lain. Ribuan hadist telah berhasil direkam oleh anggota sekolah
ini. Kegiatan pengkajian wahyu dan hadist kemudian dilanjutkan oleh generasi
berikutnya dalam bentuk lain.
Tidak
lebih dari dua abad lamanya, telah muncul ilmuan-ilmuan terkenal dalam berbagai
bidang studi keagamaan, seperti Qadi Surayh (w.80 H/699 M), Muhammad ibn al
Hanafiyah (w.81 H/700 M), Umar ibn Abdul Aziz (w.102 H/720 M), Wahb ibn Munabih
(w. 110,114 H/719,723 M), Hasan al Basri (w.110 H/728 M), Ja’far al Shadiq (w.
148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf
(w.182/799), al Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.
Islam
adalah sebuah peradaban yang memadukan aspek dunia dan aspek akhirat, aspek
jiwa dan aspek raga. Ia bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula
peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam
berbeda dengan tradisi ilmu pada masyarakat Barat yang berusaha membuang agama
dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuan yang dzalim dan
jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan
ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Sebab ilmu harus menyatu dengan amal.
Inilah yang ditunjukkan oleh sahabat-sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar,
’Utsman, Ali (radhiyallahu
’anhum) dan lain-lain.
Tradisi
keilmuan tersebut kemudian berlanjut dari generasi ke generasi, dari abad ke
abad dan mengalami puncak perkembangan dan keemasannya antara abad ke-7 M
sampai pada abad ke-12 M. Pada saat itu telah lahir intelektual-intelektual
muslim di bidang sains dan teknologi, seperti Al Khawarizmi, ’Bapak Matematika’
Muslim (w. 780 M) yang namanya dikenal di dunia Barat dengan Algorizm, Ibnu Sina
’Bapak Kedokteran Muslim’ yang dikenal dengan sebutan Aviecena. Ibnu Sina
sebelum meninggal telah menulis kitab sejumlah kurang lebih 276 karya. Karyanya
yang sangat monumental al
Qonun fi al Tibb telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin di
Toledo, Spanyol pada abad ke-12. Buku ini juga telah dijadikan rujukan utama di
universitas-universitas Eropa sampai abad ke-17. (Diktat Matakuliah Adnin
Armas)
Tradisi Ilmu Barat

Banyak
ilmuwan merumuskan bahwa agama merupakan unsur pokok dalam suatu peradaban.
Agama, kata mereka, adalah faktor terpenting yang menentukan karakteristik
suatu peradaban. Sebab itu, Bernard Lewis, menyebut peradaban Barat dengan
sebutan”Christian Civilization”, dengan unsur utama agama Kristen. Samuel P.
Huntington juga menulis bahwa agama adalah unsur utama karakter peradaban.
Menurut Christopher Dawson, semua agama besar dunia menjadi elemen utama dari
peradaban besar. (Samuel P. Huntington.Clash
of Civilization and the Remaking of World Order. hal.47)
Abad
pertengahan dimulai sejak abad II Masehi, yaitu sejak Kaisar Konstantin Agung
masuk Kristen dan menyatakannya sebagai agama resmi Imperium Romawi. Sejak masa
ini, Eropa berada di bawah tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa
gereja dan negara. Sejak masa ini pula, kebebasan dikekang dan akal dibelenggu
sehingga ilmu pengetahuan tidak memperoleh kemajuan.(Abu Ali Hasan an
Nadwy.hal.239)
Keadaan
Eropa pada abad pertengahan sungguh dalam kondisi yang terbelakang. Dr.
Muhammad Sayyid Al Wakil menukil perkataan seorang penulis Amerika yang
menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu, ”Jika matahari telah terbenam,
seluruh kota
besar Eropa terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang
disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum.
Eropa sangat kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan
kebersihan. Eropa tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah
mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana
Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah. Para
tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova
sudah mulai masuk sekolah.( Muhammad Sayyid al Wakil.hal.321)
Setelah
adanya sentuhan dengan Dunia Islam melalui konflik-konflik bersenjata, seperti
dalam Perang Salib, maupun melalui cara-cara damai seperti di Andalusia,
Eropa mulai tertarik dengan Islam. Pada Perang Salib orang-orang Kristen
mendapati hal-hal yang baru di Levant dan
teknik-teknik yang tidak dikenal di Barat. Oleh karena itu, ketika terjadi
gencatan senjata, mereka memanfaatkan kesempatan untuk mempelajari
teknik-teknik baru di bidang pertanian, industri dan kerajinan, serta melakukan
hubungan perdagangan dengan orang-orang Muslim.( Haidar Bammate. hal.44-45)
Persentuhan
Eropa dengan Peradaban Islam telah memberikan pengaruh luar biasa terhadapa
kehidupan mereka. Pengaruh terpenting yang diambil Eropa dari pergaulannya
dengan ummat Islam adalah semangat untuk hidup yang dibentangkan oleh peradaban
dan ilmu Islam. Keterpengaruhan Eropa pada peradaban Islam itu bersifat
menyeluruh. Hampir tidak ada satu sisi pun dari berbagai sisi kehidupan Eropa
yang tidak terpengaruh oleh peradaban Islam. ( Muhammad Qutb.hal.251)
Hamid
Fahmi Zarkasyi menjelaskan dalam bukunya bahwa hakekat dari peradaban Barat
Modern adalah periode sejarah peradaban Barat yang persisnya terjadi saat
kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada periode pencerahan,
abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Periode ini didahului oleh zaman yang
disebut dengan Zaman Penterjemahan (Translation
Age) khususnya penterjemahan karya-karya Muslim dalam bidang sains
(1050-1150) dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Sebab itu, Eugene Myers
dengan tegas menyimpulkan bahwa salah satu faktor terpenting kebangkitan Barat
adalah penterjemahan karya-karya cendekiawan Muslim.( Hamid Fahmi
Zarkasyi.hal.5)
Pada
abad XV muncul gerakan renaissance,
yaitu gerakan pencerahan atau diartikan sebagai gerakan kelahiran kembali (rebirth) sebagai manusia
yang serba baru. Pada abad pertengahan ini Barat telah berhasil keluar dari
Abad Kegelapan (Dark Ages)
dan mengembangkan suatu pandangan hidup baru (new worldview) yang mengantarkan mereka
kepada abad pencerahan. Gerakan ini pada akhirnya menghancurkan otoritas
gereja. Setelah adanya perjanjian Westphalia
Agreement pada tahun 1648 maka kekuasan dan otoritas paus dalam hal
ini gereja jatuh. Sehingga akhirnya kekuasaan diserahkan kepada negara
masing-masing. Maka lahirlah Nation
State yang pada perjalanannya menjadi awal dari pemisahan negara
dan agama yang kemudian melahirkan sekularisme.(Hamid
Fahmy Zarkasyi.hal.4)
Dari
sinilah kemudian ilmu yang berkembang di Barat menjadi jauh dari nilai-nilai
agama. Mereka mengatakan bahwa ilmu bebas nilai (free value). Ilmu bersifat universal yang
tidak ada kaitannya dengan persoalan trancendent.
Ilmu bisa dimiliki oleh siapa saja, di mana saja dan untuk apa saja, meskipun
bertentangan dengan nilai agama atau norma. Oleh karena itu, ilmu di Barat jauh
dari moralitas. Ilmu di Barat hanya berorientasi pada aspek fisik dan menafikan
metafisik. Sebab sumber ilmu di Barat bertumpu pada panca indera dan akal
(rasio)
semata.
Sebab
itulah epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, atau
prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu. Yang
mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan
akhirnya seperti yang disimpulkan oleh Al Attas epistemologi Barat tidak dapat
mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri. Yang kemudian
memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang skeptis dan atheis seperti Rene Descartes
(1596 – 1650), David Hume (1711 - 1776), Immanuel Kant (1724 - 1804), dan
lain-lain. Menurut Kant, metafisika adalah hanya ilusi transenden belaka (a transcendental illussion).(Adnin
Armas.hal. vii-viii)

Secara
historis, peradaban Islam dibangun di atas ilmu yang berbasiskan wahyu. Ilmu di
dalam Islam berdimensi Iman. Ilmu dalam pikiran menguatkan keyakinan yang
menghujam di dalam hati. Tidak cukup berhenti pada pikiran dan hati saja, tapi
haruslah diwujudkan dalam bentuk perbuatan (amal).
Sementara ilmu di Barat berangkat dari ’meragukan segala sesuatu’(skeptic), bahkan
merelatifkan segala sesuatunya ’All
is relative’. Jadi ilmu di Barat tidaklah menghasilkan sebuah
kepastian apalagi sebuah keyakinan. Sebab, di Barat ilmu hanya sebatas pada
pengalaman inderawi (visible)
dan dapat dijangkau oleh akal manusia (rasional),
diluar itu bukan dikatakan ilmu pengetahuan. Hal ini juga menunjukkan bahwa
ilmu tidak bebas nilai (free
value), bahkan syarat dengan nilai karena ilmu adalah by product dari suatu
pandangan hidup suatu peradaban atau bangsa.Wallahu
A’lam bis Shawab.
No comments:
Post a Comment