Yang Menanti Cinta


Bismillah.. Cerpen ini dibuat oleh seorang sahabat yang begitu baik, yang tak enggan untuk membagi karyanya kepada saya, sobaat.. jangan liat banyaknya halaman di cerita ini, tapi ayo sobat buka matamu! baca! ini sangat bermanfaat untuk kita..




“Fit!”. Kudengar samar suara memanggil namaku. Dengan sigap, kedua bola mataku berkeliling mencari sumber suara. Sudah kuduga, suara mungil nan lembut itu pasti keluar dari bibir kawanku Alif. Ya, Alifa shopia.
Kulihat, kaki nya mulai berlari mendekatiku. ”ada apa?” tanyaku segera. ” besok ada acara? Temani aku ke toko buku, bisa? Ya?” jelasnya. ”emmh, selepas kuliah, aku tunggu di taman.” jawabku singkat. Alif tersenyum dan segera duduk di jok motorku. Dengan segera ku melaju tinggalkan gerbang kampus. Dan lepas itu, tak terjadi sedikitpun pembicaraan diantara kami. Entahlah, ku akui hatiku sedang tak sanggup untuk berbicara. Tapi aku yakin, Alif dapat memahaminya.  Itulah kenapa dia tak mau bertanya lagi sedikitpun kepadaku.
Tiba di perempatan jalan, segera kuparkirkan motor berwarna biru muda itu masuk ke halaman rumah Alif.
Tak banyak berkata, dia hanya mengucapkan terima kasih dan menawarkan ku mampir kedalam rumahnya. Aku tahu dia amat bermurah hati padaku. Namun, hati ini sungguh tak bergairah. Aku menolaknya sambil kupasang seulas senyum, agar tak terlalu menyakiti hati sahabatku ini. Segera saja aku berpamitan dan kembali melaju menjauhi rumah Alif.
Lampu merah akhirnya menyita waktuku. Aku sadar, setan tengah hinggap di hatiku dan enggan beranjak. Hati ini lelah tak beralasan Rabb. Astaghfirullah.
Tiba di depan sebuah rumah berukuran sedang, segera kumatikan mesin motor dan kulepas helm yang sedari tadi hinggap di kepalaku. Kujinjing dan segera berjalan membuka pintu.
”assalammu’alaikum ummi.” teriakku. ”wa’alaikumussalam” jawab seseorang di ujung dapur. Segera kuletakkan helm dan tas yang lama membebani punggung di atas kursi makan. Ku berjalan hampiri ummi yang sedang mengiris bawang di dapur, tiba tepat di belakang punggung ummi, segera ku raih raganya dan ku peluk erat.
Ummi tak merespon nya. Dia hanya bertanya, ”apa yang membuatmu seperti ini?”
”entahlah ummi, Fitri lelah.” jawabku singkat.
”berwudhu, lalu sholatlah nak. Sebentar lagi adzan ashar.” suruh ummi padaku. Segera ku kecup pipi putihnya dan pergi berwudhu.
Usai sholat, aku sengaja menyalakan laptop untuk sekedar membuka email yang sudah sekian lama tak ku jamah.
Ternyata sudah ada pesan masuk. Berderet dan menuntut untuk segera kubaca.
Urutan paling atas, dari Kak Haifa. Dia sekedar memberiku kabar atas kelahiran puterinya yang pertama di Medan. Sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Mungkin pesan inipun sudah lama berjamur. Kabarnya lima bulan yang lalu, tapi baru ku baca sekarang. Ahh kakak...
Ku lanjutkan membaca untuk urutan yang kedua, dari Kak Fikri. Dia hanya memberi tahuku tentang pernikahannya di Lampung. Hmmh, mereka sudah jauh meninggalkanku. Dan terkadang aku rindu pada sosok hangat mereka yang sedari dulu selalu ada menghibur galau hatiku.
Ya, meskipun ada sedikit rasa sesak akan rindu yang lama tak terbalas, hatiku sangat tersentuh mendengar semua kabar gembira itu. Hingga sampailah lamunanku terbangun pada pesan terakhir, ku buang nafasku sejenak. hwuushh ”dari Risman”.
Dia hanya berpamitan untuk berjuang di Malaysia sana. Pesan itu, kurasa sudah ada dari satu tahun yang lalu. Namun tak pernah hati ini tergugah untuk membacanya.
Tapi saat itu, kurasa muncul sedikit getar dalam hatiku. Aku ingin membalas pesan Risman. Mungkin, cukup dengan sekedar bertanya kabar saja. Namun, baru saja jariku menekan satu dari deretan huruf pada keyboard, pesan kembali masuk penuhi email ku.
Sungguh terkejutnya aku. Baru saja hendak ku balas, dia lantas mengirimiku pesan lainnya.

Bismillah. Assalammu’alaikum.
Bagaimana kabarmu Fit? Sudah lama rasanya kau enggan membalas pesan dari ku.

Pendek, memang pendek pesan darinya. Segera saja ku ketik balasan untuknya.

Alhamdulillah, Allah masih menyehatkan ku. Maaf Ris, kemarin saya sibuk.

Jawabku pun singkat.

Saya kebetulan sedang pulang ke Bandung Fit. Mengambil jatah libur untuk berjumpa kawan lama.

Balasnya padaku. Aku tak lagi membalas pesannya. Cukuplah kabar itu yang ku dengar. Segera ku tutup email dan kembali beranjak mendatangi adik kecilku di depan tv.
Dia menonton acara kesukaannya. Memang beraroma kartun. Tapi wajar saja, umur nya baru lima tahun. Aku duduk tepat di belakangnya dengan dia yang tak lama menyandar ke pangkuanku. Beberapa menit berlalu, Sarah datang dengan baju nya yang basah kuyup. Dan aku tahu, hujan memang sudah dua jam tak henti mengguyur Bandung. ”Dik Sarah sepertinya lupa membawa payung” gumamku.
Segera ummi membawakannya handuk dan menyiapkan air hangat untuk mandi Dik Sarah yang menggigil.
”Makanya, pulang harus tahu waktu dik.” ucap ku padanya. Dia hanya diam dan asik dengan lamunannya.
Aku segera beranjak ke dapur, dan kubuatkan coklat hangat untuk sekedar menghilangkan gemetar di bibirnya.
”ini. Minumlah” sambil ku sodorkan cangkir itu. Dia hanya tersenyum dan ”terimakasih kak” ucapnya.
Aku memang dingin pada Dik Sarah, tak sehangat sikap ku pada Dik Fajrin. Karena ia yang juga hanya berbeda dua tahun denganku, membuatku selalu membiarkannya mandiri.
Tapi, tetap saja. Kasih sayangku padanya sama layaknya aku menyayangi ummi dan Dik Fajrin.
”sikapmu itu Fit, jangan terlalu dingin pada Sarah. Dia jadi selalu mengeluh pada ummi.” Ucap ummi padaku. “biar saja ummi, agar dia tidak manja.” Jawab ku sambil tersenyum kecil. “sudahlah Dik, jangan kamu ambil pusing ucapan kakakmu itu.” Jelas ummi pada Dik Sarak. Dan aku, hanya tertawa kecil bersama Fajrin.
Malam kian larut, Sarah mengetuk pintu kamarku.
”kak?!” teriaknya.
Segera ku bukakan pintu dan menyuruhnya masuk.
”kakak tahu kak Risman?” tanyanya di ambang pintu. Aku yang sedang mencoba duduk, kaget mendengarnya. ”memangnya kenapa dik?” tanyaku kembali. ”tadi, tidak sengaja Sarah bertemu dengannya. Dia menitipkan salam untuk kakak.” jelasnya.
Aku hanya diam tak bergeming. Dan mulai merebahkan diri diatas kasur tanpa menjawab sepatah kata penutup.
Sarah tahu aku sedang tidak ingin membahasnya, dia lantas keluar dan menutup pintu kamarku.
Tak banyak yang ku ambil, aku segera menutup mata dan tidur. Kurasa, hatiku lelah untuk hari ini.
Akhirnya, kutemui cahaya keemasan muncul dari ujung jendela kamarku. Tapi tetap saja, dia kalah cepat dengan aku yang sudah siap melaju ke kampus tercinta.
”Sarah, cepat. Kakak tidak mau terlambat.” teriakku memanggil Sarah dari depan rumah. Dia keluar dengan bibir yang menggerutu, aku hanya tertawa kecil tak bersuara membalasnya.
Segera aku pamit pada ummi dan berangkat mengantar Dik Sarah ke sekolah.
”Pulang jangan terlalu sore dik, sekarang musim hujan. Ini jas hujan kakak. Bawa saja.” ucapku sambil memasukkan jas hujan kedalam tasnya. Karena aku yakin, dia tak lagi membawa payung. Jujur saja, aku tak kuasa bila harus melihatnya basah kuyup setiap hari.
Sarah mencium tanganku. ”assalammu’alaikum kak,” ucapnya lirih padaku. Aku hanya tersenyum dan kembali melaju. hingga akhirnya, beberapa puluh menit berlalu, aku sampai tepat di halaman parkir kampus. Setelah membenahkan motor, aku segera beranjak mencari Alif.
Kulihat, Alif sedang duduk di bangku taman sambil membaca buku sendirian. Segera aku menghampirinya dengan seulas senyum yang tak jelas untuk siapa.
”Lif, maaf untuk kemarin” ucapku memulai pembicaraan. ”iya, aku faham” jawabnya dengan senyum yang selalu hangatkan jiwa. ”sini duduk,” timpa nya sambil menepuk kursi taman. Dan aku segera duduk disampingnya. Tak lama, hening kami mungkin membuatnya bosan. Dia segera menutup buku dan memandangku.
”besok, ada acara silaturahim angkatan kita” jelasnya. Aku hanya diam dan mencoba memahaminya. ”oh. Jadi, besok kita datang ya?” tanyaku. ”iya lah.” jawabnya. Aku hanya tertawa kecil.
”ahhh, rasanya memang sudah lama aku tak berjumpa dengan mereka. Tapi, aku lebih rindu dibelikan minum. Coklat hangat sepertinya nikmat.” lanjutku padanya. Alif hanya tertawa dan segera menarik tanganku ke kantin.
Alif memang sahabat tercinta. Hanya dia selain Allah, tuhan ku yang mampu pahami diri ini. Dan aku salut akan hal itu.
Usai kuliah, ku tepati janji ku untuk menemani Alif ke toko buku. Sampai di tempat, kami segera berjalan memutari belasan rak buku yang berdiri di sana.
Seseorang menepuk pundak dan memecahkan konsentrasiku dari belakang.
”kak Fitri?”.
Segera aku berbalik dan menjawab rasa penasaranku. Ternyata itu Hafshah. Adik kelas semasa ’Aliyah dulu.
”masyaallah. Nampaknya, kamu semakin cantik dik.” ucapku hangatkan suasana.
”ah, Kak Fitri juga nampaknya tetap muda.” jawabnya.
”kalau begitu, kakak sudah tua ya?” lanjutku sambil bercanda.
Selesai menemani Alif, sengaja aku mengajak Hafshah untuk duduk dan membeli minuman sambil berbincang melepas rindu.
”oh iya dik, kabarnya dulu kau sempat dekat dengan kak Risman ya?” tanya Alif menggoda. Hafshah hanya tersenyum. Aku segera melepas sedotan yang beberapa detik lalu menempel di bibirku.
”benarkah? Kenapa kau tak pernah bercerita padaku dik?” ucapku sambil tersenyum.
”ah kak Fitri, lagi pula sekarang Hafshah sudah tak lagi berkomunikasi dengannya.” jelasnya.
”Kalau begitu, besok ikut saja ke acara silaturahim angkatan kami. Ya? Tidak apa-apa. Kan ada kami?” tegas Alif.
”insyaallah Kak” jawabnya.
Kami berbincang cukup lama. Belajar kembali melepas kekakuan yang tercipta karena batasan ruang. Ahh, lidah ku benar tak teratur.
Selepas itu, aku pulang dengan mengantar Alif yang sudah nampak lelah dan menahan rasa kantuk. Sampai dirumahnya, aku sengaja mampir dan beristirahat sejenak.
”rasanya, bagai fajar dan senja” ucapku yang tak terkendali keluar begitu saja. Alif yang sedang merebahkan diri segera bangun dan terduduk sambil menatap wajahku yang penuh dengan tatapan hampa.
”Fitri?!” ucapnya sedikit mengagetkan dan membangunkanku dari lamunan.
Aku hanya tersenyum dengan menyandarkan tubuh dan segera menutup kelopak mataku tanpa hiraukan suara Alif.
Pukul tujuh tiga puluh malam, kakiku kembali menginjak hamparan surga. Disana ada ummi dan adik-adik tersayang yang sudah lama menungguku. Si bungsu lantas berlari dan memeluk kakiku. Aku heran, sangat heran.
”kenapa sayang?” tanyaku. ”tidak. Fajrin hanya rindu saja” jawabnya di sertai senyum lebar menampakkan gigi jarang nya.
Aku segera turun dan meraih pelukan Fajrin. Ku bisikkan sebuah kata cinta untuk adikku. ”kakak sangat mencintaimu. Dan kakak yakin adik juga sama kan?” sambil ku kecup pipi halusnya.
Malam membuat mata adik-adikku semakin berat. Ummi segera mengantar dik Fajrin keatas tempat tidurnya. Dan aku, masih senang melihat Sarah yang menahan kantuk dengan mata merahnya di depan sebuah laptop putih.
”tidurlah.” suruh ku pada dik sarah agar segera beristirahat. Tugasnya akhir-akhir ini memang sangat membuatnya kelelahan. Iba aku melihat matanya yang mulai berkantung karena bergadang setiap malam.
Segera ku tutup laptopnya dan menarik tangannya dengan perlahan agar cepat tidur. Dia yang sedikit menggerutu tetap saja berterima kasih padaku. Entahlah, mungkin dia rasakan hangatnya diriku saat itu. Meskipun sebenarnya tetap terbalut mantel dingin.
Setelah mengantarnya, kubuka kembali laptop dik Sarah. Dan tugasnya masih harus di edit. Sudahlah, biar aku yang membantunya. Sekalipun puluhan halaman ini harus ku selesaikan semalaman suntuk.
Jarum jam tetap berputar. Berjam-jam lamanya aku mengedit tugas Sarah yang kemudian aku print dan menjilidnya sendiri. Kebetulan, usaha ummi membuka warung foto copy sangat membantu kami.
Hingga sampai pada pukul tiga pagi, semua selesai dengan rapi. Tugas karya tulisnya memang sering kali menyita waktu tidurnya.
Huuaaammh, aku menguap. Ngantuk. Dan lelah rasanya.
Segera saja aku menyimpan hasil kerja itu diatas meja belajar dik Sarah. Sambil ku benahi selimut tipis yang tak rapi membalut tubuh dari dinginnya malam. Kutatap dan terakhir, ku kecup keningnya.
Aku kembali menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju kamar mandi. Tanggung, ku penuhi saja dengan bercinta. Syahdu rasanya ku dengar suara gemericik air yang keluar dari kran kecil itu. Kutampung dan kupakai berwudhu.
Dingin, memang sangat dingin, tapi sengaja ku paksa melawannya.
Kupakai mukena putih yang terlipat di atas meja kamarku. Dan kupakai dengan rapi. Sontak, suasana rasanya berubah menjadi hangat dan nyaman.
”Allaahu akbar” kumulai berbincang dengan sang pujaan hati. Dari takbir ke takbir, hingga salam yang begitu nyaman memadati ruangan.
Selesai dengan itu, aku tak segera melepas mukena yang sudah sedari tadi terparkir di badanku. Ku sandarkan punggung dan kepalaku pada dinginnya tempat tidur yang belum sempat tersentuh tubuh dari pagi hari. Hingga akhirnya aku terlelap dengan sendirinya. Kudapati suara adzan shubuh membangunkan ketidak sadaranku.
Usai sholat, dik Sarah kembali mengetuk pintu kamarku.
”kak, ini Sarah.” teriaknya lembut.
”masuk dik, tidak kakak kunci.” jawabku sambil melipat sejadah. Dia membuka pintu dan menutupnya kembali lantas duduk diatas tempat tidurku.
”jazakumullahu khairan kak!” lanjutnya padaku. Aku hanya tersenyum dan asik merapikan meja tulis yang sedikit berantakan.
”kak?” tegurnya kembali menyapaku.
”iya dik.” jawabku singkat. Lantas aku berbalik dan meraih tubuhnya. ”kakak menyayangimu. Maaf” bisikku.
Kulihat, air mata menggenang di ujung lensanya. Aku tak berani bertanya. Kulepas pelukanku dan pergi meninggalkannya sendirian di gubuk kecil itu.
Harusnya, sekarang aku bersiap untuk menghadiri acara di pesantren. Tapi, rasanya aku terlalu lelah. Kulihat ummi yang sedang mengepel lantai depan, segera ku hampiri dan gantikan pekerjaannya. Sementara itu, ummi beranjak dan segera membuat sarapan untuk kami semua.
Baru beberapa suapan nasi kumasukkan dalam mulutku, handphone ummi berdering cukup nyaring mengagetkan sunyinya pagi kami.
Ummi segera meraihnya. “ayah” jelas ummi pada kami.
”assalammu’alaikum ayah.” ucapnya menyapa. Tak terdengar apalah yang dibicarakannya dengan ayah, yang jelas kami hanya mendengar nada bicara ummi yang dilanda rasa rindu. Sudah setahun terakhir ini ayah belum pulang dari Aceh dengan berbagai kesibukannya.
Nasi di piring ku sudah habis, tertelan mulut dan tercerna perutku yang lapar. Aku segera membereskan piring di meja dan membawanya ke belakang untuk selanjutnya dicuci dik Sarah. Dan Fajrin, kembali dibawa ummi ke kamar untuk bermain dan melanjutkan hafalan quran nya.
Aku segera bersiap diri, dan menepis rasa enggan dalam hati. Sekitar pukul sepuluh pagi, aku sudah menghidupkan mesin motorku kembali. ”ummi, Fitri berangkat ya?! Do’akan Fitri.” ucapku berpamitan.
Aku segera melaju dan sengaja menjemput Alif yang sudah menungguku cukup lama.
“maaf” ucapku sambil kupasang wajah memelas dilanjut senyum kecil. Alif malah tertawa dan segera duduk di belakangku.
Matahari membakar kulitku, dan panas rasanya di sekujur tubuh ini.
“Lif, apa kau yakin untuk hadir?” tanyaku.
“tentu. Sebenarnya ada apa denganmu? Rasanya kau sangat malas menghadirinya?” jawab Alif dengan pertanyaan yang amat cerdas hingga lidahku kelu dan aku tak lagi bisa menjawabnya.
Sampai di pesantren, kudengar sudah ada Hafshah yang menunggu di kursi halaman. Aku segera menghampirinya dan mengajaknya masuk ke dalam acara.
Semua memandangku yang menggandeng tangan Hafshah. Ada apa? Apa ada dari penampilanku yang aneh?
Tak kuhiraukan, aku segera duduk di kursi paling depan. Dan acara segera dimulai. Kulihat, seperti biasa Rafi aktif menjadi MC. Setelah beberapa sambutan, acara resmi yang tadinya kaku rasanya berubah menjadi ajang bincang. Beberapa orang datang menghampiriku. Syifa, Nisa, dan Amel, sahabatku semasa Aliyah dulu. Kami berbincang cukup lama, hingga akhirnya Risman datang dan membubarkan lingkaran kami.
”Hafshah?” sapanya pada seseorang di sampingku. Ku kira, dia hendak menyapaku. Tapi ternyata, Hafshah yang dia cari. Sudahlah, aku buang rasa sesak itu dan pergi meninggalkan mereka yang sedang berbincang.
”ini pasti akan terjadi. Kenapa aku harus datang?” gumamku di ujung koridor sambil menatap ke arah jalanan dengan angin yang berhembus menyapa tubuhku berulang kali.
Ku dengar langkah kaki berjalan menghampiri dan kemudian berhenti dengan jarak yang masih cukup jauh dariku. Tapi aku tak segera berbalik untuk melihatnya. Aku tahu, itu pasti Alif.
”ada apa Lif? Bergabunglah dengan mereka kembali. Jangan biarkan Hafshah sendirian. Sudahlah, aku tidak apa-apa.” ucapku dengan mantap.
Tak kudengar sedikitpun balasan kata dari seseorang di belakangku, dan itu berhasil membuatku berbalik melihatnya.
”astaghfirullah Rafi!” ucapku kaget. ”aku kira Alif, maaf...” lanjutku padanya. Dia hanya tertawa kecil.
”aku tahu kenapa kau disini.” ucapnya.
”ah sudahlah” jawabku singkat mencoba agar dia tak melanjutkan pembicaraannya lagi. Rafi hanya kembali tersenyum.
”baiklah, aku pergi kedalam. Tapi coba kau lihat, cuaca mendung di langit sana. Jangan sampai awan abu itu singgah dihatimu juga,” lanjutnya sambil mengacungkan jari telunjuknya tepat ke langit kami. Aku yang menunduk langsung dibuat menengadah. Dia benar. Tanpa pikir panjang, akupun segera mengikutinya kembali masuk.
Acara diakhiri dengan sholat ashar berjama’ah. Kebetulan, Risman yang mengimami. Setelah semua selesai, satu persatu dari mereka pamit dan pulang. Hingga tersisalah kami. Aku, Alif, Risman dan Rafi. Sedangkan Hafshah sudah pulang mengikuti mereka yang kelelahan. Aku keluar dengan segera memakai sepatu. Risman datang dan berdiri di belakang.
”Fit, pulang sekarang? Bagaimana kuliahmu?” tanyanya. ”iya Ris, aku takut hujan mengguyurku jika aku pulang terlambat. Kuliahku juga baik-baik saja” jawabku dengan seulas senyum meski tak kubiarkan Risman melihatnya.
Aku berjalan menjauh menjemput motor, dan segera kembali mendekati Alif yang masih berdiri dengan Risman dan Rafi di depan masjid. ”Alif, yuk pulang” ajakku sambil menepuk jok belakang. Alif hanya tersenyum dan mengangguk.
”hati-hati. Jangan lupa, nanti baca email dariku.” ucap Rafi. Aku hanya mengangguk dan menjauh dari pandangan mereka.
Sepanjang jalan, hatiku penuh dengan rasa heran. Tak biasanya Rafi seperti itu.
Sekitar dua puluh menit, sampailah aku di depan rumah Alif. Dia turun, dan aku segera berpamitan. Karena ku lihat awan abu semakin betah menutupi langit Bandung.
Tesss.. Tesss..
Baru saja beberapa meter aku melaju dari rumah Alif, Hujan lebat mengguyur tubuhku. Aku sengaja menepi dan berhenti didepan sebuah toko sambil mencari jas hujan di dalam tas. ”astaghfirullah, aku lupa. Jas hujanku dalam tas Sarah.” gumamku sambil menahan gemetar bibir. Aku berteduh cukup lama disitu, tapi hujan tetap enggan menahan airnya sedikit saja untukku. Akhirnya, kuputuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan meskipun basah dan dingin.
Sampai di depan rumah, barulah ku lihat cahaya sedikit menyentuh bumi. Aku segera masuk dan berjalan ke kamar. Ku keringkan diri dan segera menyiapkan air panas sendirian. Karena saat itu ummi, dik Sarah dan dik Fajrin sedang tak ada dirumah. Mungkin jadi pergi dan bermalam di rumah nenek.
Ku akui, rasanya sangat sepi disini. Bahkan malam menyapaku dalam kesendirian.
Aku terlelap dan sampai di tengah malam, badanku menggigil dan semakin dingin udara yang kurasa. Badanku dipenuhi keringat dingin yang bercucuran, ”ummi..” ”ummii..”, tak henti bibirku memanggil ummi sekalipun aku tahu ummi tak mungkin mendengar panggilanku. Hingga subuh menjelang, aku masih dengan gemetar bibir dan badan yang menggigil.
Aku menguatkan diri, bertayamum dan sholat shubuh diatas kasur. Meskipun kurasa bangun untuk duduk saja, sangat tak mampu. Sakit kepala yang tengah mendera tak dapat kutahan. Selesai, aku mencoba untuk tidur kembali. Dengan perasaan yang resah, ku tetap paksakan untuk tidur agar nanti ketika bangun, tubuhku sudah merasa jauh lebih baik.
Sekitar pukul satu siang, ummi datang. Dia memangil-manggil namaku dari ruang tengah. Aku dengar, tapi aku hanya bisa menjawab seadanya dengan lirih.
Ummi masuk ke dalam kamar kecilku dan menyentuh keningku. Dia lantas beristighfar ketika tahu aku yang demam.
”Sarah, ambilkan air untuk mengompres kakak mu nak!” teriak ibu dengan nada yang lembut. Tak lama Sarah datang. Ummi meminta tolong agar Sarah yang mengompresku. Sedangkan ummi segera menelpon dokter agar datang ke rumah.
”kakak kenapa?” tanya Sarah dengan air mata yang sedikit menggenang di kedua bola matanya. Aku hanya tersenyum. Tak lama, dokter datang dan memeriksaku.
Syukurlah, aku hanya demam biasa. Istirahat yang cukup dan sedikit obat akan sangat membantuku, jelas dokter.
Dari saat itu, hingga malam kembali hinggap, Sarah enggan beranjak dari tempat tidurku. Entah apa yang membuatnya jadi begitu peduli padaku. Ummi datang dengan semangkuk bubur hangat, Sarah langsung meraihnya dan menyuapiku. Begitu tenang rasanya aku dekat dengan adikku ini.
Ketika pagi menyapapun, kulihat Sarah masih setia disampingku. Tak sadar, aku meneteskan air mata yang juga masih terasa panas di pipi.
Aku yang seharusnya kuliah, sengaja meliburkan diri karena semua kemurahan Allah ini. Semoga sakit ini menjadi kifarat bagi dosa-dosa ku. Hanya itu yang selalu ku ucapkan ketika mengadu pada-Nya.
Dua hari lamanya aku berlibur di atas kasur dan acuhkan pesan Rafi yang menyuruhku membaca email darinya. Pulang sekolah, Sarah datang dengan wajah berseri kehadapanku. Dia sangat cantik bila tersenyum, dengan wajah putih bersih, lesung pipit, mata sipit, dan bibir mungil tipisnya selalu membuat rasa sakitku hilang ditelan rasa nyaman.
Tak lama, aku sembuh dan mencoba memulai aktifitas kembali. Badanku sudah terasa jauh lebih baik. Aku segera meraih laptop yang tergeletak di atas meja kamar. Kubuka dan segera mencari pesan Rafi.

24 juni 2009, kita berjumpa kembali. Entah, sebenarnya apa yang membuatku tergerak untuk menulis berbagai untaian kata padamu. Tapi, aku. Seorang insan akhir zaman yang menanti kebahagiaan juga sama. Tetap mencari seorang kasih. Hingga akhirnya, ku temui dirimu kembali. Yang berjiwa lembut.
Aku terkagum melihat sosok mu yang bersahaja. Kesederhanaanmu membuatku memantapkan hati untuk menunjukmu. Bilakah ada kesempatan darimu, maukah kau membuka gerbang untuk kesungguhanku?

Aku kaget membaca pesan itu. Benarkah ini Rafi? Tapi, hatiku tak tergetar sedikitpun ketika tahu semua ini. Aku tetap tak merasakan dialah yang kucari. Hatiku biasa saja, dan bahkan mulai kacau. Bukan karena bahagia, tapi tentang bagaimana aku harus menjawabnya. Sementara bila tak ku jawab, aku yakin aku hanya menyiksanya dengan sebuah penantian yang kejam.

Rafi, maafkan aku yang terlalu menyombongkan diri menolakmu. Bukan karena dirimu yang berkekurangan, akupun begitu. Tak sesempurna yang terlihat. Namun, aku hanya ingin jujur. Hatiku belum tersentuh sedikitpun. Bila sampai masa dimana kau harus meminang bidadari, mungkin bukanlah diriku. Aku tak mau menyiksamu dengan penantian yang kejam. Dengan aku yang tidak menaruh hati. Aku hanya ingin kau bahagia dengan orang yang benar mengharapkanmu. Maafkan aku. Tapi sungguh, aku hanya tak ingin menyiksamu dan menjadi orang terkejam yang hadir dalam hidupmu. Aku yakin kau dapat memahaminya. Dan suatu hari nanti, bidadarimu pasti ’kan kau temui. Meskipun itu bukan aku. Maaf.

Hanya itu yang bisa kujawab. Tak kuasa bila aku harus jujur menanti seseorang yang abu-abu. Aku tahu Rafi, kau dapat menjagaku. Tapi, aku terlalu menanti dia yang mengucapkan semua itu, bukan dirimu. Astaghfirullah. Maafkan aku.

Beberapa hari setelah itu, tak ku temui lagi balasan dari Rafi. Sudahlah, mungkin dia memang belum membaca balasan dariku. Bangun dari sakit kemarin aku semakin akrab dengan Sarah, kami jadi sering pergi dan mengerjakan tugas bersama. Sarah yang biasanya pergi tanpaku, kini selalu ingin ditemani. Ke toko buku, ke perpustakaan, pergi membeli perlengkapannya, segalanya selalu mengajakku. Hingga waktuku bersama Alif seringkali tersisih karenanya. Alif juga yang sekarang jarang mau jika diajak pergi bersama adikku, membuat kami hanya bertemu di kampus saja. Tapi selebihnya, aku yakin Alif masih sama. Dia dapat memahamiku.
Satu minggu kemudian, ku coba kembali membuka email. Dan ternyata, benar saja. Rafi sudah membalas pesanku.

Baiklah, aku dapat memahaminya. Semoga semua indah tepat pada waktunya. Aku tidak ingin memaksamu hanya saja, keinginanku ini memang sudah sangat ku pikirkan. Tapi, semua keputusan ada padamu. Dan aku juga tidak ingin melukaimu hanya karena egoku saja. Terima kasih untuk kejujuranmu. Aku menghargainya.

Beberapa bulan berlalu, Rizal, Adit, dan Angga kembali mengulang kejadian yang sama seperti Rafi. Mereka hadir tapi tetap tak membuatku merasakan utuh. Aku terlalu lama menanti.
Kudengar, Hafshah kembali dekat dengan Risman. Pantas saja, dan aku sudah menduganya. Aku memang lelah mendengarnya. Tapi apa daya, Allah yang memberiku ini. Rasa yang tak bisa ku palingkan, sekalipun hatiku seringkali berusaha membuka celah untuk Rafi, Rizal, Adit, atau Angga sekalipun.
Semua itu malah selalu membuatku berpikir, dan menggerutu.
Mengapa rupa kadang tak sama? Ketika dia indah malah membawa susah, dan terkadang ketika dia biasa malah membawa suka?
Lisanku memang terlalu kejam. Tapi Rabb, sekalinya aku menyimpan sebuah harapan yang aku tak tahu kepastiannya, berikanlah aku sebuah kehidupan yang terbaik menurut-Mu, yang indah dalam pandangan-Mu dan perjuangan hati yang Ridho-Mu menggulungnya.
Bertahun tahun kemudian, sujud panjang yang selalu ku ukir di setiap malam, rasanya malah membuat hatiku semakin percaya akan semua harapan. Padahal, aku tahu nyatanya dia yang ku nanti takkan pernah berbalik dan sama sepertiku.
Tapi Allah begitu ingin hatiku tetap dalam keistiqamahan.
Pagi itu, aku pergi ke kampus tanpa mengantar dik Sarah ke sekolah. Aku yang harus menyiapkan skripsi dan meraih cita, membuatku dilanda kesibukan.
Perpustakaan menjadi langgananku setiap saat, dengan buku yang juga mulai terlihat selalu menumpuk memenuhi kamar. Justru saat itulah Sarah selalu ada untuk sesekali menggantikanku mengetik lembaran skripsi.
”adik yang baik, selalu memahami apa yang ada dalam hati kakaknya. Susah senang, adik tetaplah adik bagi seorang kakak. Dan kakak tetaplah kakak bagi seorang adik yang selalu merindu.”. Kata-kata itu selalu terngiang dalam telingaku, dan patutlah ummi begitu menyayanginya.
Waktu terus berjalan, dengan jadwal yang luar biasa padat, ummi dan adik-adik selalu setia menyemangatiku, secangkir senyuman selalu ada ketika aku merasakan lelah yang teramat sangat, dan itu yang senantiasa membuatku bangkit.
Merekalah keluarga dunia akhiratku.
Lama waktu untukku berpusing-pusing menyusun skripsi, kini sampailah aku hadapi sidang.
Sebelum langkahku masuk kedalam ruangan, entah apa yang membuatku begitu rindu dengan ikhwan itu. Semangat yang timbul karena bekal senyum dari ummi juga memadati kepalaku. Mungkinkah di Malaysia sana dia sama seperti ku? Menanti atau malah tengah mengukir kisah? Segera ku tepis semua itu, dan sekarang yang ada hanya senyuman ummi seorang. Dialah bidadari hidupku.
Sidang selesai, Allah memudahkan segala urusanku. Dan kini hanya tinggal menanti pengumuman kelulusan.
”ummi, sebentar lagi Fitri jadi sarjana..” gumamku dalam hati. Mega merah menghiasi sore kampusku. Dengan akhirnya kata LULUS yang ku genggam.
Aku pulang dengan segera. Tak sabar ingin memberi ummi kabar gembira ini.
”syukran katsiir Rabb” ucapku dalam hati.
Sampai dirumah, segera kuparkirkan motor dan masuk kedalam.
”assalammu’alaikum ummi.” sapaku dengan lembut.
“wa’alaikumussalam nak” jawabnya di tengah rumah.
Segera ku hampiri ummi dengan berlutut dihadapannya yang tengah duduk.
“ummi, do’amu sungguh mustajab. Puluhan kata cinta dan harapan yang selalu kau ukir di setiap sujud dalam sholatmu benar- benar meluluhkan ridho Allah untuk kelulusanku.” Jelasku sambil kupegang tangan ummi dan menatapnya dalam.
Ummi hanya tersenyum, menggenangi matanya dengan air mata bahagia dan mengecup keningku. Indah, sangat indah. Rasanya, jutaan bunga turun menaburkan kelopaknya untuk kami.
Dik Sarah yang juga melihat kami menangis, ikut meneteskan air mata di depan pintu kamarnya.
”ummi bangga padamu nak” bisik ummi yang menambah keharuan hatiku.

Besok adalah hari dimana aku di wisuda. Aku bersiap diri diantar ummi, dan adik-adik tercinta. meskipun ayah tak sempat datang karena keterlambatan, aku tetap menyayanginya.
Namaku dipanggil kedepan, ummi nampak begitu sangat berbahagia. Sesekali airmatanya menetes untuk aku yang berhasil.
Selesai acara, kami pulang dengan wajah yang begitu berseri. Namun, baru saja ummi membuka kunci dan masuk ke dalam rumah, aku yang berdiri di belakang sontak terdiam. Kepalaku sakit. Mungkin efek dari padatnya aktifitas kemarin. Aku segera menepisnya dan masuk kedalam rumah. Langsung kulangkahkan kaki pergi ke dalam kamar dan rasakan sesuatu yang tak biasa. Aku kembali lemas, badanku rasanya tak enak, dan rasa itu lebih buruk dari demam kemarin.
Ummi yang melihat kondisiku, segera mengantarku ke rumah sakit. Aku masuk ruang UGD. Dokter memeriksa dan mengambil sampel darah dari lenganku. Rasanya ngilu dengan jarum suntik yang menusuk kulit masuk ke dalam urat nadi dan menarik darahku.
Ummi meminta agar aku segera dimasukkan ke ruang rawat saja, dan kebetulan, di ruang anggrek kamar nomor tujuh aku dititipkan.
Selang infus menjeratku, dan lemas menertawaiku.
Dokter bilang, aku terkena demam berdarah juga tipes. Mungkin karena pola makan dan aktifitas yang tak ku kontrol minggu-minggu kemarin. Sudahlah, aku hanya tersenyum mendengarnya.
”alhamdulillah..” kalimat tahmid terlontar dari bibir ummi.
”semoga ini menjadi kifarat dosamu nak, bersabarlah.” lanjut ummi dengan membelai kerudungku. Meski begitu, kulihat mata ummi menggenangkan air lagi. Segera dia membalikkan diri dan menghapusnya. Tetap saja ummi tak mampu membohongiku.
Sudah dua hari aku dirawat di sana, obat mulai menumpuk dan berteriak memintaku untuk menelannya. Bubur pun jadi santapanku tiap waktu, padahal aku rindu nasi putih hangat.
Di sela waktu luang, aku sering meminta Sarah untuk memutarkan murottal. Karena dengan itu, selalu membuatku nyaman.
Malam muncul lagi, dan tubuhku mulai menampakkan bercak-bercak merah yang sangat mengganggu nyenyak tidurku. Rasanya sedikit panas dan sangat gatal. Bahkan kedua kakiku nampak bengkak. Ya Rabb, ampuni hamba.
Seringkali ummi terbangun karena usik tanganku yang merayap menggaruk rasa gatal sekujur tubuh. Ummi lantas mengipasi panas yang menempel dari rasa gatal itu. Dia pula yang mengulasi tubuhku dengan salep, agar terasa lebih dingin.
Aku sering kali menangis di tengah malam melihat ummi yang begitu rela tersibukkan diri, yang begitu ikhlas tersita waktu istirahatnya, hanya untuk sekedar mengipasi atau meniupi lenganku yang sakit karena tusukan infus berhari-hari.
Jarum jam menunjuk pukul setengah lima pagi, suster begitu rajin menengokku yang terbaring dengan sahabat setianya untuk mengambil darah lagi. Lelah sebenarnya seperti ini. Melihat bekas jarum suntik disana sini. Luka. Apalagi melihat obat mahal yang harus dibeli ummi. Hatiku lebih sakit.
Dokter sarankan untuk aku memakai antibiotik cair, yang sengaja dimasukkan bersamaan ke dalam infus. Tentu dengan harga yang tidak murah pula.
Dan rasanya, setiap cairan itu masuk, dia menggores, mengikis, bahkan mengeruk tulang lenganku, hingga ngilu yang tercipta dalam uratku. Dia masuk perlahan, bagai pembunuh berdarah dingin. Padahal aku tahu, itu demi kebaikanku. Demi kesehatanku. Tapi, tetap saja aku tak bisa menyembunyikan rasa itu.
Trombosit ku yang terus menurun, tak membuat ummi patah semangat. Dia selalu saja memberiku kata-kata indah. Berjuang. Berjuang. Dan berjuang.
Sudah satu minggu lebih aku dirawat disini, dengan ummi dan Sarah yang menjagaku bergiliran.
Dan sejak saat itu aku mulai dilanda rasa bosan. Sangat bosan dengan penyakit ini.
”ummi, Fitri ingin dhuha,” bisikku dengan lemah pada ummi.
”iya nak.” jawab ummi dengan air mata yang lagi-lagi ada di matanya.
Dalam hati, kupanjatkan butiran do’a pada pemilik nyawa ini.

Ya Rahman, Ya Rahiim, duhai Tuhan yang jiwaku berada di tangannya.
Engkau maha pengasih, Engkau maha penyayang. Dengan ujian yang Kau timpakan pada jasad lemahku ini, aku memohon agar semua senantiasa menjadi kifarat dosaku.
Maniskanlah rasa sakit dalam perjuangan melawan penyakit Mu. Sekalipun aku tahu, tak mudah bagiku tetap berada dalam jiwa yang tegar.
Pastilah aku akan menemukan titik terlelah. Titik dimana aku benar-benar harus menyerahkannya pada-Mu. Dengan rasa pasrah, ku serahkan pada-Mu semua ketetapan manis pahit untukku.
Dengan melihat ummi yang begitu tabah, aku dilanda rasa iri ya Rabb..
Biarkanlah aku merasakan indahnya hidup dalam ketabahan. Menerima dan menjalani qadla-Mu.
Yaa Rahiim, seandainya mati lebih baik untukku, matikanlah aku dalam husnul khatimah dan berjumpa dengan-Mu dalam derajat yang suci. Namun, bila hidup memang lebih engkau ridhoi, hidupkanlah aku dengan kehidupan yang lebih baik.
Biarkanlah aku merasakan apa yang terbaik bagiku, menurut Mu.
Aamiin.

Air mata terasa panas melintasi pipiku. Dan ummi masih khusyu’ melantunkan ayat-ayat-Nya. Tak lama, dik Sarah datang membawa ayah.
”assalammu’alaikum. Kak Fitri, ini ayah.” ucap Sarah menghampiri ku.
”wa’alaikumussalam” jawabku. Aku tak banyak berkata, mengingat rasa lelah bila harus berkata terlalu banyak. Aku hanya tersenyum dipeluk ayah yang sudah lama kurindu.
”ayah, Fitri sudah sarjana.” ucapku terbata-bata.
”ayah bangga nak” jawabnya dengan air mata menetes di atas ketegaran jiwanya.
Lidahku sudah tertutupi tebalnya warna putih, tak dapat merasa sedikitpun. Yang ada hanya rasa pahit memenuhi mulutku, dan semua itu membuat nafsu makanku semakin hilang.
Ummi terus memaksaku untuk makan, tapi perutku tetap saja menolak. Semua yang masuk, tak dapat ku cerna dan hanya termuntahkan lagi dan lagi.
”aku lelah ummi”  ucapku. Ummi semakin sering meneteskan air mata mendengar aku yang menggerutu.
Hingga akhirnya, aku meminta waktu untuk berbincang dengan Sarah saja. Sedangkan ayah, ummi dan dik Fajrin menunggu diluar.
”dik, kakak titip surat ini untuk kak Risman bila nanti dia lulus dan kembali pulang ke tanah air. Bila dia mencari kakak, sampaikanlah. Kakak bahagia bisa mengenalnya.”
Sarah hanya mengangguk dengan airmata yang terus mengalir. Dia benar-benar tak bisa menahan kesedihan.
”dasar cengeng” lanjutku sambil tersenyum dengan bibir yang mulai kering dan kaku.
”ummii..! ayaaah..!” suara Sarah terdengar keras memanggil kedua pahlawan hidupku itu.
Ummi masuk dengan langkah yang cepat, dia lantas mencium keningku dan memegang erat jari jemariku. Seolah dia tak ingin aku hilang.
”ayah, ummi, terimakasih untuk segala yang kalian beri. Rasa kasih dan sayang yang tak berbatas, sangat-sangat kusyukuri. Sekalipun jasadku hilang ditelan bumi, namaku tetap ada sebagai anak ayah dan ummi. Fitri sudah lelah. Fitri ingin istirahat saja. Sisanya, fitri tunggu pertemuan kita nanti. Ketika Allah sudah mengekalkan kita. Dik, kakak titipkan ayah dan ummi bila usia mereka telah tua dan terlalu lelah untuk berjalan. Kakak yakin rasa sayangmu pada mereka juga tak berbatas. Kakak sangat menyayangimu. Hidupku sudah jauh terasa sempurna, terimakasih ummi.
Ayah, bimbing Fitri.” ucapku lemah.
Kini, kurasakan bagaimana sakitnya orang-orang yang tercabut nyawanya. Dingin mulai terasa di kakiku, lengan, badan, hingga sampai pada puncak rasa sakit yang pernah baginda Rasul, Khalilullah rasakan pula.
Hilanglah deritaku dengan pejaman mata. Dan masih bisa ku lihat ummi, ayah, Sarah, dan Fajrin tertunduk tak percaya.
”ummi ikhlas nak” bisiknya ke telinga jasadku yang sudah dingin tak bernyawa.
Ketahuilah, yang pergi takkan kembali lagi.
Aku menunggu di sebuah telaga suci di syurga nanti. Ikhlaskanlah aku untuk beristirahat sejenak ummi. Meskipun sejenak itu, berarti selama hidupmu.
Lama setelah kepergianku, Allah bermurah hati mengizinkan mata ini memandang bumi lagi. Diam sejenak dan melepas rindu pada sang gagah disela-sela gundukan awan tebal nan lembut, dengan tangan memangku dagu dan mataku jauh menerawang dunia.
Surat yang kutitipkan pada Sarah, kini sudah tersampaikan. Dan Allah memeluk ragaku dengan perasaan yang tak bisa kukisahkan. Aku menanti di keabadian untuk sang pujaan hati.

Teruntuk : Sang mujahid, Risman Hasan
Di : Bumi Allah.

Assalammu’alaikum
Risman, bagaimana kabarmu? Tanah air sudah lama menanti keberhasilanmu. Menanti baktimu untuk negri tercinta ini.
Duhai lelaki yang kucintai, salam rindu dariku untukmu. Meskipun aku yakin, kau tak pernah mengetahui tentang ini.
Risman...
Kejujuran hatiku mungkin tetap takkan meluluhkan hatimu untukku, karena seseorang yang kau cari sudah ada di hadapanmu. dia yang juga menunggu pinanganmu. Selain ’aku’.
Risman...
Jika memang takdir berkata kau adalah pendamping hidupku, aku yakin itu tetap akan terjadi bila kau menginginkan dalam keabadian nanti. Aku tetap menantimu di akhirat sana.
Risman...
Surat yang ku tulis bukan karena nafsu setan, tapi justru karena kejujuran hati yang tak pernah sempat kuungkapkan padamu dengan penjagaan yang luar biasa.
Sering kudengar bisik setan agar aku mengirimimu berjuta kata indah pelipur rindu, namun tak pernah aku ingin mengiyakannya meskipun aku tahu, dengan itu dapat sedikit membuka celah hatimu.
Mengapa? Karena aku tak pernah meminta balas. Cukup bagiku dengan senyum dan bahagiamu saja.
Maafkan aku yang tak dapat terus menantimu di dunia. Yang tak bisa menyambut kesuksesanmu dengan wajah penuh senyuman. Yang malah memberi kesan buruk dalam catatan hidupmu, dengan setumpuk tanah kotor yang menjadi tempat singgah. Maafkan aku.
Saat kau membaca surat ini, aku yakin kesuksesan sudah ada dalam genggaman tanganmu. Dari itu, sekalipun gundukan tanah yang menjadi pandanganmu saat ini, aku dan hatiku tetap berbangga melihatmu dari sisi Allah.
Jiwaku tetap hidup. Dan tinggal untuk menantimu.
Risman...
Kau harus tahu. Allah begitu sangat menyayangiku.
Dia begitu menginginkan aku tetap berada dalam keistiqamahan menantimu dan menjaga sucinya fitrah di hati ini. Dari pertama mengenalmu, hingga saat ini, aku telah tiada.
Dia tetap mengizinkanku menantimu. Dengan perjuangan sampai malaikat maut menjemput, aku masih tetap menyimpan harapan itu.
Terimakasihku untukmu yang sudah berhasil membuat sebuah keistiqamahan dalam hati ini tetap tinggal dan enggan beranjak.
Risman...
Hiduplah sebagaimana kau hidup. Dan jangan pernah menyiksa dirimu sendiri dengan sebuah ketetapan. Kau takkan pernah kehilangan kasihku, karena aku selalu ada dan menunggu sebagai bidadarimu di syurga nanti.

Yang menanti cinta


Fitri Habibatullah

Semua ini, kuukirkan untuk figur dia yang hadir sebagai ibunda, ayahanda, adik, kakak, juga Sahabat tercinta.

No comments:

Post a Comment