Daku Dan Sehelai Daun
Ketika embun sejuk masih tertinggal membulat di sela pepohonan, dan semilir angin dingin yang amat menyegarkan menusuk rangkaian tulang dalam jasad.
Daku berjalan di tengah hamparan tanah dengan ratusan helai daun masih bermandikan embun. Yang hijau sejauh mata memandang, pandai mengasuh jiwa dalam ketentraman. Kakiku mencengkram, lantas kubawa dia pergi dan berlari semakin menjauh.
Hingga sampailah daku di ujung perjalanan dengan keringat yang melumuri jasad. Lelah tak berbekal air di sebuah tanah lapang yang tandus. Gersang, dan tak kudapati sesuatupun disana. ”ternyata ada dua bumi?” ucapku heran. ”baru saja daku singgah di tengah hamparan kehidupan. Tapi mengapa sejenak daku berlari, sudah kutemui lagi dunia yang jauh berbeda. Ini tandus, dan tak nyaman!” bibirku semakin menggerutu.
Panas amat menyiksa tubuhku, bahkan tanah menghakimiku. Aku berlari memutari tanah kosong itu, tapi tetap tak ku temukan sebuah kehidupan. Tanganku merayap mencari sesuatu di setiap saku baju, satu-satunya yang daku miliki. Namun, sial. Hanya sebuah benih kecil yang kutemui.
”untuk apa ini? tidak akan mungkin cukup!” ucapku kesal.
Berulang kali daku memutar otak, apa sebenarnya yang salah dari semua yang daku miliki. Daku gali tanah tandus itu demi sebuah jawaban, demi sebuah ketegasan dari semua yang membuat ini abu-abu. Hingga luka pukulan bahkan kucuran darah ditangan tak lagi kupedulikan.
Air memancar, dan kudengar gemericiknya mulai mengisi lubang ditanah itu.
”ini benih!” teriakku. Segera ku tanam, dan ku beri dia minum. Tanah gersang tak bernyawa tak lama lagi akan berubah.
Setangkai batang muncul, dengan esoknya membawa sepucuk daun kehijauan.
”Inilah daun kehidupan!” teriakku ditemani puasnya hati.
Daun hijau itu amat menentramkan jiwaku, mendamaikan gelisahku, bahkan mengenyahkan benciku.
Halamanku yang asalnya tertata rapi dan indah hilang ketika raga ini tak pernah merasakan cukup. Meskipun dengan berlari yang hanya sekejap, namun tetap menyimpangkan langkah ini keluar dari lingkar seharusnya. Yang hijau, tenang, dan elok.
Tapi daku sadar setelah bumi menampar jasad ini. Sang pemilik amat murah hati. Dia selalu menitipkanku sebuah benih harapan, kemanapun kaki ini berpijak.
Dan dia amat menyayangiku meski dalam kebisuan.
Dia hanya ingin melihat daku tersenyum, meneguk manisnya madu dari sebuah pahitnya perjuangan.
Tenagaku memang terkuras habis dalam sebuah perjuangan. Hatiku pun selalu teriris sakit dalam sebuah pengorbanan. Karena hidup memang tak terkira. Tapi, tetaplah berusaha menata ruang dalam hidup agar nampak indah, nyaman bahkan benar-benar HIDUP.
Setangkai pohon amat berharga ketika dia ada di tengah tandus. Bahkan sehelai daun pun, terasa lebih berharga lagi. Karena dia yang amat ikhlas membaktikan diri, dan tetap hidup dalam ketentuannya. Yang tak pernah mengeluh meski harus bekerja sebagai rumah pembuatan makanan, rumah penguapan, bahkan sebagai paru-paru kehidupan. Agar dapat tetap membuat dirinya dan semua makhluk bertahan hidup untuk tumbuh. Layaknya sebongkah daging dalam jasad ku. Dialah Hati. Yang selalu menjadi rumah bagi iman, cinta, dan harapan dalam HIDUP ku.
No comments:
Post a Comment