Menelaah Kesetaraan Gender dalam Pembangunan
Berkelanjutan di Desa Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung
Oleh: Hafidh Fadhlurrohman
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan tentang kesetaraan gender dalam pembangunan berkelanjutan
di Desa Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung. Keadaan ini
dikaitkan oleh penulis dengan teori the ideas of Justice Amartya Sen, karena teori
tersebut merupakan formulasi yang tepat untuk mengatasi ketidakadilan dan
memiliki tujuan akhir keadilan yang demokratis. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini dengan cara mengumpulkan data-data sekunder dan studi literatur
terhadap konsep gender dan pembangunan di Desa Banjaran Wetan Kecamatan
Banjaran Kabupaten Bandung. Ada dua tahapan yang dilakukan yaitu heuristik
(mencari dan mengumpulkan sumber) dan interpretasi (penafsiran sumber). Metode
pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan mengumpulkan sumber
literatur yang berhubungan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pandangan baru terhadap orientasi pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan
oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan gender.
Karena pada 25 September 2015 bertempat di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), para pemimpin dunia secara resmi mengesahkan Agenda Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) sebagai kesepakatan
pembangunan global. Kurang lebih 193 kepala negara hadir, termasuk Wakil
Presiden Indonesia Jusuf Kalla turut mengesahkan Agenda SDGs. Dengan mengusung
tema "Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan
Berkelanjutan", SDGs yang berisi 17 Tujuan dan 169 Target merupakan
rencana aksi global untuk 15 tahun ke depan (berlaku sejak 2016 hingga 2030),
guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, mewujudkan kesetaraan
gender dan melindungi lingkungan. SDGs berlaku bagi seluruh negara (universal),
sehingga seluruh negara tanpa kecuali negara maju memiliki kewajiban moral
untuk mencapai Tujuan dan Target SDGs.
Kata
kunci: Sustainable
Development Goals (SDGs), partisipasi masyarakat, kesetaraan gender, orientasi pembangunan,
pembangunan berkelanjutan.
Pendahuluan
Selama dekade terakhir,
kata gender telah dimasukkan ke dalam kosakata semua diskusi dan tulisan
tentang perubahan dan perkembangan masyarakat dunia ketiga. Di Indonesia juga
hampir semua penjelasan program pemberdayaan dan pembangunan masyarakat oleh
lembaga swadaya masyarakat tentang membahas isu gender. Istilah gender
digunakan untuk menggambarkan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, wanita
itu baik, cantik, emosional, dan keibuan. Laki-laki, di sisi lain, dianggap
sebagai orang yang kuat, rasional, maskulin dan berkuasa. Ciri dari sifat itu
sendiri adalah sifat yang dapat ditukar. Segala sesuatu yang dapat
dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan dapat berubah dari waktu ke
waktu dan dapat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain atau dari
kelas ke kelas, itulah konsep gender. Istilah ini tentunya berbeda dengan
istilah gender yang merupakan perbedaan gender secara biologis.
Bank Dunia mengatakan
kesetaraan gender adalah isu pembangunan utama yang dapat memperkuat kemampuan
negara untuk mengembangkan, mengurangi kemiskinan dan menjalankan
pemerintahan yang efektif. Dalam konteks ini, jika suatu daerah/wilayah ingin
membangun pemerintahan yang progresif, paling tidak memberikan perhatian khusus
pada isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan gender. (Ratih, 2015)
Perempuan justru
dijadikan target yang tidak kondusif bagi perkembangannya sendiri. Memang jika
kebijakan yang dikembangkan merupakan kebijakan yang berwawasan gender, maka
indikator atau pertimbangan keseimbangan manfaat dan peran laki-laki dan
perempuan selalu digunakan dalam pelaksanaan setiap program pada tahap
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dengan pendekatan ini,
pelaksanaan setiap program akan selalu menunjukkan bentuk pemerataan,
keadilan, demokrasi dan transparansi yang dapat meningkatkan akuntabilitas
pemerintah.
Pemerintah harus mulai
dengan membuat kebijakan yang mengarusutamakan gender dan pelibatan peran
perempuan dalam pembangunan. Selama ini, tak dapat dipungkiri bahwa peraturan
perundangan yang ada di Indonesia mengalami bias gender. Meskipun pasal 27 UUD
RI tahun 1945 menjamin kesamaan hak bagi seluruh warganegara di hadapan hukum,
baik laki laki maupun perempuan, masih banyak dijumpai materi dan budaya hukum
yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak berkeadilan gender.
Lahirnya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa dampak positif bagi pembangunan desa
untuk lebih partisipatif. (Solekhan, 2014) Terkait dengan partisipasi,
partisipasi perempuan dalam pembangunan terutama di pedesaan membuat pandangan
yang berbeda mengingat bahwa budaya telah membentuk persepsi dan pola pikir
masyarakat dalam menempatkan posisi perempuan itu sendiri di lingkungan
sosialnya. Meskipun kaum perempuan merupakan potensi sumber daya manusia yang
sama dengan laki-laki, namun kenyataannya di Indonesia menunjukkan dominannya
partisipasi laki-laki dari pada perempuan.
Lalu dengan
dilaksanakannya forum pada 25 September 2015 bertempat di Markas Besar
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), para pemimpin dunia secara resmi mengesahkan
Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) sebagai
kesepakatan pembangunan global. Kurang lebih 193 kepala negara hadir, termasuk
Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla turut mengesahkan Agenda SDGs. Dengan
mengusung tema "Mengubah Dunia Kita: Agenda 2030 untuk Pembangunan
Berkelanjutan", SDGs yang berisi 17 Tujuan dan 169 Target merupakan
rencana aksi global untuk 15 tahun ke depan (berlaku sejak 2016 hingga 2030),
guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
SDGs berlaku bagi seluruh negara (universal), sehingga seluruh negara tanpa
kecuali negara maju memiliki kewajiban moral untuk mencapai Tujuan dan Target
SDGs. Penguatan perempuan dan kesetaraan gender pun termaktub di dalam komitmen
global tersebut, sebagai upaya untuk mengatasi ketertinggalan perempuan dalam
pembangunan sehingga peran dan partisipasinya terasa dalam prosesnya guna
memberdayakan dan mensejahterakan perempuan. Tetapi pada realitasnya tujuan
tersebut masih minim dilakukan dalam pelaksanaan pembangunan khususnya di Desa
Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung. Artinya masih maraknya
permasalahan ketidakadilan gender dalam tatanan masyarakat dalam proses
pembangunan. Data di Desa Banjaran Wetan tahun 2020 menunjukan jumlah laki laki
adalah 9.070 orang dan perempuan 8.698 orang. Artinya perbandingan tersebut
tidak terlalu jauh, namun pada kenyataannya perempuan tidak bisa menyeimbangi
apalagi sampai mendominasi dalam hal partisipasi proses pembangunan, baik dari
mulai perencanaan sampai kepada wilayah pelaksanaan dan pemeliharaan.
Berdasarkan pemaparan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana partisipasi perempuan dan kesetaraan gender dalam pembangunan
berkelanjutan di Desa Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung,
serta bagaimana kendala partisipasi perempuan dan kesetaraan gender dalam
pembangunan berkelanjutan di Desa tersebut. Sedangkan, penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan partisipasi perempuan dan kesetaraan gender serta
kendalanya dalam pembangunan berkelanjutan di Desa Banjaran Wetan Kecamatan
Banjaran Kabupaten Bandung.
Pendekatan
Penelitian ini
menggunakan teori keadilan Amartya Sen, dipilih karena konsep keadilan Amartya
Sen tidak terbatas pada pembentukan lembaga-lembaga yang adil, tetapi bagaimana
lembaga-lembaga tersebut melaksanakan keadilan bagi masyarakat. Pembangunan
berkelanjutan merupakan pembangunan yang memiliki berbagai tujuan untuk
mengantarkannya kepada keadilan masyarakat. Dalam arti, tujuan yang dimaktubkan
dalam pembangunan berkelanjutan harus dipastikan oleh lembaga supaya dapat
terwujud. Pertanyaannya, bagaimana menerapkan tujuan itu di masyarakat. Disini
Amartya Sen berpendapat bahwa harus ada sesuatu seperti kebebasan untuk
menegakkan keadilan di masyarakat.
Menurut Amartya Sen
untuk mewujudkan keadilan memerlukan pendekatan yang lebih membumi sehingga
bisa direalisasikan. Pendekatan Amartya Sen adalah pendekatan perbandingan yang
berfokus pada realisasi keadilan di masyarakat. Pendekatan ini berfokus pada
tindakan aktual dan interaksi sosial yang ada di masyarakat (Maffettone, 2011).
Melalui pendekatan realisasi ini, untuk mewujudkan keadilan bukan hanya
berfokus pada pembentukan institusi yang adil secara ideal. Keadilan juga harus
memperhatikan bagaimana kehidupan masyarakat yang riil itu berlangsung lewat
perilaku aktual dan pilihan-pilihan yang diambil masyarakat. Sehingga konsep
keadilan tidak terpusat hanya pada hal-hal normative- idealistik.
Konsep keadilan Amartya
Sen tidak terbatas pada pembentukan lembaga yang adil, yang juga harus
menjamin keadilan dalam masyarakat (Sunaryo, 2017). Sen menulis dengan penuh
semangat. Meskipun tidak ada korelasi definitif antara pertumbuhan ekonomi dan
demokrasi, sejarah menunjukkan bahwa tidak ada kelaparan besar di negara
demokrasi independen dengan kebebasan pers. Sen menunjukkan betapa pentingnya
kebebasan politik dan hak publik (Amartya Sen, 1999). Keduanya dapat mencegah
bencana politik dan ekonomi lebih lanjut. Ketika semuanya berjalan dengan
baik, kebebasan dan hak politik mungkin tidak tampak begitu menarik. Namun,
lembaga ekonomi dan politik yang baik sangat penting pada saat kesulitan sosial
dan ekonomi. Akibatnya, ketimpangan ekonomi dapat berkontribusi pada
ketimpangan sosial seperti halnya kesetaraan sosial atau politik dapat
berkontribusi pada ketimpangan ekonomi. Kebebasan politik dalam bentuk kebebasan
berbicara dan pemilihan umum berkontribusi pada stabilitas ekonomi. Peluang
sosial dalam bentuk fasilitas pendidikan dan kesehatan mendorong partisipasi
dalam kehidupan ekonomi. Peluang ekonomi berupa peluang untuk terlibat dalam
perdagangan dan manufaktur dapat membantu menciptakan sumber daya swasta dan
publik yang melimpah untuk fasilitas sosial. Dalam banyak hal, kebebasan akan
saling menguntungkan. Ada 4 materi yang Sen tawarkan dalam melihat suatu hal
untuk keadilan yakni, kebebasan, kapabilitas, kesejahteraan dan kesetaraan.
Perempuan
Dalam Pembangunan
Konferensi perempuan
internasional pertama, puncak dari Tahun Perempuan Internasional,
diadakan pada tahun 1975 oleh PBB di Mexico City dan berjudul "Konferensi
Internasional Tahun Perempuan Internasional", mengidentifikasi tiga isu
utama: gender. kesetaraan dan penghapusan diskriminasi gender, inklusi dan
partisipasi penuh perempuan dalam pembangunan, dan peningkatan kontribusi
perempuan bagi perdamaian dunia”
Menurut
Partisipasi perempuan
dalam pembangunan membutuhkan restrukturisasi semua institusi. Ini hanya dapat
dicapai melalui perubahan struktural di semua aspek sosial. kelembagaan,
termasuk "Jika sistem ekonomi dan politik berubah, peran gender yang
diidealkan akan berubah seiring dengan perubahan ideologi
gender," katanya.
Pendekatan
Perempuan Dalam Pembangunan
Pendekatan
Pemberdayaan atau Gender dan Pembangunan (GAD)
GAD (Gender and
Development) merupakan satu-satunya pendekatan terhadap perempuan dalam
pembangunan yang melihat semua aspek kehidupan perempuan dan semua kerja yang
dilakukan perempuan meliputi kerja produktif, reproduktif, privat dan publik.
Pendekatan ini menegaskan bahwa ada nilai lebih dalam pembangunan daripada
sekedar pertumbuhan ekonomi. Pemberdayaan lebih terkait dengan pendekatan dari
bawah ke atas (bottom-up) ketimbang pendekatan dari atas ke bawah (top-down).
Pendekatan ini memahami tujuan pembangunan bagi perempuan dalam pengertian
kemandirian dan kekuatan internal, dan sedikit banyak lebih menekankan pada
pembuatan undang-undang yang berkenaan dengan kesamaan antara laki-laki dan
perempuan ketimbang pemberdayaan perempuan itu sendiri.
(Mosse: 1992)
Perempuan
dan Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan
berkelanjutan diidentikkan sebagai kerangka ideal dan strategis pengelolaan
lingkungan. Pembangunan berkelanjutan secara sederhana merupakan pendekatan
pembangunan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik untuk masa kini dan
mendatang. Dalam pelaksanaannya, pembangunan berkelanjutan senantiasa
berlandaskan pada tiga pilar utama yaitu pilar ekonomi, pilar sosial dan pilar
lingkungan (ekologis). Secara simultan, setiap kegiatan pembangunan harus layak
secara ekonomi, dapat diterima secara sosial serta tidak mengganggu atau
merusak lingkungan.
Manfaat kesinambungan
pencapaian pembangunan akan menjamin tersedianya sumberdaya, menjunjung tinggi
harkat dan manfaat setiap individu serta meningkatkan pemerintahan yang baik.
Aktivitas pembangunan berkelanjutan yang dapat dilakukan diantaranya adalah
pemberdayaan masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan.
Pemberdayaan merupakan
suatu fenomena berupa proses yang akan memberikan manfaat baik bagi perorangan
dalam organisasi maupun organisasi itu sendiri; membantu masyarakat dapat lebih
mengontrol kegiatan sendiri maupun lingkungan; membantu masyarakat memperbesar
atau memperkuat kapasitas kemampuan dalam melaksanakan tugas masing-masing
serta membantu memperbesar kesempatan anggota masyarakat untuk tumbuh,
berkembang dan mandiri. Hak asasi manusia menjamin setiap manusia mempunyai hak
yang sama di setiap sektor.
Upaya pemberdayaan
masyarakat tidak membedakan siapapun dalam berpartisipasi di berbagai hal.
Laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama. Diskriminasi gender pada
dasarnya dapat terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, namun secara
agregat diskriminasi gender cenderung lebih banyak dialami perempuan.
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender meliputi marjinalisasi, subordinasi,
pandangan stereotype, kekerasan serta beban kerja ganda perempuan.
Sebelum diadakannya
Konferensi Perempuan Sedunia yang diadakan oleh PBB (KTT Perempuan di Beijing
tahun 1995), perhatian lebih banyak diberikan pada isu-isu perempuan serta
akses dan kesempatan yang dimiliki perempuan. Pendekatan perempuan dalam
pembangunan berfokus pada bagaimana perempuan diintegrasikan ke dalam
upaya-upaya partisipasi perempuan sebagai pemanfaat hasil pembangunan daripada
pelaku pembangunan. Akibatnya, dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh
pemerintah, perempuan sering terpinggirkan. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan
yang dialami oleh perempuan disebabkan oleh gabungan beberapa faktor budaya,
ekonomi, politik dan sosial yang berdampak secara berbeda terhadap kehidupan
perempuan dan laki-laki (Anon, 2002:5). Menjadi jelas kemudian bahwa perlu
paradigma baru untuk memberikan kerangka kerja dan strategi pemberdayaan pada
perempuan sebagai pelaku pembangunan agar tercapai tujuan pembangunan,
mengingat begitu besar peran perempuan di dalamnya.
KTT Perempuan di Beijing
menghasilkan Deklarasi Beijing yang berisi 12 Critical Areas yang merupakan
rencana tindak pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Critical areas
tersebut meliputi permasalahan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kekerasan
terhadap perempuan, konflik bersenjata, ekonomi, pengambilan keputusan,
mekanisme institusional untuk perempuan, hak asasi perempuan, media massa,
pengelolaan lingkungan hidup dan bidang anak perempuan. Selanjutnya pada KTT
Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002, masyarakat dunia
menyepakati posisi penting perempuan dalam mencapai pola produksi dan konsumsi
yang berkelanjutan pada pengelolaan sumberdaya alam. Kesepakatan terhadap
posisi strategis perempuan dalam berbagai forum internasional membuka peluang
bagi penyelesaian masalah yang terkait antara perempuan dan pembangunan
berkelanjutan.
Pemberdayaan perempuan
dalam pembangunan berkelanjutan adalah upaya kemampuan perempuan untuk
memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dalam pembangunan
berkelanjutan. Program pemberdayaan perempuan diarahkan untuk meningkatkan
kualitas hidup khususnya kaum perempuan dan peran sertanya yang aktif di
masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan, melalui sosial budaya dengan
mengangkat kearifan lokal setempat. Peran Serta perempuan dalam pembangunan
sangat penting dan turut menentukan berhasilnya pembangunan.
Pengarusutamaan
Gender
Pengarusutamaan gender
atau biasa disingkat dengan PUG merupakan strategi yang dicanangkan secara
sistematis dan rasional untuk mewujudkan dan mencapai kesetaraan dan keadilan
gender dalam berbagai aspek kehidupan manusia seperti rumah tangga, masyarakat
dan negara. Melalui kebijakan dan program yang memperhatikan kebutuhan,
aspirasi, pengalaman dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan
program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Tujuan PUG dalam inpres
tersebut adalah terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang
berperspektif gender. Ruang lingkup PUG dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2000
meliputi: 1) Perencanaan, 2) Pelaksanaan, 3) Pemantauan dan 4) Evaluasi
Deskripsi Konteks
Pembangunan
berkelanjutan di Desa Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung dalam
prosesnya masih didominasi oleh laki-laki, keterlibatan dan partisipasi
perempuan dalam prosesnya dinilai masih sedikit. Bahkan kebanyakan perempuan di
Desa Banjaran Wetan masih belum tahu program program yang dilaksanakan dalam
pembangunan desa, sehingga wajar ketika penulis bertanya kepada beberapa
perempuan yang ada di sekitar desa, tidak tahu menau bahkan terkadang tidak
peduli dengan apa yang sedang dilaksanakan pemerintahan desa. Maka ini tentu
menjadi tantangan bersama terkhusus pemerintahan desa, karena jika kondisi
terus seperti itu maka tujuan luhur dari pembangunan berkelanjutan akan
terbuang sia-sia dan tidak akan terimplementasikan secara optimal. Sehingga
tujuan untuk memberikan keadilan di masyarakat akan terbalik menjadi
ketidakadilan ketika dalam prosesnya tidak ada kesetaraan gender atau
keterlibatan gender
Pembahasan
Kesetaraan Gender dalam Pembangunan Berkelanjutan
di Desa Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung Dengan Pendekatan
Teori Keadilan Amartya Sen
Amartya Sen juga melihat
bahwa keadilan dapat diwujudkan jika didekati dengan cara yang praktis bukan
hanya teoritis. Setiap individu di masyarakat memiliki kebutuhan yang
berbeda-beda, sehingga tidak boleh membuat generalisasi tentang kebutuhan
individu. Pembangunan berkelanjutan dalam setiap proses pelaksanaannya harus
bisa melihat kebutuhan dari tiap masyarakat dan daerahnya, artinya dalam hal
ini desa perlu untuk kooperatif dengan masyarakat dalam melaksanakan
pembangunan. Sehingga dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan terdapat 4
materi untuk mewujudkan keadilan yaitu kebebasan, kapabilitas, kesejahteraan
dan kesetaraan.
Pertama, kebebasan
(freedom). Adanya kebebasan dalam mewujudkan keadilan bukan hanya dimaknai
sebagai tidak adanya paksaan dari pihak luar namun juga kebebasan untuk
mengetahui perihal suatu hal. Dalam arti, masyarakat bebas untuk mengakses
informasi dan lain sebagainya perihal pembangunan berkelanjutan. Pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh desa harus bisa memberikan
kebebasan untuk masyarakat untuk mengakses segala halnya, dalam arti
transparansi harus dilakukan oleh desa sehingga kebebasan akan informasi pun
akan maksimal. Kemudian, desa pun harus bisa memberikan kebebasan kepada
masyarakat untuk selanjutnya memanfaatkan hasil pembangunan, dan tidak melulu
desa yang mengatur tanpa memberikan kewenangan yang bebas kepada masyarakat.
Tentu hal ini pun harus sesuai prosedur yang telah ditetapkan sebagai upaya ada
keberlanjutan dari hasil pembangunan.
Kedua, kapabilitas.
Disini kapabilitas tidak dilihat dari sumber daya yang dimiliki namun lebih
kepada usaha dari individu atau masyarakat itu. Dalam pembangunan berkelanjutan
harus ada aspek pemberdayaan sosial, yang mana pemberdayaan tersebut akan
meningkatkan kapabilitas masyarakat sehingga akan ada pembelajaran-pembelajaran
untuk masyarakat baik itu laki-laki ataupun perempuan ketika pelaksanaan
pembangunannya berbasis pemberdayaan, terutama dalam hal ini pemberdayaan
perempuan. Karena dari permasalahan yang terdapat di Desa Banjaran Wetan,
dewasa ini tidak meratanya keterlibatan antara laki-laki dan perempuan, maka
mengutamakan pemberdayaan perempuan dalam proses pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan merupakan salah satu solusi supaya perempuan-perempuan desa
memiliki kapabilitas menyoal pembangunan. Jika masyarakat memiliki kapabilitas
yang cukup terutama perempuan, maka tidak akan ada lagi rasa apatis terhadap
pembangunan yang ada, dan keterlibatan perempuan pun akan hadir di sana.
Ketiga, kesejahteraan.
Salah satu aspek dari pembangunan berkelanjutan adalah meningkatkan kondisi
ekonomi suatu daerah. Artinya ketika terjadi di Desa Banjaran Wetan suatu
pembangunan yang berbasis berkelanjutan maka aspek kesejahteraan masyarakat pun
harus diperhatikan. Menjadi tantangan bagi stakeholder di pemerintahan yang
melaksanakan pembangunan tersebut, dimana pembangunan yang dilaksanakan harus
berdampak baik pada kondisi ekonomi masyarakat. Sehingga masyarakat tidak
dirugikan dengan adanya pembangunan tersebut. Ketika kesejahteraan tidak melulu
soal ekonomi tetapi ada aspek kebahagiaan di dalamnya, maka pembangunan harus
mengantarkan kepada kebahagiaan masyarakat karena pembangunan tersebut menjadi
suatu solusi yang membahagiakan terhadap masalah yang dirasa meresahkan
masyarakat sebelum adanya pembangunan.
Keempat, kesetaraan.
Salah satu aspek sosial dari tujuan pembangunan berkelanjutan adalah kesetaraan
gender. Maka dalam prosesnya, dalam hal ini desa harus senantiasa memposisikan
perempuan sebanding dengan laki-laki sehingga hadir, peran serta
keterlibatannya diperlukan oleh desa untuk mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan.
Refleksi
Kritis Terhadap Pembangunan Berkelanjutan di Desa
Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran Kabupaten Bandung
Dalam proses pelaksanaan
pembangunan perlu optimalnya partisipasi, kalau merujuk pada pengarusutamaan
gender maka ada 4 partisipasi yang dilakukan, yaitu partisipasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan.
Perencanaan
Partisipasi menurut
(Adi, 2007; Abadi, 2014) merupakan keikutsertaan masyarakat dalam proses
pengidentifikasian potensi dan masalah yang ada di masyarakat, pemilihan dan
pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah,
pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses
mengevaluasi perubahan yang terjadi. Sedangkan perencanaan juga diartikan
sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan fakta-fakta,
mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya suatu
tujuan yang ingin dikehendaki atau yang diharapkan (Riyadi, 2005:3).
Partisipasi dalam perencanaan adalah keterlibatan ketika merencanakan program
di musyawarah desa baik itu musrembang atau musyawarah APBDes perlu adanya
keterlibatan perempuan atau kesetaraan gender. Artinya desa perlu mengakomodasi
peserta musyawarah sehingga seimbang antara laki-laki dan perempuan, atau
setidaknya ada perwakilan walaupun tidak sama jumlahnya.
Pelaksanaan
Bentuk partisipasi yang
dapat diberikan masyarakat dalam suatu program atau proyek pembangunan, yaitu
partisipasi harta benda, partisipasi sosial, partisipasi uang, partisipasi
tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan, dan partisipasi representatif. Bentuk partisipasi
yang nyata contoh nya tenaga, keterampilan, dan uang, harta benda. (Putri,
2012: 21). Artinya dalam pelaksanaan pembangunan banyak partisipasi yang bisa
dilakukan, maka hal ini perlu disosialisasikan juga sehingga masyarakat bisa
ikut berperan sesuai proporsinya masing-masing.
Evaluasi
dan Monitoring
Evaluasi merupakan
proses yang sistematis yang mempelajari kejadian, memberikan solusi untuk suatu
masalah, rekomendasi yang harus dibuat, menyarankan perbaikan dan dilakukan
secara berkesinambungan. Sedangkan pemantauan adalah proses rutin pengumpulan
data dan pengukuran kemajuan atas objektif program. Memantau perubahan, yang
fokus pada proses dan keluaran. Monitoring menyediakan data dasar untuk
menjawab permasalahan. Kegiatan pemantauan yang berlangsung selama kegiatan
berjalan untuk memastikan dan mengendalikan keserasian pelaksanaan program
dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Evaluasi bukan hanya merupakan
kegiatan akhir atau penutup dari suatu program tertentu, melainkan merupakan
kegiatan yang dilakukan pada permulaan, selama program berlangsung dan pada
akhir program setelah program itu selesai. Dalam evaluasi dan monitoring desa
harus bisa membuat prosedur supaya semua RW yang ada di desa tersebut bisa
memberikan sumbangsih terhadap kinerja dari hasil pembangunan, serta PKK
sebagai wadah perempuan bisa turut terlibat dalam proses evaluasi dan
pemantauan. Maka pasca pelaksanaan perlu adanya ruang atau tempat untuk
memberikan evaluasi dari bawah ke atas. Mungkin bisa dibuat forum evaluasi di
tiap rw nya, atau menyiapkan sarana untuk penyampaian evaluasi dan pemantauan
supaya pembangunan bisa terpelihara dengan baik.
Metode Analisis Data
Peran
Gender Dalam Pembangunan Berkelanjutan di Desa Banjaran Wetan Kecamatan
Banjaran Kabupaten Bandung
Peran gender adalah
peran yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai dengan status, lingkungan,
budaya dan struktur masyarakatnya. Peran tersebut diajarkan kepada setiap
anggota masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang dipersepsikan
sebagai peran perempuan dan laki-laki. Peran laki-laki dan perempuan dibedakan
atas peran produktif, reproduktif dan sosial.
A.
Peran Produktif
Peran Produktif merujuk
kepada kegiatan yang menghasilkan barang dan pelayanan untuk konsumsi dan
perdagangan. Semua pekerjaan di pabrik, kantor, pertanian dan lainnya yang
kategori aktivitasnya dipakai untuk menghitung produksi nasional bruto suatu
negara. Meskipun perempuan dan laki-laki keduanya terlibat di dalam ranah
publik lewat aktivitas produktif, namun masyarakat tetap menganggap pencari
nafkah adalah laki-laki. Contoh di sebuah kantor, bila terjadi PHK maka
seringkali perempuanlah yang dikorbankan karena dianggap kegiatan laki-laki
yang menghasilkan uang. Bila merujuk pada definisi kerja sebagai aktivitas yang
menghasilkan pendapatan baik dalam bentuk uang maupun barang maka aktivitas
perempuan dan laki-laki baik di sektor formal maupun informal, di luar rumah atau
di dalam rumah sepanjang menghasilkan uang atau barang termasuk peran
produktif.
B.
Peran Reproduktif
Peran reproduktif dapat
dibagi mejadi dua jenis, yaitu biologis dan sosial. Reproduksi biologis merujuk
kepada melahirkan seorang manusia baru, sebuah aktivitas yang hanya dapat
dilakukan oleh perempuan. Reproduksi sosial merujuk kepada semua aktivitas
merawat dan mengasuh yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan
bertahannya hidup (Kamla Bhasin, 2000). Dengan demikian, aktivitas reproduksi
ialah aktivitas yang mereproduksi tenaga kerja manusia. Merawat anak, memasak,
memberi makan, mencuci, membersihkan, mengasuh dan aktivitas rumah tangga
lainnya masuk dalam kategori ini. Walaupun hal-hal tersebut penting untuk
bertahannya hidup manusia, aktivitas tersebut tidak dianggap sebagai pekerjaan
atau aktivitas ekonomi sehingga tidak terlihat, tidak diakui dan tidak dibayar.
Kerja reproduktif biasanya dilakukan oleh perempuan, baik dewasa maupun
anak-anak di kawasan rumah domestik. Pertanyaannya mengapa peran reproduktif
secara alamiah menjadi tanggung jawab perempuan. Jawaban yang sering muncul
adalah karena perempuan melahirkan maka merawat, memelihara anak menjadi
tannggung jawabnya. Pelabelan tersebut menjadi sirna bila mengerti apa itu
seks/jenis kelamin dan apa itu gender. Laki-laki pun melakukan peran
reproduktif, baik reproduktif biologis (membuahi) dan reproduktif sosial karena
memelihara anak dan mengasuh anak tidak menggunakan rahim.
C.
Peran Sosial (Kemasyarakatan)
Kegiatan kemasyarakatan
merujuk kepada semua aktivitas yang diperlukan untuk menjalankan dan
mengorganisasikan kehidupan masyarakat. Peran kemasyarakatan yang dijalankan
adalah melakukan aktivitas yang digunakan bersama, misalnya pelayanan kesehatan
di Posyandu, partisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kebudayaan (kerja
bakti, gotong royong, pembuatan jalan kampung, dll). Semua kegiatan tersebut
biasanya dilakukan secara sukarelawan.
Maka peran gender di
wilayah kemasyarakatan menjadi analisis metode pada penelitian ini karena baik laki-laki
atau perempuan mempunyai hak untuk bermasyarakat dan berpartisipasi dalam
pembangunan. Sehingga dengan adanya hal tersebut maka keadilan gender atau
kesetaraan gender dalam pembangunan bisa dikatakan berhasil.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: Dalam melaksanakan
pembangunan berkelanjutan di Desa Banjaran Wetan Kecamatan Banjaran Kabupaten
Bandung yang memiliki permasalahan atas ketidakadilan gender, maka solusi yang
harus dilakukan adalah peran desa perlu hadir di sana sebagai yang menjembatani
antara program dan masyarakat. Bagaimana desa bisa mengakomodir peserta
musyawarah perencanaan secara adil gender, pun tidak hanya dalam perencanaan,
tapi sampai pada pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan. Selanjutnya menurut
Amartya Sen ketika pembangunan berkelanjutan ingin mewujudkan keadilan maka
pembangunan tersebut harus bisa menghasilkan kebebasan, kapabilitas,
kesejahteraan dan kesetaraan.
Referensi
Solekhan, M. (2014). Penyelenggaraan Pemerintah Desa
Berbasis Partisipasi Masyarakat. Malang: Setara Press.
Maffetton, S. (2011). Sen’s Idea of Justice versus Rawls
Theory Of Justice. Indian Journal of Human Development, 5(1), 119-132.
Sunaryo. (2017). Etika berbasis Kebebasan Amartya Sen
(Integrasi Kebebasan Dalam Pilihan Sosial, Demokrasi dan Pembangunan). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sen, A, K. (1999). Development as Freedom. New
York: Alfred Knopf.
Mosse, J, C. (1992). Gender dan Pembangunan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Probosiswi, Ratih (2015). Perempuan dan Perannya Dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial. Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara, 3(1),
No comments:
Post a Comment