Menyikapi Tradisi Lama (Turats) Menurut Hassan Hanafi

Menyikapi Tradisi Lama (Turats) Menurut Hassan Hanafi

Oleh: Hafidh Fadhlurrohman








Asal Usul Turats Wa Tajdid

Turats memiliki asal kata waratsa yaritsu yang memiliki arti warisan. Jadi turats merupakan warisan masa lalu, dan ia bukan benda mati di perpustakaan, namun merupakan elemen budaya, kesadaran berfikir dan potensi yang hidup, dan memendam tanggung jawab generasi berikutnya.

Kalau kita kutip selaraskan dengan pendapat Focault bisa diartikan turats itu sebagai epistem atau way of life/way of think. Sehingga ia merupakan dasar argumentatif, cara kita berfikir atau cara kita memandang suatu persoalan sehingga kita juga bisa mendefinisikan bahwa turats itu merupakan epistem yang membentuk world-view dan membimbing generasi yang akan datang.

Yang menjadi suatu refleksi dari Hassan Hanafi adalah saat ini turats kita dihegemoni oleh tangan-tangan yang memiliki status quo, baik kuasa agama ataupun kuasa politik yang menggunakan alat agama. Disini lah titik kunci kenapa umat Islam hari ini mundur, karena cara berfikir kita dan cara kita menyikapi turats secara tidak sadar disetir oleh yang punya kuasa atau status quo. Dalam arti yang mempunyai status quo dia tidak ingin orang lain melebihi kapasitas dirinya yang memunculkan probabilitas menggantikan dirinya, jadi secara tidak sadar kita ditindas dengan perlakuan status quo yang membuat kita manut tanpa tapi. Maka dari sinilah Hassan Hanafi menyeru untuk melakukan revolusi, di mulai dengan cara kita dalam beragama dan cara kita menyikapi turats yang merupakan warisan dari masa lalu. Berdasarkan hal tersebut maka ada istilah Kiri Islam, yang menurut Hassan Hanafi kita itu bukan golongan kanan atau status quo, kita itu berada di golongan kiri. Kemudian refleksi Hassan Hanafi tersebut, menggiring dirinya untuk melakukan proyek Turats Wa Tajdid.

 

Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama/Turats

Masyarakat tradisional menganggap tradisi tetap sebagai sumber inspirasi yang kuat, dan menganggap sudah final serta satu-satunya yang tak bisa dibantah. Sementara masyarakat modern menganggap tradisi tidak lagi merupakan sumber nilai dan kekuasaan. Karena anggapannya sudah kuno dan tidak relevan di era modern ini. Lalu hassan hanafi memiliki konsep bahwa tradisi adalah suatu basis yang memungkinkan bagi suatu revolusi modern. Al-muhaafazhatu ‘alaal qadim wal akhdu bi at-tajdid artinya menjaga tradisi lama dan mengambil suatu yang terbaru.

Kaum puritan dan konservatif menyikapi tradisi lama dengan reafirmation artinya mencoba menarik kembali secara asli budaya terdahulu untuk diterapkan secara literal dan bahkan brutal di era sekarang. Sementara Hassan Hanafi memberikan tawaran untuk menyikapi khazanah klasik dengan reformation artinya ia mencoba menggali warisan klasik dan berusaha mengkostruk ulang dasar-dasar epistimologinya agar relevan dengan kehidupan kontemporer.

Sebagai contoh dalam mengkonstruk ulang konsep aqidah, ia bukan sebagai medium memperdebatkan Tuhan antara sifat dan dzatnya, antara wujudnya dan lain sebagainya. Tetapi sebagai kekuatan dan inspirasi untuk membebaskan manusia dari berbagai penindasan dan kezholiman. Singkatnya aqidah harus menjadi motivator dan dasar pembangkit gerakan transformasi sosial. Tujuannya karena kita manusia sebagai ‘abdullah dan khalifah fil ardl maka ke atas atau level vertikal maka harus  di imani dengan cara mutlak, lalu dengan bekal tersebut kita jadikan kekuatan dan inspirasi untuk berjuang di level horizontal/sosial/budaya yang bertujuan untuk keadilan. Karena keadilan merupakan tujuan dari khalifatul ardhi yang ditugaskan Allah kepada kita selaku manusia.

 

Mengapa harus reorientasi/reformasi teologi?

Para teolog muslim dahulu menjadikan teologi sebagai basis epistemologi dalam membela dan meneguhkan keberadaan Tuhan karena para ulama dahulu –terutama mutakallimin- merasa bahwa keimanan kepada Tuhan rawan pendistorsian dan pendangkalan dari kelompok non-muslim, karena itu keimanan harus dibela dan dipertahankan dengan argumentasi yang rasional. Keberadaan Tuhan harus dibela dan dipertahankan melalui serangkaian rumusan-rumusan logis sebagai tema sentral dari ilmu teologi.

Namun untuk sekarang, yang menjadi tantangan serius dan sekaligus menjadi masalah yang krusial bagi umat Islam adalah penjajahan dan penindasan di berbagai sektor sosial dan kemanusiaan, seperti ketidakadilan ekonomi, pelanggaran HAM, penindasan buruh, penindasan petani, perampasan hak-hak rakyat dan lain sebagainya.

 

Lalu bagaimana untuk mengkonstruk ulang teologi dari teoritis menjadi praksis?

Pertama, kita butuh konsep teologi yang jelas dan tidak mengawang di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang nyata dan realistis dalam bentuk teologi sebagai gerakan dalam sejarah yang memiliki tujuan untuk memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim. Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.

 

Hingga kemudian Hassan Hanafi menawarkan terhadap kita supaya memiliki konsep bahwa Tuhan bukanlah sebuah tema pokok ilmu pengetahuan, bukan sebuah objek pembahasan, bukan sesuatu yang perlu dipahami, dirasionalisasi, dibenarkan atau diungkapkan. Tetapi Tuhan merupakan sesuatu yang menggerakan perbuatan dan membangkitkan aktivitas, tujuan sebuah orientasi dan puncak dari segala pengejawantahan.

Tuhan juga menurut Hassan Hanafi adalah kekuatan aktual pada diri manusia, yang menyebabkan ia hidup, berprilaku, bertindak, mengindra, merasa, berimajinasi, dan juga menerima berbagai stimulus. Ia adalah daya hidup yang mendorong manusia berbuat. Maka kalau Tuhan sebagai penggerak, membela Tuhan adalah membela diri kita sebagai manusia, membela hak-hak kita sebagai manusia, membela keadilan kita sebagai manusia, membela kemerdekaan kita sebagai manusia, membela nilai-nilai kehidupan kita sebagai manusia, dan seterusnya.

Karena itu, membicarakan Tuhan seharusnya akrab dengan eksistensi manusia dengan segenap problematika kehidupannya. Artinya untuk membenarkan dan menguji validitas akidah menurut Hassan Hanafi bukanlah lewat pemikiran spekulatif tentang siapa Tuhan, melainkan melalui gerakan empiris terutama dalam gerakan pembebasan (liberation movement) dari berbagai bentuk penindasan.

Maka ketika sebuah keyakinan atau aqidah mampu menggerakan kekuatan pembebasan dari berbagai belenggu semacam itu, disitulah letak kebedaraan Tuhan, disitulah bukti Tuhan hadir dan ada. Sehingga keberadaan Tuhan berada dalam gerak manusia dalam usaha melepaskan dirinya dari berbagai problematika sosial yang menjeratnya, mampu menggerakkan manusia dalam membela dan menegakkan keadilan.

Maka menurut Hassan Hanafi, fungsi ilmu ushuludin yang dahulu hanya untuk pengetahuan semata hari ini harus meorientasikan ulang fungsinya sesuai dengan masalah yang berada di sekitar kita. Hanafi menawarkan konsep fungsi ilmu ushuludin untuk memerangi kebodohan, kemunduran dan keterbelakangan umat, terutama yang ekonominya lemah dalam stara masyarakat sehingga mampu mengubah mereka dari fase satu ke fase yang lainnya, dalam artian mampu mengubahnya dari stagnan menjadi dinamis, dari turun ke bawah menjadi maju dalam sejarah.

Untuk mewujudkan reorientasi tersebut, tentunya perlu reintrepetasi. Pendekatan baru terhadap cara kita memahami Al-Quran. Hingga pada akhirnya Hassan Hanafi memiliki penafsiran yang khas terhadap nash Tuhan yang sering dikenal dengan nama Hermeneutika Sacra atau sering juga dikenal dengan Hermenetika Aksioma. Dinamakan hermeneutika sacra itu bentuk kritik dari Hassan Hanafi terhadap orang yang sering menafsirkan teks sakral dengan hermeneutik. Karena menurut Hassan Hanafi teks sakral itu beda dengan teks yang tidak sakral. Kalau teks biasa kita masuk ke dalam teks dengan posisi kita tidak tahu kemudian membaca kemudian faham kemudian menafsir. Kalau teks sakral kita masuk ke dalam teks dengan posisi kita sudah dengan keyakinan teks tersebut benar. Sebaliknya kalau teks biasa, kita bisa masuk dengan posisi curiga atau tidak yakin terhadap teks tersebut.

Ada beberapa langkah penafsiran yang Hassan Hanafi tawarkan dalam konsep hermeneutika sacranya, diantaranya Historical Criticism (Kritik Historis), Eidetic Conciousness (Kesadaran eidetik) mengejar pesan Tuhan atau originalitas atau ideal moralnya dengan cara menganalisis bahasa, menganalisis konteks sejarah (situasi saat, situasi sejarah), dan generalisasi, Practical Conciousness (Kesadaran Praktik). Dengan memiliki perangkat berpikir ushul fiqh, fenomenologi, marxisme, hermeneutika. 

Lalu Hassan Hanafi menawarkan dengan langkah yang lebih detail, diantaranya: 1) Rumuskan komitmen dalam problem sosial tertentu, 2) Rumuskan tujuan, 3) Inventarisir ayat yang berkaitan dengan tema, 4) Analisis linguistik historis, 5) Identifikasi problematika faktual yang dihadapi, 6) Hubungkan makna ayat dan problem riil yang dihadapi, 7) Rumuskan praksis penyelesaian.

 

No comments:

Post a Comment