RUU HALUAN IDEOLOGI PANCASILA ADALAH BENTUK PEMERKOSAAN TERHADAP PANCASILA, KONSTITUSI, DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAINNYA
Oleh: Adv. Zamzam Aqbil Raziqin, M.H
Indonesia sebagai Negara Hukum sangat terpengaruhi olehmadzhab positifisme dimana hukum merupakan suatu yang tertulis, oleh karenanya seringkali negara yang menganutpositifisme hukum memiliki pandangan bahwa hukum adalahundang-undang. Madzhab positifisme hukum dianut olehsebagian besar negara-negara eropa seperti halnya Prancisdengan Code Penalnya, Belanda dengan Wetboek van strafrecthdan kemudian sampai pada Indonesia dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya. Konsekwensi logis dari sebuahnegara yang menganut positifisme hukum adalah adanyahierarkis hukum. Indonesia mengatur herarki hukum itu di dalam Undang-Undang No 11 tahun 2012 sebagaimana telahdiubah oleh Undang-Undang No 15 tahun 2019 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam pasal 7 diatur bahwa hierarki perundang-undangan tertinggi adalahUUD 1945, TAP MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, PeraturanDaerah Kota/Kabupaten.
Pancasila tidak masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, karna jika kita melihat Pancasila dari sudut pandangkeberadaan (eksistensi) maka ia ditempatkan sebagai normadasar (Grundnorm) sehingga keberadaannya di atas dan diluarkonstitusi. Sifat norma dasar yang menurut kelsen adalah The final standard of legal validity mendudukan Pancasila sebagaialat terakhir dalam memvalidasi Konstitusi dan peraturan yang ada di bawahnya, bahkan keberadaan Pancasila tidakmemerlukan sebuah legitimasi tertulis sebab ia telah adamendahului hukum positif itu sendiri.
Ketika Pancasila dilihat dari sudut pandang sejarah makakeberadaannya akan kita temukan dalam teori Friedrich C. von Savigny bahwa Pancasila adalah Jiwa Bangsa (Volgeist). SebabPancasila telah lahir dari suatu kejadian yang empiris, ia ada di tengah masyarakat dan hidup sebagai sebuah tradisi, danterbentuk melalui proses evolusi hukum sebagaimana sejarahmencatat bahwa embrio Pancasila adalah pidato Bung Karnopada tanggal 1 Juni 1945, kemudian pembentukan panitia untukmerumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara yang disebut sebagai panitia sembilan, dari panitia sembilan itulahirlah Piagam Jakarta sebagai rumusan pertama, pembukaanUUD 1945 sebagai rumusan kedua, mukaddimah KonstitusiRepublik Indonesia Serikat sebagai rumusan ketiga, mukaddimah UUD Sementara sebagai rumusan keempat, Rumusan Pertama menjiwai Rumusan Kedua dan merupakansuatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi sebagai rumusankelima (Dekret Presiden 5 Juli 1959).
Sudut pandang yuridis-normatif (hukum tertulis) telahmenempatkan Pancasila sebagai Staatfundamentalnorm sepertiyang dicetuskan oleh Hans Nawiasky, sebab jika kita telusurikeberadaannya secara tertulis, Pancasila berakhir pada posisiPreambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila dalam preambule disebut sebagaiStaatfundamentalnorm karena ia telah memuat pokok-pokokpikiran suatu bangsa yang secara logis didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. PosisiPancasila sebagai Staatfundamentalnorm lebih tinggi daridaripada Staatverfassung (Konstitusi) yang terumuskan dalampasal-pasal dalam UUD 1945. Konsekwensi logis darikedudukan tersebut adalah keseluruhan pasal-pasal dalam UUD 1945 harus dirumuskan berdasarkan penjabaran Pancasila.
Ketiga sudut pandang tersebut telah mendudukan Pancasila sebagai sesuatu hal yang fundamental, sehingga mengandungarti dan pemaknaan yang sangat luas. Kenyataan ini telahmemposisikan Pancasila sebagai “obrolan langit” yang tidaktersentuh oleh segmentasi praksis, namun bukan berartiPancasila tidak dapat terimplementasi pada wilayah praksis. Sebab keberadaan hukum positif di Indonesia adalah bentukimplementasi pancasila dalam wilayah praksis, Konstitusidijiwai oleh Pancasila dan dalam hierarkinya ditempatkansebagai hukum tertinggi, maka hukum dibawahnya tidak bolehbertentangan, dalam pemaknaan lain Pancasila telah menjiwaiKonstitusi dan Peraturan Perundang-undangan dibawahkonstitusi. Oleh karena itu merumuskan Pancasila kedalamsebuah Undang-Undang merupakan kemunduran bahkanpenghinaan terhadap Pancasila itu sendiri dan penghinaanterhadap Konstitusi serta peraturan hukum yang telah ada.
Materi muatan dalam RUU HIP telah mempersempit Pancasila dan melahirkan tafsir tunggal tentang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, lebih bahaya tafsir tunggal itulegitimate sehingga bersifat imperative sebab merupakan sebuahUndang-Undang. Pancasila yang lahir untuk menghapus segalabentuk penjajahan pada akhirnya menjajah bangsa sendiri, sebabmasyarakat dipaksa untuk mengimplementasikan Pancasila dalam satu kerangka baku yang memiliki garis pembatas yakniRUU HIP.
Eksistensi RUU HIP jika diundangkan juga bersifat imperative terhadap Undang-Undang lainnya, diantaranya RUU HIP imperative mengubah Undang-Undang yang berkaitan denganpenyelenggaraan negara dalam urusan di bidang riset daninovasi nasional, bahkan Undang-Undang yang berkaitandengan kependudukan. Eksistensi RUU HIP sebagai pedomandalam mengimplementasiskan nilai-nilai Pancasila secaralangsung atau tidak langsung telah mendudukannya sebagai batuuji atau alat validasi terhadap aturan hukum yang sejajar ataudibawahnya, hal ini jelas akan merusak tatanan hierarkiperaturan perundangan-undangan di Indonesia. Jika RUU HIP ini di Undangkan maka ia akan menggeser posisi UUD 1945 sebagai batu uji atau alat validasi dalam mengukur dan mengujiapakah sebuah peraturan itu konstitusional atau inkonstitusional. Karena suatu peraturan yang tidak sesuai dengan RUU HIP dapat dicap sebagai aturan yang tidak mengimplementasikannilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu RUU HIP merupakanbentuk pemerkosaan terhadap Pancasila, Konstitusi, danPeraturan Perundang-Undangan lainnya.
No comments:
Post a Comment