RUU HIP; Bagaimana Maksudnya?

RUU HIP: MAKSUDNYA BAGAIMANA ?

Oleh: Leli Novianti





Beberapa waktu kebelakang Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila atau lebih dikenal dengan RUU HIP menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. RUU yang diusulkan oleh DPR RI ini mendapatkan kritik dari banyak pihak. Awalnya RUU ini dibahas di Baleg DPR dan telah ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR. Namun, naskah RUU yang berisi 58 Pasal ini menuai protes dari internal DPR sendiri karena dalam konsideran tidak mencantumkan TAP MPRS XXV/1996 tentang Pembubaran PKI sebagai landasan.

Fraksi PKS yang mengajukan agar TAP MPRS XXV/1966 dimasukan sebagai landasan RUU HIP di dukung oleh fraksi PPP dan fraksi PAN. Mereka berpandangan bahwa aturan tersebut masih relevan untuk membentengi Bangsa Indonesia dari paham marxisme, leninisme dan komunisme. Awalnya fraksi PDIP menolak untuk menjadikan TAP MPRS XXV/1966 sebagai landasan RUU HIP namun setelah proses lobiying kemudian fraksi PDIP menyetujuinya dengan syarat pahan radikalisme pun harus dimasukan.

Selain konsideran, terdapat pasal yang mendapatkan banyak kritikan pula. Diantaranya adalah Pasal 7 yang memuat mengenai trisila dan ekasila yang dianggap telah menghilangkan substansi Ketuhanan yang terkandung dalam Pancasila. Trisila dan ekasila sendiri adalah konsep lama yang telah disampaikan oleh Bung Karno pada saat perumusan Dasar Negara Indonesia namun konsep tersebut ditolak oleh para peserta musyawarah dan mereka menyepakati Pancasila yang dijadikan Dasar Negara. Jadi konsep trisila dan ekasila hanyalah sekedar wacana yang tidak menjadi fakta realitas.

 Pada 29 Mei-1 Juni 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melalui perdebatan yang sangat panjang akhirnya menyepakati akan lima dasar yang menjadi acuan bernegara di Indonesia yang diberi nama Pancasila. Para founding father berdialog, beradu argumen untuk merumuskan seperti apa dasar negara ini saat dinyatakan merdeka kelak. Dalam pidatonya, Bung Karno sebagai salah satu anggota dari PPKI mengungkapkan bahwa Pancasila ini digali dari nilai-nilai bangsa, apa yang terkandung dalam Pancasila adalah sari pati dari jati diri bangsa Indonesia.

Berdasarkan madzhab hukum, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami Pancasila dalam sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Pertama, melalui madzhab hukum sejarah yang  digagas oleh Von Savigny, maka Pancasila merupakan volkgeist. Volkgeist itu lahir melalui pengalaman empiris, faktual, dan menjadi tradisi dikalangan masyarakat. Hal ini sejalan dengan isi pidato Bung Karno saat menyampaikan rumusan dasar negara pada sidang PPKI. Pancasila telah ada dan hidup ditengah masyarakat mendahului hukum positif yang dibentuk kemudian.

Pancasila sebagai volkgeist telah hidup dan menyatu dengan masyarakat. Apa yang disampaikan oleh Bung Karno memberikan pemahaman bagi kita bahwa memang Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang sejak dahulu memiliki kepercayaan pada Ketuhanan Yang Maha Esa yang didalam Pancasila hal ini dijadikan dasar paling tinggi. Ketika disebutkan dalam Pasal 7 RUU HIP jika Pancasila di peras menjadi trisila kemudian menjadi ekasila yaitu gotong royong maka hal ini dipandang telah mencederai substansi dari Pancasila itu sendiri yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Pendekatan kedua yang dapat digunakan untuk memahami kedudukan Pancasila dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah madzhab legisme yaitu melalui apa yang disebutkan oleh Hans Nawiasky sebagai Staatsfundamentalnorm. Untuk dapat menjadikan pancasila sebagai saatsfundamentalnorm maka pancasila harus bertransformasi ke dalam suatu format hukum tertentu. Jika kita hendak mencari format hukum yang di dalamnya terdapat Pancasila, maka kita akan menemukannya di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Pembukaan UUD 1945 ini dibuat oleh PPKI yang saat itu kedudukannya lebih tinggi dari lembaga negara manapun yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah oleh lembaga negara Managuan, karena jika Pembukaan UUD 1945 diubah itu berarti membubarkan Negara Indonesia versi 17 Agustus 1945.

Dengan demikian, Pancasila sebagai pokok-pokok pikiran itu terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Atau dengan kata lain saatsfundamentalnorm negara kita terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yaitu Pancasila.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia secara berurutan adalah UUD 1945, TAP MPR, UU/PERPU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota. Dalam aturan tersebut UUD 1945 berada pada urutan teratas yang berarti UU 1945 menjadi aturan tertinggi dan menjadi penguji bagi atauran yang ada dibawahnya. Dalam kaidah hukum dikenal istilah lex superior derogat legi inferior yang berarti hukum yang lebih tinggi didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah. Dengan kata lain bahwa peraturan-peraturan yang berada di bawah UUD 1945 tidak boleh bertentangan dengan apa yang terkandung dalam UUD 1945.

Pancasila menjadi sumber acuan sebagai validitas hukum yang ada di Indonesia. Saat RUU HIP ini menjadikan Pancasila sebagai UU maka terjadi kekacauan logika berfikir. Karena Pancasila yang dijadikan acuan hukum kini dijadikan hukum itu sendiri sehingga hal ini akan membuat kerancuan dalam sistem perundang-undangan kita. Hukum kita akan berputar dimana Pancasila diuji dengan Pancasila, jelas hal ini tidak mungkin. Maka keberadaan RUU HIP ini bukan hanya bermasalah dari segi materilnya namun juga bermasalah dari segi formilnya.

Disamping dengan beberapa pasal yang banyak menuai kritik dari berbagai pihak, mulai dari tidak mencantumkan TAP MPRS XXV/1966 sebagai landasan sampai pada konsep ekasila dan trisila, lebih jauh lagi Fadli Zon memandang RUU ini seperti layaknya omnibuslaw karena didalamnya membahas pula mengenai ekonomi dan pendidikan. Yang dikhawatirkan dari RUU HIP ini adalah keberadaanya menjadi topeng pemerintah, dimana pemerintah memberikan penafsiran Pancasila sesuai dengan kepentingan mereka serupa dengan apa yang pernah terjadi pada masa rezim orde baru. Dimana Pancasila dijadikan alat politik untuk melanggengkan kekuasaan dan membungkam semua aspirasi masyarakat yang dinilai bertentangan dengan Pancasila versi pemerintah yang berkuasa.

Dalam TAP MPRS XX/MPRS/1966 dinyatakan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum serta cita-cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak Bangsa Indonesia. Dengan definisi tersebut maka Pancasila adalah suatu nilai yang luhur dan luas serta memiliki konsep yang abstrak yang tidak boleh dipersempit dengan pandangan sutu pihak.

             Melalui pendekatan-pendekatan hukum tersebut, tidak dapat dimengerti mengapa RUU HIP ini dibuat. Karena keberadaanya justru menjadikan kekacauan dalam sistem perundang-undangan dan kini justru keberadaannya menimbulkan perdebatan di masyarakat. Secara politis kita patut mencurigai motif yang berada dibalik RUU ini, siapa yang mengusulkan dan tujuannya untuk apa?

1 comment: