oleh : Annisa Nurbaeti Sholeha
Malam tak pernah selarut ini adik rasakan. Terlelap dalam buaian rembulan, adik sudah terbiasa. Banjir dari langit rasanya tetap tumpah menemani adik dan bunda di
pangkuan malam. Usapan jari-jemari lentik bunda begitu damai menyentuh dan membelai ubun-ubun adik.
Bunda, adik kedinginan..
Lelapnya tidur adik sungguh mengharukan bunda, bunda mengecup kening adik, dan ”Bunda sayang adik karena Allah..” angin berbisik di sela-sela telinga adik dan bibir tipis bunda.
Adik beranjak dewasa, dan adik tahu, tak selamanya bunda bisa menyayangi dalam nyata. Bunda tak kurang dari seorang bidadari di mata adik. Bunda cantik, dan sayang adik. Bahkan hingga adik dewasa, bunda tetaplah bunda adik tercinta.
Segalanya tercipta untuk adik.
Bunda tuntun adik menghafal ayat Allah, bunda lagukan bacaan talar nya dalam imami adik shalat, bunda ajari adik berdo’a pada Allah. Itu yang adik rasakan dalam indahnya masa kecil adik. Bunda ingin, adik jadi hafidzah ayat Allah yang selalu hiasi senyum bunda.
Saat air mata jatuh di pipi bunda karena rengekan adik rindu ayah, bentakan adik salahkan ayah, kenapa ayah pergi berjalan menjauh dari sisi adik sebelum ayah lihat adik adalah seorang yang bahagia. Adik tak pernah mengerti bagaimana sayang ayah, bagaimana kecup hangat ayah. Adik bingung, kenapa bunda selalu basahi pipinya saat itu?
Akak sudah besar, adik juga sudah remaja, dan bunda masih tetap bercahaya bekas wudhunya.
Damai hati yang tercipta, bagi derita adik dan akak yang dirindu akan ayah, itulah hangat bunda. Bunda bekerja untuk adik dan akak, menunggu hingga akak cukup usia dan bisa meringankan sedikit dari beban bunda.
Semua keringat bunda berbuah manis, akak lulus dari Universitas dengan baik, ”LULUSAN TERBAIK”, itu yang adik dengar dari bibir bunda. Akak mengajar di sebuah madrasah sebagai bakti kepada bunda. Dan adik, masih tekun menggali ilmu di sebuah sekolah tingkat pertama. Adik seorang yang cerdas, di peringkat pertama nama adik selalu tertulis dengan elok. Bunda bangga, dan bunda sayang adik..
Di suatu malam yang dingin, listrik rumah bunda di putus. Masalah ekonomi rumit di fikiran bunda. Roda dunia tengah berputar, dan inilah saat arus menerjang sampan bunda.
”Bunda, adik lapar, disini gelap..” adik bergumam tak banyak bicara didepan lilin. Tak mau bunda susah karena adik.
Tapi bunda faham hati adik. Digorengnya sebutir telur yang tersisa, meski tak ada yang lain lagi, bunda tak pernah mengeluh. Adik sayang bunda..
Telur disodorkan bunda untuk adik dan akak, bunda bagi dua telur yang sengaja bunda goreng tipis supaya nampak luas dan cukup mengganjal perut adik dan akak.
Malang nian rasanya..
Ditatapnya wajah bunda yang menahan lapar, akak sobek telur nya dan menaruhnya diatas piring. Adik meneteskan air mata, adik lupa bunda belum makan dari pagi. Adik ikut menaruhnya diatas piring. ”Ini untuk bunda..”, gema terdengar disunyi malam.
Senyum bunda, selalu memberi ketenangan, melupakan semua rasa lapar yang menggaggu adik dan akak sedari tadi, bahkan semua masalah yang menekan batin sekalipun, lenyap dengan sekejap.
Bunda, adik sayang bunda..
***
Enam bulan berselang, akak di khitbah seorang pemuda, pria yang nyaris sempurna, cerdas dan kuat beragama, juga hafidzh ayat Allah, itu yang membuat akak jatuh hati. Ketampanannya tak terlalu dipandang akak, bagi akak, imam yang baik, akak terima.
Bunda bersujud, rasa syukur yang bunda panjatkan membuat seluruh insan meneteskan airmata.
Hanya sebentar akak berta’aruf, akhirnya dapat adik lihat nama akak terlukis di sebuah kertas undangan.
Syifa Khairunnisa Al-Humaira..
Adik bahagia.. Adik yang hantar undangan itu dengan sepeda usang adik.
Senyum mengembang di wajah adik.
Akak nampak cantik. Gaun putih di hias jilbab lebar menjuntai, riasan sederhana akak begitu elok di wajah akak. Tak berlebih, semua kesederhanaan akak, membuat semua bidadari syurga iri hati. ”Bunda juga cantik”, bisik angin terhembus dari bibir adik.
Allah sayang adik. Itulah kenapa Allah berikan segala kesempurnaan yang adik perlukan, bukan yang adik inginkan. Bunda yang sholehah, akak yang rendah hati.. adik bahagia meski adik tanpa ayah saat ini, karena adik yakin, suatu hari, izin Allah, adik di syurga berjumpa ayah. Adik akan cium tangan ayah nanti, adik akan peluk raga ayah, dan adik akan minta, selamanya adik merasakan rasa sayang ayah. Karena adik tidak pernah ingin ayah hilang lagi.. semoga ayah di ujung sana sesholeh dan sebaik bunda.. supaya Allah ridha, adik, ayah, akak, dan bunda tinggal disana..
Cukup sesederhana itu harapan adik.
Keharuan menyelimuti semua di bumi Allah, bunda kecup kening akak, bunda peluk tubuh akak hingga puas, tak sadar, airmata bunda juga menjadi saksi Mitsaqan Ghalizhah itu. Terlantun surah Ar-Rahman dari talar kak Labib, suaminya untuk pelengkap mahar akak, membuat semua nyaman. Begitu Indah lagu persembahan dari insan pemelihara ini. Adik yakin, akak pasti takkan kecewa.
***
Dua tahun berlalu, dan ini tahun terakhir adik bersama bunda, sebelum akhirnya adik ingin pergi menggapai ridha.
”Bunda, boleh adik pergi? Adik ingin mandiri bunda, percayalah, adik bisa.” rayu adik terdengar rendah dalam sunyi malam.
”Adik, apa yang tidak bunda beri? Bunda sayangimu nak. Bunda beri apa yang adik ingin. Pergilah sayang. Bunda hantarkanmu nanti, dan syaratnya, bunda ingin adik setor juz ke dua puluh tujuh tahun ini ya?”. cukup itu yang bunda kata. Keridhoannnya yakinlah ada dalam setiap titik kasih sayang naluri bunda.
Adik tetap sayang bunda meski adik tinggalkan bunda sejenak.
Adik sudah berangkat dari tadi pagi, adik tunggu bunda di sekolah. Dilihatnya setiap orang yang lewat. ”Mana bunda?”. akhirnya, sesosok wanita berjubah biru laut dipadu jilbab putih yang menjuntai, masuk dari gerbang. ”Bunda”, senyum adik terlukis. Adik senang bunda datang untuk melihat kelulusan adik. Seperti biasa, adik cerdas sama seperti akak.
”Saudari Zahra Khairunnisa Al-Humaira, dipersilahkan” suara menggema dari spiker di sudut lapangan. Adik naik ke atas panggung.
”Ini persembahan adik untuk bunda. Hafalan juz ke dua puluh tujuh, adik lagukan untuk bunda.”
Bunda yang berdiri di belakang, nampak meneteskan airmata, adik benar-benar niat untuk pergi. Dimulainya ta’awudz, basmalah, dan ayat-ayat indah terdengar dari bibir mungil adik. Tak lama, adik menyelesaikan talarnya.
”Terimakasih adik sampaikan untuk bunda, yang sudah baik menyayangi adik selama ayah tak ada. Adik tahu, tak ada seorangpun dari posisi seperti bunda, yang tidak menyayangi adik, sebagai anaknya. Satu lagi hadiah untuk bunda. Adik sayangi bunda karena Allah.”, airmata terasa asin di ujung bibir adik, semua menangis, tak ada satupun yang tidak mengingat sosok seorang ibu dalam reka ingatan mereka saat itu.
Bunda hampiri adik yang menangis di atas panggung, bunda sambut talar adik dengan kecup hangat, juga peluk lembut bunda.
”bunda bangga” bisik angin di bibir bunda.
Rasa sayang jarang terdengar dari lisan seorang anak, tapi bagi adik, itu kata yang berharga, hadiah yang selalu adik beri untuk bunda. Adik rasa adik tak bisa beri sesuatu yang untuk bunda, tapi bagi bunda, melahirkan insan yang sholehah dari didikan bunda adalah suatu hadiah terindah.
”Tahniah adik”, itu kata bunda.
***
Malam itu, adik bersiap diri untuk berangkat. Malam terakhir bersama bunda dan akak. Bunda bantu masukkan baju adik kedalam tas, bunda siapkan bekal untuk adik, segalanya bunda siapkan sesempurna mungkin. Akak bilang, adik harus kuat. Adik sendiri tanpa bunda dan akak. Semua yang ada di sana harus jadi kawan baik adik.
Iya, adik faham.
Adik mulai meneteskan airmata, ”Bunda, adik takut adik tidak kuat. Berikan adik sebuah keyakinan bunda, berikan adik sebuah semangat bunda, yakinkan adik.” bisik adik dalam tundukkan wajah.
”Allah bersamamu sayang, bunda yakin, anak bunda tidak cengeng.” cukup itu yang bunda ucap, tapi bagi adik, itu hal luar biasa yang hentikan tetes embun di mata adik.
Adik sayang bunda.
Adik tidur ditemani bunda. Berharap sebuah ketenangan ada dalam hati adik.
Tak lama, shubuh sudah menyapa lagi. Bunda bangunkan adik yang terlelap.
Adik, akak, kak Labib, juga bunda, sudah siap pergi. Di hantar mobil berwarna abu milik kak Labib, mereka berangkat. Adik pergi ke Pesantren.
Bunda nampak sibuk melunasi administrasi di kantor, adik dan akak duduk di depan kelas. Semua sibuk. Tapi, ”mereka siapa? Adik tidak kenal mereka akak.” gumam adik.
Malam pertama adik ditinggal bunda dan akak, adik tak bisa tidur. Adik rindu kecup bunda.
Beberapa hari berselang, beruntung bunda dan akak datang menghadiri acara pertama, Serah terima santri baru disana. Dan hadir untuk adik.
Dimulainya acara, nampak biasa saja, tapi, ketika adik bernyanyi untuk bunda, semua bernyanyi untuk tamu undangan, bunda mulai meneteskan airmata, mulut bunda menghembuskan nafas, mencoba menepis dan menahan airmatanya. Lagu selesai, bibir adik terasa asin lagi. Adik mengikuti barisan keluar dari ruangan, dengan wajah menunduk, adik berharap bunda tak melihat cengeng adik. Adik seka embun dimatanya. Bunda, airmata adik keluar begitu saja.
Semua beralih dengan kegiatan masing-masing, adik dan akak duduk di teras depan, adik terdiam menatap langit dari bumi barunya, ”Berjuanglah” ucap akak seraya membelai kepala adik. Adik lari temui bunda, dan bunda hanya berdiam. Adik duduk di samping bunda, menyembunyikan rasa sedih yang membendung, tapi akak tahu, dan hanya menatap adik sambil tersenyum. Adik sandarkan kepala adik ke bahu bunda, adik tak dapat menahan tangis. Bagaimana adik tak menangis mengingat itu bak kali terakhir adik akan menatap bunda. Adik tak ingin bunda pulang, adik ingin bunda temani adik disini. Tak sampai hati bunda melihat adik terisak di bahu bunda, bunda meneteskan airmata tanpa suara dan membelai bahu adik. ”Adik pasti betah” bisik bunda. Akak akhirnya menunduk, tak kuasa melihat adik dan bunda meneteskan airmata.
”Bunda, boleh adik minta kecup bunda untuk terakhir kalinya?” bisik adik dengan isak. Dipegang nya bahu adik, sambil menatap, ”Boleh sayang.” kecup bunda terakhir kalinya terparkir di kening adik. ”Bunda sayang adik”.
Sekejap tadi rasanya tidak membuat hati adik puas. Tapi, adik tahu, ini perjuangannya. Karena adik sayang bunda.
***
Berbulan-bulan adik tinggal, adik mulai terbiasa, meski seringkali teringat bunda, tapi adik coba bersabar, karena bagi adik, dapat memeluk bunda dalam bayang dengan sehelai bulumata saja itu sudah lebih dari cukup.
Adik tumbuh dengan cerdas, adik anak yang berprestasi. Tapi semua itu rasanya membuat beberapa iri akan adik.
Banyak yang menyayangi adik, tapi adik tetap merasa sendiri. Iri hati yang hidup disekitar adik, itu yang membuat adik tak betah. Adik cape bunda.
Adik tetap melanjutkan hafalannya, juz dua puluh delapan tengah adik ukir dalam memori. Senang hati adik, tak sabar ingin memberi talarnya pada bunda. Adik ingin cepat bertemu bunda.
Adik mulai terhempas ombak, tangis adik tak biasanya terdengar. Tapi kali ini, adik menangis di sepi malam. Adik di fitnah bunda.
Sekarang adik dipandang buruk semua orang. Apa yang salah? Hanya karena adik tak tahu ayah, kenapa adik harus menanggung fitnah kejam ini? Apa benar bunda?
Tak seorang pun mau dekat dengan adik, bagaimana adik perbaiki semua ini bunda? Adik anak yang suci kan bunda? Adik terlahir suci kan bunda? Tega nian mereka lakukan ini. Adik baik di sini bunda, tapi kenapa?
Mata adik nampak bengkak di esok hari. Tapi tak seorangpun memperdulikannya. Adik hanya tertunduk.
Ini akhir tahun, dan besok adik naik kelas bunda.
Nama adik terdengar dari spiker, adik pasti membuat bangga bunda lagi. Biasanya, jika bunda ada disini, pasti bunda yang akan peluk adik. Tapi disini, semua melirik adik dengan sinis. Adik seolah seorang yang terkucil ditengah bahagia yang harusnya adik lihat. Rasanya ini bukan hari terbaik bagi adik. Bersabarlah.. adik coba mengelus dada, menenangkan diri adik sendiri.
Adik bangun di tengah malam, adik kembali melanjutkan talar barunya. ”Besok adik pulang.” adik tersenyum.
Esok hari, semua nampak pulang dengan keluarga, tapi adik, menunggu yang tak pasti. Adik tunggu bunda sampai siang. Tapi tak ada.
”Zahra, kenapa belum pulang? Mau ibu antar?” suara lembut dari guru adik. ”Tidak, adik sedang menunggu bunda, adik tidak mau bunda kemari ternyata adik tak ada. Adik takut bunda sakit hati.” nada rendah mulai terdengar dari bibir adik.
Bunda tak kunjung datang, akhirnya, adik terpaksa pulang dengan menahan sakit di hati, mencoba menepis semua rasa kesal dalam hati adik. Adik tak mau berburuk sangka pada bunda. Mungkin, bunda sedang sibuk.
Adik pulang ke rumah tante. Adik telpon bunda.
”Bunda, boleh adik pulang ke sana? Adik rindu bunda.”
”bersabarlah, tapi lebih baik, adik jangan dulu pulang ya. Nanti saja jika kelulusan, bunda janji, adik pulang di jemput bunda, bunda ingin lihat adik di kelulusan.”
Adik tidak mengerti, tak biasanya bunda tolak keinginan adik. Kenapa?
”Tapi bunda,”
”Sudah, baik-baik di rumah tante. Bunda sehat disini.”
Bunda tak banyak berkata, bunda tutup telpon adik. Adik semakin tidak mengerti. Adik hanya ingat bunda sehat, itu lebih dari cukup buat adik bahagia.
Libur di habiskan adik bersama tante, rasanya hidup adik berubah. Kenapa bunda? Tak biasa bunda seperti ini. Adik ingin bercerita bunda, adik lelah disana. Adik ingin nasihat bunda lagi.
Adik ingin beritahu bunda jika adik berprestasi lagi di pondok, tapi, kenapa nomor bunda tidak aktif. Adik coba telpon akak.
”akak, bunda mana? Adik ingin beri bunda bahagia, adik peringkat pertama lagi, boleh adik minta peluk bunda, akak? Akak, tahu tidak? Adik ingin jenguk dik Fithri, berapa usianya sekarang? Adik lupa, akak. Dan adik ingin foto bunda, akak, kak Labib, dan dik Fithri, boleh adik minta akak kirimkan lewat pos? Adik ingin pajang di lemari adik, akak.”
Akak terdiam diujung telpon.
”iya adik, nanti akak kirim, bunda pasti bangga sayang. Sabar ya, akak yakin adik kuat. Sudah ya? Akak sibuk sayang.”
Rasanya semua berakhir sama bagi adik. Kenapa? Apa semua memang menjauh dari adik? Adik bingung bunda.. adik tak faham dengan semua ini.
Adik tahu hatinya sangat terpukul. Bunda yang tadinya begitu menyayangi adik, kenapa sekarang nampak jauh berbeda. Bunda, bunda tahu adik tak penah berjumpa ayah, tapi kenapa sekarang bunda tega membiarkan adik seperti ini? Adik sakit bunda. Adik sakit seperti ini. Kasih sayang tak lagi adik rasa, bunda. Kenapa?
Pertanyaan muncul begitu saja dalam benak adik, tapi adik harap, semua yang terbaik. Adik tepis semua negatifnya. Adik tetap tersenyum demi bunda tercinta.
Esoknya, adik pergi di antar tante ke pesantren, beratnya hati adik tak dapat adik sembunyikan. Sebelum tante pulang, adik hanya pesan, ”sampaikan pada bunda, adik sayang bunda karena Allah.” itu yang adik ucap. Adik pergi tinggalkan tante dengan wajah tertunduk, juga muka yang tidak tertata. Rasanya, itu bukan hal yang baik.
Beruntung, adik punya ibu angkat disana, adik dekat dengan guru yang biasa jadi tempat curhat adik, rasanya, adik punya sedikit semangat disana. Meski tak punya kawan karena sebuah fitnah, adik tak pernah membenci. Adik penyayang.
Adik sayang mereka, karena mereka yang membuat adik semakin dekat dengan Allah, adik bersyukur. Terimakasih.
”Bu, adik tidak pernah faham dengan semua perubahan, apa mungkin adik punya salah? Adik rasa, sikap adik biasa saja. Tapi kenapa bunda jauhi adik bu?”
”mungkin bunda adik tak mau adik manja, sayang. Bunda mau adik mandiri, ibu yakin, bunda masih sayang adik. Jika ibu saja sayang adik, apalagi bunda? Jelas bunda pasti sangat sayang adik, adik kan bidadari kecil bunda. Suatu hari pasti tuntun bunda masuk syurga. Ibu yakin, bidadari bunda.” senyum ibu cukup membuat adik tenang, tapi tak setenang senyum bunda, tetap saja adik rindukan bunda.
Satu tahun selanjutnya mulai terlewati, juz dua puluh sembilan adik mulai terhafal lagi. Adik biasa melagukan talarnya untuk bunda di tengah malam saat orang terlelap dibuai malam.
”Bunda, ini untuk bunda” adik talarkan hafalannya.
Tak sadar, adik terlelap dengan posisi memegang al-quran dari bunda tercinta, bidadari muncul dalam bayangan mimpinya, menyelimuti adik dengan kain sutera, mengusap airmata adik yang menetes, memeluk dan mengecup adik dengan lembut, rasanya hangat, sehangat kecupan bunda. Mimpi itu nyata adik rasakan. Wajahnya bercahaya, dan tak dapat adik melihatnya dengan jelas, tapi, rasanya, sekejap tadi melenyapkan lara adik selama ini. Itu seperti bunda, hanya saja dari mana bunda datang? Bunda kan di rumah? Adik yakinkan diri jika itu hanya mimpi. Tapi adik bahagia, dan Allah tahu itu. Cukup Allah.
Adik bangun tak seperti biasanya, wajahnya cerah, bahkan membuat semua orang nampak nyaman untuk pandang adik. Matanya bening bersinar, senyumnya hangat, wajahnya teduh. Adik nampak bersemangat.
Bunda, terimakasih.
”Sudah talar juz dua puluh sembilan sayang?” sapa ibu tersenyum untuk adik. ”sudah bu, tadi malam adik beri untuk bunda. Adik sayang bunda, bu.” senyum adik begitu nampak indah dimata ibu. Adik senang bunda, adik bahagia.
***
Itu langit adik, mana langit bunda? Jauh.
Awan itu rasanya sering adik lihat bersama bunda tiap sore. Malam ini pengumuman peringkat lagi. Bunda, dengarkan ya. Adik pasti bisa banggakan bunda lagi.
Seperti biasa, nama adik terdengar dari spiker. Adik peringkat pertama lagi bunda. Andai bunda disini, pasti bunda peluk adik. Harapan itu selalu adik ucap tapi tak pernah tersampai.
Tenanglah bunda, adik masih tetap sayangi bunda.
Mata itu sudah biasa adik terima bunda, adik tidak sakit hati lagi.
Adik tunggu bunda datang menjemput, tapi tak kunjung adik lihat bunda. Sudahlah, adik biasakan pulang ke rumah tante sendiri saja.
Adik lihat, ayah mereka datang dengan hadiah ditangan sebagai bentuk rasa bangga, adik juga ingin dapat kecup dari bunda, cukup itu.
Tapi, adik tidak iri bunda, adik tidak mau jadi orang yang iri, macam adik tidak mampu saja. Adik tetap bersyukur bunda masih sayang adik.
Adik telpon bunda lagi, tapi sayang, kali ini tak ada jawaban sama sekali dari bunda maupun akak. Adik telpon ke nomor kak Labib.
”Kak, bagaimana kabar bunda? Adik sudah pulang kak, adik dapat peringkat pertama lagi. Tolong kak, adik ingin bicara dengan bunda. Adik rindu”
”Bunda baik, dik. Akak jaga bunda dengan baik. Nanti kak Labib sampaikan ya. Tahniah atas prestasinya. Akak dan bunda pasti bangga. Fotonya sudah sampai dik?”
”sudah kak, minggu kemarin adik terima, terimakasih.”
”iya, syukurlah, baik-baik ya. Jangan lupa bunda pesan, hafalan juz ke tiga puluh saat adik lulus nanti.”
Hanya itu yang adik dengar. Akak juga tak mau jawab telpon dari adik. Adik bingung. Kenapa kak? Padahal, adik rindu kalian.
Dua tahun adik lewati tanpa senyum dari bunda dan akak. Adik sedih.
Rasanya semua berbeda, tapi adik mulai terbiasa. Adik duduk di kelas tiga. Adik mulai fokus untuk ujian. Adik mencoba membagi waktu untuk hafalan dan belajarnya. Adik sukses. Adik memang cerdas. Patut bunda bangga dengan semua usaha adik.
Buku jadi teman setianya saat itu. Saat orang asik bercanda, adik sibuk berbisik-bisik dengan bukunya. Sesekali adik memotret langit pesantren, disana cerah, adik yakin suatu hari nanti, hari-hari adik akan indah.
Sejak itu, jarang ada yang melihat adik. Adik jarang keluar dari kamar jika waktu sedang kosong. Adik habiskan untuk belajar dan hafalan, terkadang dibantu ibu.
Adik senang seperti itu. Waktunya tak mubadzir untuk bergunjing seperti orang lain. Adik lebih suka seperti itu, bercanda dengan buku.
Waktu adik sangat bermanfaat.
Untuk refreshing, adik hanya berjalan-jalan menatap langit mencari awan yang ia rindukan. Itu hal yang asik bagi adik. Meski banyak orang beranggap aneh, tapi, adik tak pernah mengambil pusing, ini hidup adik, dan adik berhak punya waktu.
Semua teman adik masih istiqomah membenci adik. Hingga pada akhirnya, masalah timbul dalam keluarga adik, angkatan adik rasanya ditimpa batu. Mereka mencoreng nama baik mereka sendiri, terkecuali adik yang di coreng, dan bukan mencoreng. Sekarang mereka rasakan apa yang dulu adik rasakan, tapi adik, tetap sayangi mereka bak keluarga.
”adik tetap keluarga kalian, adik tetap sayangi kalian. Sekalipun kalian anggap adik sampah. Kalian tetap permata bagi adik. Adik yakin, pasti masalah akan selesai. Sekarang lebih baik kita bangun baik-baik nama kita lagi ya?”
Adik tetap penyayang. Adik menjadi sumber penyemangat di hati kawannya. Adik memang berhati baik. Tak sepatutnya di dua tahun ini adik mendapat hal yang pahit. Mereka sadar. Dan kembali meraih sukses sebagai angkatan terbaik. Semua karena pangku tangan adik. Kami sayangi adik.
Esok ujian bunda, minta do’a dari bunda. Semoga semuanya berjalan lancar ya bunda. Adik ingin yang terbaik untuk bunda.
Berminggu-minggu adik ujian tanpa libur. Usahanya berbuah manis. Adik menunggu hingga akhirnya dinyatakan lulus.
Bunda pasti bangga.
Sebentar lagi acara akhir tahun, pelepasan angkatan adik. Adik harap bunda tepati janji. Dan hadir di sini.
Semua berjalan bagai air. Mengalir tanpa henti, yang pasti akhirnya bermuara ke samudera. Adik yakin, adik sukses di laut lepas nanti.
Malam yang tenang, adik mulai bangun kembali ditengah malam. Adik buka Quran dari bunda. Ini juz terakhir adik bunda. Adik dendangkan lagu ini untuk bunda. Talar adik pada bunda. Bunda yang ajarkan adik berbagai hal, bunda yang ajarkan adik berbaik budi. Terimakasih bunda.
Ta’awudz mulai dibaca adik, basmalah mulai dirangkai adik, dan ayat mulai di dendang adik. Semua lancar. Adik berhamdalah, adik hafidz satu Quran bunda. Adik jadi hafidzah.
Adik menangis, adik terharu. Besok, bunda pasti datang. Gumam adik terdengar.
Bayangan itu datang lagi, begitu elok, dan cantik. Dagu adik dipegangnya, tangan nya dingin, tapi lembut. Wajahnya tetap bercahaya hingga mata adik dan wajah itu saling bertatap.
”Bunda bangga atas lagumu nak, lagu terakhir itu adik dendangkan untuk bunda, bunda sungguh terharu, hati bunda tenang mendengar lagu syahdu adik.”
”bunda, adik rindu bunda. Besok bunda datang?”
”bunda juga rindu sayang, besok bunda datang sebisa bunda. Percayalah, bunda sangat menyayangi mu. Bunda sayang adik, meski bunda sudah jauh sayang. Lihat wajah bunda? Adik yang buat wajah bunda berseri, terimakasih atas lagu terakhir itu sayang. Jangan pernah bosan dendangkan itu untuk bunda. Bunda selalu menyayangimu. Dan bunda yakin, Allah pasti selalu menjaga seorang hafidzah bahkan hingga adik nanti ke liang lahat. Kecup bunda untuk adik.”
Sosok itu kembali mengecup kening adik, hangat yang adik rasa, sungguh nikmat. Kedamaian tiada tara adik rasakan. Mungkinkah itu bunda? Tapi apa maksudnya? Adik tidak mengerti. Mengapa itu lagu terakhir? Bunda kemana? Adik yakin bunda pasti dengar talar adik lagi dirumah nanti.
”bunda” desah adik di tengah malam, bayangan itu mulai hilang, dan adik terlelap di pangkuan sajadahnya.
Adik bangun, ia tak faham dengan semua mimpi itu, rasanya seperti kemarin, nyata. Tapi, itu tidak mungkin.
Acara sebentar lagi dimulai. Adik bersiap dengan toga wisudanya, rasanya adik cantik hari itu. Kerudung putih adik membuat adik nampak cerah.
Paras yang elok, itu yang membuat adik terasa nyaris sempurna bak bidadari. Tak heran, adik sama seperti bunda dan akak.
***
Semua tamu sudah datang, tapi adik tak melihat satupun dari mereka yang mirip akak atau bunda, kemana akak? Kemana bunda? Mungkin mereka terlambat, gumam adik tenangkan diri, bunda pasti datang.
Adik duduk di kursi bersama kawan-kawannya, adik hanya menunduk, adik sedih, tapi wajahnya begitu bercahaya, menenangkan hati insan.
Nama adik dipanggil keatas panggung, perwakilan ucapan terimakasih dari semua-kawannya. Mata adik berkaca-kaca.
Adik berdiri dengan toga dihias jilbab putih nan elok, mulai berkata-kata.
”bismillahirrahmanirrahim..
Alhamdulillah, Indahnya ukhuwah kami dihari kemarin membuat airmata mengikat semuanya. Berat hati angkatkan kaki dari tempat suci ini, sungguh, mengiris hati kami, mencairkan hati kami, nampak sedih serta airmata terurai dari wajah kami. Tapi, syukran walhamdulillah, kami lulus dengan usaha juga bantuan bimbingan dari asatidz kami tercinta, yang telah berbesar hati mengajari bodoh kami, yang telah berbesar hati meluruskan bengkok kami, kami ucap, jazakumullah khairan. Besok kami mulai arungi laut lepas, yang mungkin akan kami lalui dengan sampan sendirian, tapi inilah waktu. Yang memaksa kami untuk terus berlayar. Kawan yang sungguh menawan takkan saya temui lagi. Mungkin sangat sulit untuk berlayar sendirian. Tapi kami yakinkan, ukhuwah kami tidak akan pernah mati. Kami satu keluarga. Kami punya ayah dan ibu disini. berjuang bersama tentulah ittu yang insyaallah akan kami rangkai nanti. Sekalipun kami berjuang di bumi yang berbeda, hati kami tetap satu, ingatan kami tetap satu.”. adik mulai meneteskan airmata, adik lihat akak berdiri di belakang tanpa bunda.
Wajah adik tertunduk. Dan mulai menyambung kata-kata.
”Ada yang ingin saya ucapkan, atas nama Zahra Khairunnisa Al-Humaira teruntuk bunda Husna di bumi Allah, yang tak saya lihat wajah cantiknya disini. Bunda, terimakasih untuk sayang bunda selama ini pada Zahra, tiga tahun berlalu saya tidak pernah melihat bunda lagi, mendengar suaranya pun saya tidak pernah lagi. Mendung di hati saya selama itu tak pernah merasakan hadirnya bunda lagi, belum terobati meski dihari ini. Bunda pernah janji, dia hadir saat kelulusan saya. Bunda kata, bunda ingin lihat saya tersenyum di hari kelulusan saya. Bunda ingin dengar lagu terakhir dari saya, sempurnanya saya bagi bunda, persembahkan juz ke tiga puluh terakhir. Saya tak pernah berhenti berharap, menunggu bunda datang disetiap kali perpulangan, menunggu jemputan bunda yang tak kunjung datang, saya tidak pernah mengeluh meski harus menunggu hingga sore untuk pastikan setianya saya menjaga hati bunda. Juga hadirnya bunda di hari ini, itu sangat saya harapkan, tapi dalam kenyataan bunda hilang, bunda tak ada. Saya tidak pernah mengerti. Tapi, satu pengakuan dari saya, hidup dan tumbuh dengan kasih sayang bunda saja, dan tanpa pernah merasakan kasih ayah, itu sudah luar biasa lebih dari kata cukup untuk saya. Dengan bunda yang sholehah, akak yang rendah hati, saya tetap rasakan kesempurnaan. Saya bangga memiliki bunda. Dan saya tidak pernah kecewa, meski bunda nampak tak hadir disini. karena saya yakin bunda akan sambut saya di rumah nanti. Terimakasih untuk semuanya. Adik akan tetap sayangi bunda meski terhalang samudera, meski terhalang tumpukan gunung, dan meski terhalang waktu yang terhenti. Karena Allah, akan tetap menjaga hati adik, dekat dengan bunda Husna tercinta.”
Airmata adik terurai. Pipi adik basah, bunda.
Adik menangis, dan akak terdiam di ujung sana tanpa sepatah kata. Tanpa sadar akak juga meneteskan airmata. Sedih hati akak mengingat kenyataan.
Sebuah persembahan dari adik dan kawannya saat itu, adalah bernyanyi untuk para bunda. Beberapa bait adik dendangkan, justru membuat adik tak kuasa menahan air matanya.
Adik ingat satu persatu kata dari bait itu, semua ingatan dengan bunda. Adik pernah dendangkan lagu itu di hadapan bunda saat bunda jatuh dalam kesedihan.
Dan lagu dari Shoutul Haq itu, rasanya menjadi lagu pertama dan terakhir dari adik untuk bunda.
Bila ku ingat..
Masa kecilku..
Ku selalu menyusahkan mu..
Bila ku ingat..
Masa kanakku..
Ku selalu mengecewakanmu..
Banyak sekali pengorbananmu..
Yang kau berikan padaku..
Tanpa letih dan tanpa pamrih..
Kau berikan semua itu..
Engkaulah..
Yang ku kasihi..
Engkaulah..
Yang ku rindu..
Ku harap selalu do’amu..
Dari dirimu..
YA IBU..
Tanpa do’amu takkan ku raih..
Tanpa do’amu takkan ku capai..
Segala cita yang ku inginkan..
Dari diriku..
YA IBU...
Itu yang adik dendangkan untuk bunda. ”Bunda, adik rindu. Datanglah” rayuan adik dalam hati, tetap tak merubah semuanya.
***
Adik pulang dijemput akak dan kak Labib. Adik sudah tak sabar ingin peluk bunda, tapi wajah akak, nampak tak seceria adik.
Adik buka pintu rumah. Suara salam adik terdengar nyaring ke semua sudut ruangan. Tapi kenapa begitu sepi? Taka ada jawaban. Padahal adik rasa suara adik keras. Adik cari bunda ke kamar, tapi, tak ada seorangpun yang terbaring dikamar bunda. Adik cari ke dapur, tapi, tak ada seorangpun yang memasak untuk adik. Adik cari bunda ke kamar mandi, tapi, tak ada seorangpun yang sedang mandi atau berwudhu disana.
Adik mulai tak mengerti lagi. Kemana bunda?
”akak, bunda mana? Kenapa tadi kita tidak jemput bunda di rumah tante? Siapa tahu bunda menunggu disana. Akak?”
Adik bertanya dengan nada rendah, mencoba menepis firasatnya. Akak malah diam. Tak sepatah katapun akak ucap sejak di jalan tadi. Hanya kata ”Tahniah” yang adik dengar dari akak di pesantren.
”Dik..” panggil akak dalam tundukan wajah.
”Bunda sudah meninggal sebulan lalu sayang. Bunda sakit”
Penjelasan akak rasanya sebuah batu besar yang hantam hati adik. Kaki adik lemas serasa lumpuh. Mata adik memandang kosong. Hampa yang dirasa. Hati adik sakit. Adik sangat terpukul. Bagaimana adik tidak sedih? Bunda yang adik tunggu selama ini, hilang tanpa kabar ternyata sudah meninggal.
Kenapa akak? Kenapa akak tidak jujur sedari dulu? Adik ingin lihat bunda yang terakhir kalinya. Meski memang pahit, setidaknya adik bisa mandikan dan kafani bunda untuk persembahan yang terakhir kalinya.
Adik lari keluar menjauh dari akak. Adik cari makam bunda sendiri, tanpa bertanya pada akak.
Hujan mulai turun dengan lebat di bumi adik. Adik hiraukan semua itu, adik tetap berlari mencari nisan bernama Husna Al-Humaira, bunda adik tercinta.
Adik jatuh di depan sebuah tumpukan tanah dengan nisan kayu bertuliskan nama bunda. Adik basah di guyur hujan. Sementara itu, tetesan air mata adik bersembunyi di tengah guyuran hujan yang menimpa wajah adik.
Adik terdiam. Adik menyesal. Kenapa bukan adik yang dulu menjaga bunda? Adik belum sempat tunjukkan bakti kepada bunda.
Hujan mulai reda, adik masih terdiam disana. Akak datang.
”Maafkan akak, adik.”. adik hanya mengangguk tanpa kata. Adik dibantu akak berjalan menjauh dari makam bunda. Lembayung merah mulai nampak hiasi ufuk barat. Adik rasanya bisu, tak dapat ucap satu kata pun.
Akak tinggalkan adik sendiri dikamar bunda.
sAdik tatap dengan baik wajah bunda dalam lukisan, ”itu bunda” ucap adik.
Akak coba hibur adik, akak ajak adik berjalan-jalan, akak tanya apa yang adik mau, akak belikan apa yang adik mau, tapi adik hanya diam dan tersenyum menjawab akak.
”adik tidak butuh semua itu akak. Adik hanya butuh renungan.”
Hening rasanya. Semalaman adik gunakan bermuhasabah.
Dan ternyata, ini hadiah dari Allah untuk kelulusan adik, agar adik tidak terlena dalam bangga diri. Adik faham.
Adik lantunkan hafalan untuk bunda. Berharap bunda dengar hafalnya adik.
Fajar mulai nampak, akak datang hampiri adik yang duduk memegang Quran dari bunda.
”ini dari bunda sayang, bunda ingin adik baca ini”
Adik diam memandang sepucuk surat yang akak sodorkan. Adik ambil, dan adik buka surat bunda.
Teruntuk :
Ananda tercinta, bidadari kecil bunda..
Zahra Khairunnisa Al-Humaira
Bismillah..
Assalammu’alaikum warahmatullah..
Ananda bunda tercinta, pasti sekarang sudah dewasa, sudah lulus dari pesantren, dan bunda bangga nak. Maaf kan bunda yang sering membuatmu kecewa, bunda hanya ingin menjaga hati adik. Bunda tidak ingin adik sedih melihat kondisi bunda yang terbaring lemah saat ini. Bila waktu bunda memang hanya sampai disini, bunda minta maaf sayang, saat kehadiranmu untuk pulang, justru menerima kabar yang tidak bahagia. Kabar jika bunda sudah tiada.
Saat adik berangkat, bunda di vonis kanker stadium akhir. Bunda tahu, mungkin semua ini karena Allah sayang bunda. Setiap adik telpon bunda, bukan bunda tak ingin menjawabnya, bunda hanya tak ingin adik dengar bunda menangis, karena setiap bunda dengar suara adik, membuat bunda semakin ingat, jika bunda takkan pernah dengar suara adik lagi. Bunda sengaja melarang adik pulang, bukan karena tidak boleh sayang, bunda juga rindu. Tapi bunda hanya ingin adik terbiasa tanpa bunda. Agar adik bisa hidup meski tahu bunda sudah tiada.
Bunda tidak ingin adik menangis. Bunda tahu adik kuat.
Sekarang, hafalan adik, bunda yakin sudah lancar, bunda yakin harapan bunda terkabul, adik jadi hafidzah yang akan terangi wajah bunda, yang akan buat bunda duduk terhormat dikursi tinggi disamping Rasulullah. Bunda yakin. Nanti ketika bunda sudah tiada, Hafalan-hafalan adik yang akan terangi kubur bunda.
Bunda bangga sama adik. Tolong dijaga ya sayang. Bunda dengar lagu terakhir adik malam nanti saat adik hafal juz ke tiga puluh, bunda janji bunda akan kecup adik saat itu.
Maaf ya sayang, bunda tak bisa beri apa-apa terkecuali hafalan mu. Bunda harap, adik jadi anak yang tegar.
Dan bunda yakin, nanti bunda, dan ayah pasti bersama lagi.
Bunda dan ayah pasti akan tunggu adik, juga akak di syurga.
Do’a tulus adik itu sangat berharga bagi bunda, sayang.
Ucapkan selalu kata-kata indah untuk bunda.
Kecup dan sayang bunda selamanya untuk adik dan akak..
Tetap berjuang, sayang..
Ibunda yang adik cinta
Husna Al-Humaira
Selesai membaca, adik hanya tersenyum, adik tidak ingin bunda lihat adik menangis. Adik yakin bunda bahagia disana.
Meski saat bunda hantar adik ke pesantren, dan kecup bunda di hafalan terakhir adik itu adalah kecup terakhir bunda, tak apa. Adik bahagia bunda sudah jadi bunda adik tercinta.
🙃😑
ReplyDelete