pagi itu ku bawa kakiku berlari tinggalkan pintu rumah. Sesekali ku lihat jam putih ditangan ku, matahari nampak silau di ujung kaca yang merapat di wajahku. Aku memang berkaca mata sejak Tsanawiyyah dulu, tepatnya, tiga tahun yang lalu. Aku selalu menilai diriku, cukup, sederhana dengan gaya khas yang anggun aku selalu percaya diri dengan apa yang ada pada diriku, atau apa yang terlihat dari diriku. Cukup manis. Banyak orang yang berkata seperti itu. Tapi bagi ibu ku, tentulah aku bidadari di hidupnya.
Tak lama, sekitar dua puluh menit aku berjalan, tibalah aku di tempat yang ku tuju. Seminar. Aku sudah ditunggu lima menit lebih awal oleh kedua teman ku, ya, kami bersahabat memang sudah lama, sejak dari Sekolah Dasar, hingga usia kami yang sudah mulai dewasa, kami selalu bersama. Aku, Rima, dan Syahra. Kami cukup terkenal di sekolah, mungkin, karena keahlian kami di bidang musik, membuat kami sering tampil di berbagai acara, termasuk tampil untuk acara-acara sekolah. Dan semua itu, kami lakukan dengan ikhlas.
Segera ku siapkan kawan setiaku, tempat aku mencurahkan semua kepenatan hidup, waktu yang bisa ku raih untuk sekedar mencari ketenangan, alat musik itu sungguh membuatku jatuh hati. Ya, tentu saja itu biola yang selalu ku pakai mengisi waktu.
Saat itu, kami diminta untuk menjadi pembuka di acara itu, dengan bangga tentu kami terima. Kami mulai mempersiapkan diri diatas panggung kecil yang tersusun dari kumpulan meja-meja kelas, memang sederhana, tapi, kurasa, bahagia itu juga sederhana, dan tak serumit orang yang merumitkan dirinya untuk hidup.
Penampilan kami selesai, aku turun dari panggung dan sengaja pergi ke belakang panggung untuk sekedar menyiapkan buku dan pulpen untuk berperan sebagai moderator sebentar lagi.
Acara akan segera di mulai, aku kembali duduk diatas panggung menunggu sang pemateri yang belum nampak muncul. Lima menit berlalu, sesosok ikhwan nampak turun dari motor, helm belum sempat dilepasnya, kuperhatikan, rasanya dia asing. Terlihat sungguh sederhana namun bersahaja. Seseorang mulai berjalan menuju panggung dengan wajah tertunduk, aku masih belum dapat melihat wajah nya dengan jelas. Perlahan kepalanya terangkat menatap lurus kedepan, ya Rabb, jadi ini yang tadi turun dari motor? subhanallah, tanpa pikir panjang, cepat-cepat ku alihkan pandanganku ke arah penonton.
Acara segera ku buka, perkenalanpun dimulai, kebetulan, aku yang berusaha memperkenalkan dirinya secara singkat, yang kemudian di lanjutkannya. Namanya Khaerul, seorang motivator muda yang baru menganyam semester empat di sebuah universitas daerah Bandung, makin terkagumnya aku, tahu sebegitu cerdasnya dia, sebegitu sederhananya dia. Membuat hati ini setidaknya tergetar mendecak kagum pada pribadinya.
Acara selesai. Tak lama, hanya sekitar empat jam seminar dilaksanakan.
Dibelakang panggung, sempat aku bertanya sedikit tentangnya dan kuliahnya. ”Kang!” seru ku sambil menghampirinya. Aku memang terbiasa dengan nama panggilan akang untuk memanggil orang yang kuanggap memang berumur lebih tua dariku. Dia memutarkan langkah nya dan berdiam sejenak, ”iya? Ada apa dik?”, begitu syahdu suaranya terdengar di telingaku. ”kang, maaf, ingin tanya sedikit tentang kuliahnya, bisa?” ucapku. ”oh, tentu, bisa. Jadi begini..” obrolan itu terjadi tidak lama, hanya lima belas menit, mengingat kang Khaerul yang sedang sibuk dipenuhi panggilan. ”ini nomor telpon akang, nanti, kalau perlu sosialisasi dari universitas tempat akang kuliah, telpon atau sms saja ya?” dia sodorkan secarik kertas ke arah ku. Aku mengambilnya, dan hanya mengangguk seraya tersenyum. ”akang pamit. assalammu’alaikum” senyumnya terlontar kearah ku. ”wa’alaikumussalam” jawabku. Entah ini rasa apa, cukup yang aku dapat di hari ini membuatku tenang.
Aku tidak langsung pulang kerumah, sengaja ingin mengantar Rima dan Syahra pulang kerumahnya, aku khawatir, sudah sore dan mereka harus pulang sendiri, jika aku, memang sudah terbiasa pulang meski harus berjalan kaki mengukir langkah. Sampai dirumah Syahra, segera aku antar Rima pulang, sampainya disana, ku rebahkan sebentar badanku yang penat diatas kasur empuk Rima, dia hanya memandangku sambil tertawa kecil. ”bagaimana pendapatmu tentang kang khaerul? Tampan bukan? Selain itu, cerdas pula.”, aku terdiam, aku kaget, apa rima tahu yang ada difikiranku? Sejak kapan rima bisa membaca fikiran ku?, ”ah, apa maksudmu ini rim?” jawabku sebari diselang candaan kecil. ”dia tampan bukan?” selidiknya lagi, ”iya Rima.. dia tampan” jawaban ku sedikit ku pelankan sambil ku alihkan pandangan ku keluar jendela. ”dia pandai bukan?” selidiknya lagi, ”iya Rima, dia juga pandai, aku sempat mengobrol dengannya tadi, dan menyimak semua ucapannya, rasanya dia cerdas”.
”kau suka?” tanyanya padaku. Aku hanya tersenyum menjawabnya. ”kau tahu Salma? Dia kakak ku.” jelas Rima padaku. Segera aku meliriknya, ”hah?!” aku tak percaya. Sungguh tak percaya, tak ku duga, ternyata aku berbicara dengan adiknya? Bertahun-tahun aku bersahabat dengan Rima, tapi tak pernah aku tahu tentang kang Khaerul? Aku malu, sungguh, pipiku memerah seketika, Rima hanya tertawa menatapku. Aku langsung pamit, dan pulang ke rumah.
Jarum panjang menunjuk angka delapan, ternyata, aku pulang terlalu larut. Aku segera membersihkan badan dan merebahkan badan ku diatas kasur, ku ambil handphone yang tergeletak di samping ku, sambil ku keluarkan kertas dari saku ku. Aku ragu, bolehkah aku mengiriminya pesan? Aku takut, yang kulakukan itu salah. Tapi, setidaknya untuk menjaga silaturahim. Pikirku. Segera ku ketik pesan yang muncul di layar handphone ku.
Bismillah..
Kang, ini saya, Salma yang tadi siang. Hanya sekedar mempererat silaturrahim, terimakasih.
Jariku melompat dari tombol ke tombol, dan ku kirim dengan segera. Aku tunggu balasannya.
Lima menit, sepuluh menit berselang, jawaban darinya tak kunjung datang, ku pikir, mungkin sedang sibuk. Saat mataku mulai merapat, grrrgg.. grrgg.., getar dari handphone ku terdengar cukup nyaring. Sebuah pesan masuk. Dan tak ku duga, itu dari kang Khaerul. Kubaca..
Oh, iya dik. Maaf sms nya baru bisa akang balas, baru sampai.
Ku tulis kembali balasan yang akan ku kirim,
Tidak apa-apa kang, kalau begitu silahkan dilanjutkan istirahat, maaf mengganggu.
Tak ku dapati lagi sms dari kang khaerul, mungkin dia sudah tidur. Segera ku matikan lampu dan memejamkan mata.
Sebagai siswa akhir tahun, tentu, ini masa-masa yang paling menyenangkan, saat mengukir sejarah bersama di
Seperti biasa, aku bersama Rima dan Syahra duduk di bangku belakang untuk bersenda gurau, ”Sal, kang khaerul itu, kakak angkat ku, dia memang lima tahun ini tidak tinggal serumah dengan ku, lulus dari pondok pesantren, dia tinggal di rumah kost daerah tempat kuliahnya, jadi wajar kau tak mengenalnya.” tiba-tiba saja Rima berkata seperti itu, padahal, sebelumnya tak ada sedikitpun yang menyinggung tentang kemarin. Aku tersenyum kecil membalasnya. Aku hanya kagum dengan pribadinya saja Rima.
Bisik hati dalam gumam ku.
Pulang sekolah, sambil mengerjakan tugas kelompok, aku pergi ke rumah Rima, dan ternyata, disana juga ada kang khaerul, sedang menjenguk ibu katanya.
”Kang” sapa ku sambil tersenyum. Dia hanya mengangguk dan tersenyum kecil.
Aku, Syahra juga Rima duduk diruang depan sambil mengerjakan tugas, aku tahu, aku tidak terlalu ahli di bidang sains, Syahra dan Rima pun sama. Beruntunglah, kang Khaerul pandai, layaknya guru kami, kami dibimbingnya.
”Kang, ini Salma.” ucap Rima pada kang Khaerul. ”iya, akang tahu dik.” jawabnya singkat. Rima hanya tertawa kecil, entah apa maksudnya aku tak mengerti.
Semakin hari, rasanya semakin sering aku berjumpa dengan kang Khaerul, Ya Allah, ampuni hamba. Jagalah perasaan ini.
Aku mulai menyimpan rasa yang tak bisa ku kisahkan. Aku semakin takut, jika dosa yang akan aku dapat. Ya Rabb, maafkan hamba.
Pukul 02.00 pagi aku dibangunkan getar handphone yang ku simpan di atas meja, suaranya memang nyaring, hingga aku terbangun. Kubuka, satu pesan masuk lagi. Kubaca,
Dik? Bagaimana tahajudnya?
Astaghfirullah aku lupa. Segera ku ambil air wudhu dan kulanjutkan bertahajjud. Kata-kata do’a terlontar di tengah sujud panjangku,
Ya rahman.. Ya rahiim..
Dosakah hamba menyimpan semua perasaan ini? Hamba tahu, tak sepatutnya hamba melupakanMu. Hamba takut, dengan munculnya rasa ini, akan mengurangi rasa cinta hamba kepada Mu, Ya Rabb, tuntunlah hati hamba, bimbinglah perasaan ini agar tak selamanya menguasai diri. Hamba serahkan semua rasa ini pada Mu ya rabb. Kau yang menitipkan rasa ini, dan hamba kembalikan semuanya kepada M. Atas cinta kasih Mu, hamba mencintainya. Berikanlah kecintaan yang tertera atas nama Mu. Dengan dasar yang terpatri Karena Mu.
Amien.
Aku tengah mempersiapkan diri sebelum besok ujian. Aku tahu kemampuanku, dan aku hanya mencoba menitipkan ilmu yang kupunya pada Rabb ku. Dan itu selalu sangat membantu.
Aku dan kang Khaerul sudah jarang berkomunikasi lagi, mengingat aku yang sedang sibuk, mungkin kang Khaerul dapat memahamiku.
Sebelum aku berangkat, getar handphone membuat langkahku kembali masuk ke dalam kamar, ku lihat, dari kang Khaerul.
Bismillah..
Sukses untuk ujiannya, semoga Allah meridhoi apa yang kau tempuh, karena yakin, Allah selalu bersamamu.
Good luck dik..
Iya, terimakasih kang.
Hanya itu yang aku jawab. Aku pamit dan minta do’a dari ibu, berharap semua kilauan dapat ku kantungi.
Aku pergi, dengan Bismillah, aku mulai arungi masa ujian.
Berminggu-minggu aku ada ditengah-tengah soal ujian, dengan sesekali libur untuk istirahat, namun tak semudah itu ku pakai waktu untuk istirahat. Ku lihat selebaran yang menempel di tembok pagar rumahku, aku kira seseorang mungkin sedang bermaksud mengundangku, saat ku baca lebih lama, ternyata nama kang Khaerul yang tertera disana, ya Rabb, amat sibuknya dia.
Pukul tujuh pagi, dan aku tidak yakin bisa datang tepat waktu, jika jarak yang ku tempuh saja lumayan jauh, setelah aku berjalan seperti biasa, aku harus naik angkutan umum lagi.
Aku sengaja bangun lebih awal dari biasanya, ku bersihkan diri, lalu kupakai gamis berwarna hijau muda dipadu kerudung lebar hijauku, rapi. Dan terakhir, kuletakan kacamata ku diposisi biasa.
”Bu, Salma berangkat, Assalammu’alaikum” ucapku pamit dan tinggalkan ibu. ”wa’alaikumussalam” jawabnya.
Saat kakiku melangkah di pinggir jalan, sebuah mobil terlihat berhenti disampingku. Dan menurunkan kaca mobilnya.
”dik Salma, mau saya antar? Kebetulan, saya juga tidak sendiri, ada ibu saya. Mari?” senyumnya terlontar kearahku.
Ternyata kang Farid, kami pernah satu sekolah saat Tsanawiyyah dulu, tapi dia kakak kelasku. Meskipun rumah kami dekat, akupun tidak pernah berbicara banyak atau bertemu dengannya, karena dia juga sama seperti kang Khaerul, mungkin sibuk kuliah.
”nak salma, mari. Farid tidak sendiri. Sini, duduk disamping ibu” rayu bu Nina pada ku. Aku hanya tersenyum.
”terimakasih bu.” sambil ku naikkan kakiku masuk kedalam mobil. Kang Farid memang berkecukupan, dia sudah punya mobil sendiri di masa kuliahnya.
”mau kemana nak?” tanya ibunya, ”ke acara seminar bu” jawabku seraya senyum ku arahkan padanya.
”kalau tidak salah Khaerul pematerinya kan?” seling kang Farid ditengah percakapanku dengan ibunya, ”oh, iya kang, kenapa kang Farid bisa tahu?” selidikku penasaran. ”dia sahabatku dik, kami sekampus. Dia memang cerdas, banyak akhwat yang mengidolakannya, tapi dia bilang, dia hanya ingin menanti jodohnya nanti, hebat” jawab kang Farid seraya tertawa kecil, dilanjut ibu yang ikut tersenyum.
”nah, sudah sampai dik, titipkan salam dariku untuk Khaerul ya? Kang Farid tak bisa ikut seminar, ada acara yang tak bisa akang tinggal dikampus.” aku hanya mengangguk sambil tersenyum, ”iya kang, insyaallah salma sampaikan. Jazakumullah khairan kang”. Mobil itu nampak menjauh dari pandanganku, kulangkahkan kaki masuk ke area seminar. Alhamdulillah, aku datang tidak begitu tertinggal.
Kurasa, Syahra dan Rima tak bisa ikut, mereka sibuk. Ada acara keluarga. Anehnya, kenapa mereka berbarengan? Sudahlah, tak apa. Aku terbiasa pergi sendiri. Ku isi daftar tamu didepan, dilanjut mencari kursi kosong . kebetulan, tak terlalu belakang. Masih cukup untuk bisa memperhatikan seminar dengan baik. Acara dimulai, ada kang Khaerul disana, wajar, karena dia pematerinya. Dia memang piawai, cerdas.
Selesai acara, kebetulan ada bazar kerudung disana. Aku sengaja memilih-milih beberapa kerudung untuk ku hadiahkan sebagai oleh-oleh ibu, Rima dan Syahra, juga satu untukku, kebetulan juga, tabunganku cukup. Mungkin ada potongan harga untuk pelajar. Kupilih empat kerudung berwarna coklat untuk ibu, biru muda untuk Syahra, ungu muda untuk Rima, dan Hijau muda untukku. Saat ku keluarkan uang dari dompet, penjaga stan menolaknya, ”sudah Teh, tidak perlu membayar, kebetulan tadi ada orang yang berpesan, gratis untuk teteh.” aku heran, siapa yang membayar kerudung ini? ”kalau begitu, saya tidak jadi beli teh.” sambil ku sodorkan kerudung itu, ”eh teh, tidak apa-apa, katanya ini untuk teteh. Terima saja.”. Dengan heran, aku terima saja kerudung itu, mungkin rezeki untukku, ”terimakasih teh, jazakumullah khairan, sampaikan rasa terimakasih saya pada orang itu. Assalammu’alaikum” ucapku sambil tersenyum lalu pergi untuk pulang. Tiba-tiba kang khaerul memanggil namaku. ”dik Salma!” aku berhenti sejenak. ”mau pulang? Ada rencana ke rumah Rima?” tanyanya padaku. ”insyaallah kang, salma ingin memberi ini untuk oleh-oleh, Rima tidak bisa ikut.” jawab ku, ”titip pesan untuk ibu, akang tidak bisa kesana sore ini, ada janji menyelesaikan tugas kuliah.” jelasnya, ”oh iya kang insyaallah, tadi juga ada salam dari kang Farid untuk kang Khaerul” ucapku, ”kapan dik salma bertemu?”, ”tadi pagi saat salma berangkat, kang. Salma pamit ya, takut terlalu malam sampai ke rumah. assalammu’alaikum.” jelasku sambil menutup pembicaraan.
”iya, wa’alaikumussalam, terimakasih dik.” jawabnya. Aku hanya tersenyum dan berjalan menjauh.
Sengaja ku padatkan, dan ku persingkat pembicaraan itu.
Sampai dirumah Rima, ku berikan kerudung untuknya, sambil kutitipkan kerudung untuk syahra pada Rima, dan menyampaikan pesan dari kang Khaerul. Aku segerakan pulang, karena hari mulai mendung. Aku berpamitan dan pulang berjalan kaki dari rumah Rima.
Mobil kembali berhenti disampingku. Kulihat, itu seperti mobil kang Farid tadi. Dan benar saja, kang Farid menawari ku lagi. ”salma, pulang? Mari? Kita kan searah? Sudah mulai hujan pula.” , bu Nani hanya tersenyum dan membukakan pintu. Aku masuk, sebenarnya aku malu, sejak kapan aku berani menerima tawaran ikhwan? Ini kali pertama aku seperti ini, dan semua hanya karena ada ibu nya, asalkan tidak hanya ada aku dan kang farid, dan hujan, menjadi alasan aku menerima tawarannya lagi.
”terimakasih bu, rasanya tidak enak, sudah tadi pagi diantar, sekarang saya harus merepotkan lagi.” ucapku seraya kupandang wajah bu Nani. ”tidak apa-apa nak, lagi pula ibu khawatir melihat akhwat berjalan sendiri sedangkan hari mulai gelap.” jawabnya. ”dik salma memang sudah terbiasa berjalan kaki ummi. Pulang malampun kadang dia berjalan kaki. Kan tidak ada angkutan yang lewat sini ummi. Sepedanya kalau tidak salah rusak tiga bulan yang lalu. Iya kan dik?” ujar kang Farid. Aku bingung, dari mana kang Farid tahu sedetail itu tentang aku? Bahkan selama ini, aku jarang melihatnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. pembicaraan terhenti seketika, suasana hening, kulihat jam di tangan ku, sudah pukul tujuh malam ternyata. Kang Farid memarkirkan mobil di depan pagar rumah ku. ”terimakasih bu, kang. Salma pamit, assalammu’alaikum.” aku turun dari mobil dan pergi masuk rumah.
Aku masuk kedalam kamar, ternyata ada pesan masuk di handphone ku yang tertinggal di atas kasur.
Dari kang khaerul lagi.
Bismillah.
Dik, kerudungnya semoga bermanfaat. Salam untuk ibu mu.
Singkat sms dari kang khaerul, astagfirullah, tadi aku bertemu dengannya tapi aku lurus saja. Aku sadar apa salahku. Aku tak mengucapkan terimakasih.
Segera ku balas pesannya,
Astagfirullah kang, maaf, salma tidak tahu. Tadi hp salma tertinggal. Jazakumullah khairan kang.
Tak sampai lima menit, balasan dari kang Khaerul sampai.
Iya, tidak apa-apa dik. Amiin.
Selama kami saling berkomunikasi, rasanya hanya pesan singkat yang selalu kami kirim. Tak pernah kudapati pesan yang lebih atau yang membuatku tahu akan perasaan kang Khaerul padaku.
Perasaanku selalu ku sembunyikan darinya. Karena aku tahu, terlalu banyak akhwat yang mengidolakannya. Dan kurasa, cukup Allah yang tahu semua tentang diriku dan perasaanku.
Aku buka buku harianku, buku berwarna hijau muda berjilid polos. Kusadari, aku memang sudah dewasa, tapi, apa salahnya memiliki buku pribadi?
Aku tulis tepat di hari ini.
15 Februari 2003
Bismillah.
Cahaya fajar rasanya nampak indah di hari ini. Mengukir hari dengan perasaan yang tak terbayangkan, sungguh dapat kurasakan dihari ini. Pesan singkat, tak pernah ku keluh, aku bersyukur atas semua penjagaan hatiku. Aku masih bisa mengontrol semua perasaanku, dan mengomando hatiku. Terimakasih ya Rabb. Jika boleh dan Kau mengizinkan, aku titipkan dirinya, untuk diriku di suatu hari nanti.
Khaerul al-Ghifari
Ku pejamkan mata dengan buku harian disampingku. Aku terlelap dan bangun sekitar pukul empat. Aku segera membereskan diri dan bersiap pergi berjuang kembali di lembar soal ujian.
Tak seperti biasa, kang Khaerul tak mengirimiku pesan sesingkat apapun di pagi itu.
Ku pastikan hingga lima kali menatap handphone, tapi tetap tak ada, sudahlah, aku takut penantian ini hanya sia-sia.
Ujian selesai, hanya tinggal menunggu hasil kelulusan saja. Selagi menunggu, aku sengaja mencari informasi tentang Universitas terbaik dengan beasiswa dalam beberapa hari.
Ku rasa, kami butuh sosialisasi sedikit.
Aku telpon kang Khaerul untuk memintanya mengisi kelas.
Kebetulan, dia sedang libur kuliah. Beberapa jam, kang Khaerul tiba dan mengisi kelas. Mulai sosialisasi dari kang Khaerul, rasanya hampir semua akhwat memperhatikannya sangat fokus. Padahal jarang sekali kelas kami sebegitu heningnya ketika menyimak sesuatu, biasanya ada saja yang mengobrol dan berbisik. Tapi sekarang suasana nampak nyaman. Sementara itu, Rima hanya tertawa kecil melihat semuanya.
Aku rasa, akan banyak akhwat yang mendaftar kesana.
Kang Kaerul, aku tahu, kau belumlah halal bagiku, bahkan dengan membayangkanmu itu sebuah kesalahan. Tapi, bolehkah aku menyimpan harapan ini? Aku tak pernah berharap banyak darimu, cukup dengan aku mengenalmu. Aku sudah merasa menjadi akhwat yang sempurna. Dengan sempurnanya pribadimu. Meski aku tak tahu adakah balasan darimu, atau hanya hampa yang ku dapat.
Aku melamun memandang keluar kelas dari jendela, tak sadar, air mata berada di ujung helai bulu mataku. Aku segera mengusapnya, dan tak melirik sedikitpun ke arah kang Khaerul, aku takut semua perasaan ini bertambah. Aku hanya ingin menjaga hatiku dan diam menatap dunia dari jendela.
Ketika selesai, semua keluar dari ruangan. Aku yang sedang duduk di teras depan dengan Syahra dan Rima, dihampiri kang Khaerul. ”dik salma, terimakasih ya?” ucapnya. ”oh iya kang, sama-sama.” jawabku singkat. Rima hanya tersenyum menatap kang Khaerul. ”Apa dik?” tanya nya pada Rima. ”tidak.” jawab Rima di selang tawanya.
Saat pulang sekolah, kulihat mobil kang Farid melintas di sampingku, mobil itu nampak berhenti dan kembali mundur mendekat. ”dik Salma, mau akang antar? Nampaknya adik lelah?” tanyanya. ”oh, tidak kang terimakasih, salma berjalan kaki saja. Lagi pula sudah dekat kan kang?” jawabku menolak sambil tersenyum. aku tak kuasa bila harus terus merepotkan keluarganya. Lagi pula hanya ada kang Farid disana. Aku hanya ingin menjaga agar tak timbul khabar yang akan menyinggung perasaan ibu, ku tolak ajakannya.
”baiklah, hati-hati di jalan dik. Siapa tahu tersandung batu.” jawabya dengan candaan. Aku hanya tertawa kecil menjawabnya. ”assalammu’alaikum” lanjutnya, ”wa’allaikumussalam” jawabku.
Disepanjang jalan aku teringat kang Khaerul dan kang Farid. Mereka berdua amat baik. Bahagialah para bidadari calon pendamping mereka kelak. Aku tersenyum kecil dan melanjutkan perjalanan.
Kelulusan sebentar lagi diumumkan. Aku tahu, pasti tidak akan ada yang tidak lulus, karena usaha kami yang dapat dibilang sangat serius. Dan akhirnya, Takdir Allah pula yang menjawab. Kami lulus.
Aku, Rima, dan Syahra masuk universitas yang sama. Sekampus dengan kang Khaerul itu amat sangat menekanku. Ujian itu rasanya lebih kutakuti dibandingkan ujian nasional yang sudah ku lalui.
Hati ku harus lebih ku jaga dari sebelumnya.
”Sal, ini dari kang Khaerul” ucap rima sambil menyodorkan sebuah bros berwarna hijau muda padaku. ”kenapa?” tanyaku. ”entahlah, ini.” ku ambil dan ku ucap terimakasih.
Hampir setiap hari kupakai pemberian kang Khaerul. Untuk bentuk penghargaan ku pada pemberi.
Sejak aku dan kang Khaerul sekampus, kami semakin jarang berkomunikasi. Aku sadar, betapa sibuknya kang Khaerul.
Saat ku lihat kang Khaerul sedang berdiskusi dengan akhwat lain, meski aku tahu itu hanya sebuah diskusi, tapi hatiku rasanya aneh. Sakit sekali rasanya. Ini rasa sakit pertama kali yang aku rasakan. Apa karena aku menyukainya? Segera ku tepis rasa itu, dan segera ku tinggalkan mereka menjauh. Ku tenangkan diri di taman dekat parkiran. Angin sejuk sungguh membelaiku. Sampai suara ikhwan terdengar memanggil nama ku. ”dik Salma!” seru nya. Saat kulihat, ternyata itu kang Farid. Ku dengar dia jadi ketua pagelaran pentas seni tahun ini.
”iya kang? Ada apa?” tanya ku. ”akang hanya ingin mengundangmu menjadi pengisi pensi nanti, mungkin ada beberapa lagu yang akan adik mainkan. Nanti biola adik mengiringi seorang penyanyi, ikhwan pengisi pensi juga. Bisa?” jelasnya padaku. ”insyaallah kang, salma usahakan.” jawabku, setelah pembicaraan, kang Farid berjalan meninggalkan ku dan menghampiri kang Khaerul.
Astaghfirullah, ya Rabb. Tak pernah aku bermaksud membawa raga ini ke tempat yang tak kau ridhai. Rasa sakit ini tak patut aku berikan. Siapalah aku? Tak kusadari, menyimpan semua ini tak mudah. Dan hanya khayal yang tercipta. Bantulah aku sabar menerima setiap ketetapan Mu. Jagalah hatiku.
Aku pulang dengan penatnya hati, entah. Rasanya hatiku sangat lelah hari ini. Ya Rabb. Ampuni aku.
Besok malam acara pensi, aku harap, tak terjadi apapun. Berbesar hatilah aku. Aku harus belajar untuk menyerahkan semua urusan hati pada-Nya. Agar semua, tak selalu menjadi kepenatan hatiku.
Sore hari, aku datang ke kampus lebih awal, sengaja ingin mempersiapkan diri, agar tampil baik nanti. Ku lihat, ada kang Khaerul di situ, dia menyapaku, ”dik? Jadi main biola nanti?” tanya nya, ”iya kang, insyaallah, tapi katanya hanya sekedar untuk mengiringi” jawabku, kang Khaerul hanya tersenyum mendengar jawabanku.
Tak lama, ”itu akang yang minta. Akang tau adik pandai main biola, dari pada di anggurkan begitu saja, lebih baik di pakai amal kan?” singkatnya. ”iya kang” jawabku dengan senyum.
Saat itu, instrumen lagu-lagu dari Afgan yang aku mainkan di panggung, baru beberapa menit, ku dengar suara ikhwan yang bernyanyi seiring dengan iringan biola yang ku mainkan naik ke atas panggung. Subhanallah, takdir Allah kah? Setelah dulu aku menjadi rekan di seminar, sekarang kah waktu yang Allah beri untukku bisa berada di satu panggung lagi? Suaranya indah. Aku hanya tersenyum menyapa.
Jika inilah saat dimana aku halal bagi dirinya, itulah hal yang paling membuat hidupku sempurna. Aku tahu Allah tak suka hamba yang berandai-andai, tapi, aku hanya ingin dan berharap semua ini nyata ada dalam takdir hidupku, yang bukan hanya kilauan semata.
Beberapa tahun berlalu, perasaanku pada kang Khaerul tetaplah seperti itu. Meski yang begitu memperhatikan ku itu sebenarnya kang Farid, tapi, aku tahu itu wajar. Aku hanya menganggap kang Farid itu kakak ku sendiri, dan begitupun kang Farid kepadaku.
Jika tidak salah, besok hari dimana kang khaerul sidang. Aku sengaja menunggunya dari kejauhan, aku hanya ingin menjadi orang yang pertama kali tahu jika kang khaerul lulus. Meskipun kang Khaerul belum tentu melakukan hal yang sama jika suatu hari nanti aku ada dalam posisinya. Yang terpenting bagiku, adalah hari ini.
Aku menunggu kang Khaerul sidang, sejak pagi sampai lembayung mulai nampak, aku tetap menunggunya. Hingga akhirnya di umumkan, jika kang Khaerul lulus.
Saat aku mulai berlari dari kejauhan, langkahku terhenti seketika. Ku lihat, sudah ada akhwat yang mengucapkan selamat, lebih dulu dari pada ku. Hatiku rasanya sakit. Saat perjuanganku, aku menunggunya, ternyata hasilnya seperti ini. Aku tahu, akhwat itu begitu sempurna, lebih dari pada ku. Hingga akhirnya, kang Farid melihatku, ”Dik! Sini” seru nya, aku datang mendekat, ”selamat kang!” ucapku sambil tersenyum menahan sakit. ”terimakasih dik, eh, dik salma sudah bertemu Khaerul?” tanyanya, ”sudah” jawabku singkat. Yang aku mau, hanya menenangkan diri. Meski aku tahu, jika jawabanku itu hanya menggores luka di hatiku.
Singkat cerita, aku tak pernah bertemu kang Khaerul lagi, tapi rasanya, kenapa perasaanku masih saja sama? Aku sungguh tersiksa. Aku hanya bisa menahan sakit. Perjalanan hidupku, rasanya terlalu berat. Aku memendam sesuatu yang tak pernah orang itu tahu. Aku mencintainya.
Bersabar hanya satu-satunya jalan yang ku lalui. Ku serahkan semua ini. Dan mulai menerima. Aku hanya berusaha menitipkan semuanya.
Sudah lama, rasanya aku tidak pernah ditawari lagi mengisi acara. Hingga akhirnya, seperti biasa, kang Farid yang menawariku tampil lagi.
”dik, ada jadwal tidak bulan depan?” tanya kang Farid di depan pagar rumahku. ”sepertinya tidak ada kang, memangnya ada apa? Ada tawaran lagi?” jawabku penasaran. ”iya dik. Mengisi acara pernikahan. Ada ikhwan yang minta pentas instrumen dari adik katanya. Kalau tidak salah, tanggal tiga puluh bulan depan ya?” jelasnya. ”iya kang insyaallah.” jawabku.
Siapa yang akan menikah? Rasanya tidak ada khabar sedikitpun yang datang padaku sebelumnya.
Menunggu tanggal tiba, hatiku rasanya tidak nyaman. Sengaja aku bangun di sepertiga malam.
Ya Rahman..
Ketidak tenangan hati ini mungkinkah karena aku sebegitu jauhnya dengan Mu? Ampuni aku Ya Rabb..
Bila mana Engkau tak menyukai apa yang ada dihatiku saat ini, berilah jalan yang terbaik untukku. Agar tidak selamanya aku larut dalam penantian ketidak pastian. Aku hanya minta ridho-Mu dari semua penantian ini. Sekalinya izin-Mu tak menerangi, berikanlah aku keluasan. Dan berikanlah aku, sesuatu yang pantas untuk ku jalani.
Ya Rabb, faghfirlii..
Amien.
Usai tahajjud, sengaja ku raih handphone diatas kasur ku. Entah apa yang mendorongku, aku hanya teringat kang Khaerul.
Bismillah.
Di sepertiga malam ini, kau pernah ingatkanku akan indahnya malam, dan syahdunya cinta Tuhan.
Kau insan yang begitu dinanti syurga, yang begitu dicinta bidadari. Damainya qalbu atas teduh hatimu, bagai tetes embun di sahara yang gersang.
Siapapun yang akan menjadi halal mu nanti, aku yakin, dialah sang perindu syurga. Karena dirimu, yang amat dicinta.
Aku tak mengharap adanya balasan, karena sudah biasa kang Khaerul tidak pernah mengirimiku pesan apapun lagi.
Satu jam berselang, ada satu pesan masuk terlihat di layar handphone ku. Pesan itu tak segera kubaca, rasanya malas. Dan terlalu malas untuk membaca. Aku tak tahu itu dari siapa, sengaja kudiamkan hampir tiga puluh menit. Saat menepis rasa malas, segera ku ambil handphone ku dan membacanya. Nama kang Khaerul yang ada disana, dengan rasa penasaran, segera ku buka pesan itu.
Adikku, maafkan Khaerul yang tidak pernah lagi menghubungimu, setidaknya untuk bertanya kabar sekalipun. Sungguh, bukan maksud memutuskan tali persaudaraan yang sudah lama terjalin.
Adikku, bilamana sampai waktuku untuk meminang seorang bidadari, tentulah itu dirimu. Lamanya penantian dari pertama aku mengenalmu, sungguh ada sesuatu yang amat aku harapkan. Menjaga kehormatan dirimu sebagai calon pendamping hidupku, amat ku jaga.
Namun, inikah takdir Allah? Pendamping yang selama ini kunanti, ternyata bukan dirimu. Berat hati kusampaikan ini. Aku mencintaimu karena Allah.
Ketahuilah, saat hatiku hendak memilihmu, namun tetaplah bukan itu yang Allah ingin.
Semoga yang akan menghalalkanmu kelak, dapat lebih mendamaikan lara mu.
Tanggal tiga puluh besok, aku sangat mengharapkan kehadiranmu. Meski kehadiranmu bukan sebagai calon bidadariku. Namun kau tetaplah yang kurindu sebagai Adik tercinta.
Aku akan sangat bahagia bila kau dapat hadir di pernikahanku besok.
Maaf.
(Khaerul al-Ghifari)
Hatiku rasanya hancur, ingin rasanya menjerit sekencang yang kubisa. Mengapa bisa aku tidak mengetahui jika dia juga mengharapkanku? Semuanya terlambat untukku. Dia bukanlah untukku meski sedemikian rupa hatiku dan hatinya berharap.
Embun menetes dari ujung mataku, berat yang dapat ku terima. Aku hanya bisa beristighfar.
Ya Rabb, ampuni aku.
Ku berlari keluar dari rumah dan mengetuk pintu kang Farid. ”assalammu’alaikum” teriakku. ”wa’alaikumsalam” jawab kang Farid membuka pintu.
”ada apa dik?” tanyanya. ”ada sesuatu yang ingin salma tanyakan kang.” jawabku. Dia mengajakku duduk di kursi dan menceritakan apa maksud kedatangan ku.
”begini kang, apa benar yang mengundang salma tampil itu kang Khaerul? Dia akan menikah? Akadnya besok?” tanyaku. ”iya dik, Khaerul yang menikah, dengan Hanifah. Teman masa ’aliyah nya dulu.” jawabnya. Aku langsung terdiam. Dan Kang Farid, menunduk. ”aku tahu, kau menyimpan harapan padanya. Aku tahu dik.”, kulihat, raut wajah kang Farid berubah, dia menunduk tanpa mau menatapku.
”maka dari itu, aku tidak pernah memberi tahumu siapa yang akan menikah, aku hanya tidak ingin melihat air matamu menetes, bahkan saat kelulusan pun, aku tahu kau menunggu Khaerul, kau bilang kau sudah bertemu dengan nya padahal itu bohong. Hanya karena kau tak ingin sakit hati. Aku tahu itu” lanjut kang Farid dengan senyum kecil. Aku masih tetap terdiam. Tanpa banyak berkata, aku langsung pamit dan pergi meninggalkan kang Farid.
Aku berjalan menuju hamparan sawah yang Allah tata di belakang rumah ku. Aku duduk diatas batuan pinggir sungai. Mataku jauh memandang langit, dan hatiku, masih sangat terpukul. Angin berhembus lembut bergantian seolah ingin mengusap airmata yang sempat mengalir di pipiku.
Ya Rabb, inikah takdirmu? Atau inilah nasibku? Mengapa hati ini begitu sakit untuk yang kesekian kalinya? Air mata yang terkuras, tetap tak mampu menundukkan ketetapan mu.
Maafkan aku.
Tapi aku tak bisa menyembunyikan semua rasa sakit ini lagi. Rabb, ajarkanlah padaku makna Qana’ah. Agar ku dapati cahaya meski sendiri di tengah gelapnya hitam.
Pagi sudah menyapaku. Aku segera bersiap diri. Sekarang tanggal tiga puluh, sebenarnya, hatiku berat untuk mengikhlaskan aku pergi kesana. Tapi, aku tidak ingin mengecewakan kang Khaerul. Sebisa diri aku menahan airmata agar tidak menetes saat berjumpa kang Khaerul nanti.
Aku sampai lebih awal, kulihat, memang masih sepi, acaranya pun sederhana menurutku. Aku masuk dan mencari calon bidadari kang Khaerul. Terlihat dari kejauhan, sesosok akhwat putih dan cukup tinggi tersenyum kepada ku. Menyapa dan mendekatiku.
”namamu Salma kan? Khaerul sudah bercerita cukup banyak tentangmu. Aku senang Khaerul bisa mengenalmu.” begitu katanya. Ku rasa, dia memang pantas untuk kang Khaerul. Aku hanya tersenyum.
Akad nikah dimulai, aku tak kuasa mendengar semuanya, yang tadinya aku duduk didepan menyaksikan ikrar suci, aku tetap tak bisa mendengarnya. Aku takut air mataku menetes dihadapan kang Khaerul, ataupun Hanifah. Aku berlari keluar, aku duduk di kursi taman dekat rumahnya. Astaghfirullah, airmata ku keluar, ya Rabb berikanlah aku keluasan hati.
Aku dihampiri kang Farid, segera aku menyeka air mata
ku.
”dik, mari? Sebentar lagi adik tampil. Lagi pula akadnya sudah selesai. Berbahagialah.” ucapnya menenangkan.
Aku yakin pasti kang Farid tahu aku menangis.
Aku naik keatas panggung. Dan ku ucap
”Aku persembahkan lagu-lagu ini, untuk sekedar menghibur dan sebagai hadiah pernikahan dari ku untuk kang Khaerul juga bidadari tercintanya.”
Kulihat, kang Khaerul menatapku dan kemudian menunduk terdiam. Lebih sakit saat kulihat tangan lembut istrinya memegang dagu kang Khaerul hingga mereka saling menatap dan aku menyaksikannya. Ya Rabb.
Kumainkan alunan-alunan instrumen lagu dari Afgan, yang pernah ku mainkan dulu bersama kang Khaerul, untuk sekedar mengenangnya.
Saat aku sadar, lagu ini, yang ada diantara aku dan kang Khaerul dulu, tapi sekarang, lagu ini yang ku persembahkan untuk pasangannya.
Air mata menetes dari ujung mataku tepat ke atas biola yang ku pegang. Air mata itu melintas hingga akhirnya menetes dari ujung biola ku. Aku mencoba setegar mana yang kubisa, menahan air mata lagi, dan lagi.
Ketika acara selesai, aku tak lupa memberi ucapan selamat untuk kang Khaerul. ”selamat kang, Salma turut bahagia. Barakallah” ucapku seraya tersenyum. Meski aku tahu senyumku ini hanya menggores qalbu. Aku pergi meninggalkannya. Dengan air mata yang menetes.
Sampai dirumah, segera ku kirim pesan untuk kang Khaerul, hanya sebuah bingkisan do’a dariku.
Bismillah.
Semoga ikrar yang telah mengikatmu dengan sang bidadari jelita, membuatmu semakin dekat dengan illahi. Melahirkan generasi Islam yang ta’at. Dan menjadi mubaligh/mubalighah. Jaga istri yang telah kau tunjuk hatinya. Ingat semua kasih sayang yang telah kalian rangkai. Jangan pernah melukai hatinya.
Semoga keluargamu, sakinah.
(Salma khairunnisa)
Aku tidak mendapat jawaban darinya. Kuputuskan, memulai langkah baru, itu yang akan ku pilih. Aku mencoba menutup harapan lama dan membuka hati yang baru. Aku yakin Allah menyimpan seseorang untukku, jauh yang lebih tepat untukku.
Aku terlelap, hingga terbangunkan adzan shubuh. Usai shalat, aku tidak segera keluar dari kamar. Aku hanya duduk dan melanjutkan tugas kampus yang sudah ku tunda dari kemarin. Hingga akhirnya, suara ibu memanggilku.
”Salma, kemari. Ada tamu nak.” panggilnya.
”iya bu, sebentar.” jawabku. Segera aku merapikan kerudungku dan menuju ruang depan. Kulihat ada banyak orang disana.
”duduk nak.” ucap ibuku. Aku duduk disamping ibu dan bertanya ada apa sebenarnya?
”aku hendak meminangmu. Maukah dik Salma menerima pinanganku? Atau mungkin, adakah syarat untuk ku penuhi?” tanya seseorang. Aku terdiam dan kembali menatap ibu dengan heran. ”bu?” tanyaku. Aku bingung.
”bismillah, salma tidak ingin mengambil keputusan secara mudah, salma ingin mematangkan hati salma, bisakah beri salma waktu untuk menjawabnya? Besok insyaallah,
akan salma jawab.” ucapku.
”baiklah, dengan senang hati saya menunggunya. Dik salma, saya tidak pernah memaksamu untuk menerima nya, apapun keputusannya akan saya terima dengan berlapang dada. Dan ikhlas. Karena saya meminangmu, atas dasar Lillah.” jelasnya padaku.
Semua rasanya terjadi begitu cepat, malamnya, segera aku beristikharah setidaknya untuk memantapkan hatiku.
Selang beberapa jam berlalu, sekitar pukul 10.00 pagi ku kirim pesan padanya.
Dengan mengucapkan bismillah, dan kemantapan hati. Atas dasar keinginan melengkapi separuhnya agama dan menjadikan sebuah keluarga berlandaskan agama pula. Dengan ikhlas, saya menerima pinangan antum, dengan tanpa suatu syarat apapun yang akan menghalangi jalan suci untuk kita.
Bimbinglah Salma dalam arungi luasnya samudra kehidupan nanti, ajari Salma menjadi pribadi yang ta’at, dan imamilah Salma dalam setiap sujud panjang.
Semoga Allah meridhoinya.
Amiin.
(Salma Khoerunnisa)
subhanallah,. :)
ReplyDeleteSubhanalloh pisan :D ieu anu kenging teh Annisa teh?
ReplyDeletekengeng abi,, jhehe :D bhong ketang
ReplyDelete😑😬
ReplyDelete