UMAR IBNUL KHATTAB ra dan ABU MUSA ra
Oleh : Shiddiq Amien
Umar Ibnul Khattab ra adalah sahabat kepercayaan Nabi saw yang sekaligus juga salah seorang mertua Nabi saw . Putrinya yang bernama Hafsah ra adalah salah seorang istri Nabi saw. Umar mendapat julukan “ Al-Faruq “ yang artinya “ Pembeda atau pemisah “ yakni orang yang bisa dan punya komitmen untuk memisahkan antara yang hak dan batil. Umar juga merupakan sosok yang mukhlis, sekaligus tegas dalam mempertahankan al-haq. Nabi saw. juga pernah memberikan beberapa penilaian dan pujian kepadanya dengan menyatakan : “ Sesungguhnya Allah telah menyimpan kebenaran pada lidah Umar. “ Dalam kesempatan lainnya Nabi saw bersabda : “ Jika Umar masuk ke sebuah gang, maka syetan lari masuk ke gang yang lainnya. “ Ini menunjukkan bahwa Umar adalah seorang muslim yang mukhlis, orang yang selalu ikhlas dalam beramal. Orang Mukhlis memang ditakuti oleh syetan, seperti dijelaskan Allah swt dalam firman-Nya : Iblis berkata : “ Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik ( perbuatan maksiat ) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka “ ( QS. Al-Hijir : 39-40 ).
Dalam hadits riwayat imam Al-Bukhari diriwayatkan bahwa tiga buah usulan Umar ibnul Khattab ra kepada Nabi saw diperkuat oleh wahyu Allah swt.atau menjadi asbabun nuzul beberapa ayat kepada Nabi saw . Usulan pertama, Umar mengusulkan agar Maqam Ibrahim dijadikan mushalla ( tempat shalat ), tidak lama kemudian turun firman Allah swt : “ Dan jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat “ (QS.Al-Baqarah : 125 ). Usulan kedua, Mengingat yang bertamu ke rumah Nabi saw bukan hanya orang-orang baik-baik, tapi juga orang-orang jahat, Umar usul agar istri-istri Nabi memakai hijab, turunlah QS. Al-Ahzab : 53 . Usulan ketiga, Ketika istri-istri Nabi saw mengajukan semacam tuntutan akan kondisi kehidupan keluarga Nabi, para istri Nabi saw mungkin melihat kebiasaan para istri pemimpin yang hidupnya senang, bahkan mewah. Maka yang “ marah “ atas keinginan para sitri Nabi saw ini adalah Umar, karena disana ada putrinya – Hafsah. Umar berkata : “ bagaimana jika Allah menyuruh Nabi mencerai kalian, dan menggantinya dengan wanita-wanita yang lebih baik. “ Maka turunlah kepada Nabi saw : “ Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari pada kamu, yang patuh, yang beriman, yang ta’at, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang shaum, yang janda dan yang perawan.” (QS.At-Tahrim : 5 )
Sementara Abu Musa Al-‘Asy’ary yang nama aslinya Abdullah bin Qeis ra adalah salah seorang sahabat kepercayaan dan kesayangan Nabi saw, juga menjadi kepercayaan dan kesayangan para khalifah dan sahabat-sahabatnya. Semasa Nabi saw masih hidup Abu Musa diangkat bersama Muadz bin Jabal sebagai penguasa di Yaman. Sepeninggal Nabi saw. Abu Musa kembali mukim di Madinah, dan bergabung dalam pasukan kaum muslimin menghadapi pasukan Persia dan Romawi. Pada Masa Khalifah Umar, Abu Musa diangkat menjadi gubernur di Bashrah. Khalifah Utsman juga mengangkatnya sebagai gubernur di Kuffah.
Suatu ketika Khalifah Umar ibnul Khattab mengundang Abu Musa untuk datang di rumahnya. Abu Musa pun memenuhi undangan tersebut. Sesampai di pintu rumah khalifah Umar, Abu Musa mengucapkan salam seperti yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. ( QS. An-Nur : 27 ) Abu Musa mengucapkan salam tiga kali, tapi tidak ada yang menjawab salamnya itu, mungkin karena suara Abu Musa yang kurang keras, sehingga tidak terdengar oleh penghuni rumah khalifah Umar. Maka Abu Musapun pulang kembali ke rumahnya.
Setelah khalifah Umar menunggu lama, dan Abu Musa tidak muncul juga, maka khalifah Umar mengutus orang untuk menyusulnya. Ketika Abu Musa datang, khlaifah Umar menegurnya : “ Kenapa engkau tidak mau datang memenuhi undanganku ? “ Abu Musa menjelaskan : “ Saya tadi sudah datang kemari, dan saya telah mengucap salam tiga kali, tapi tidak ada yang menjawab salam saya, maka sesuai dengan sabda Nabi saw. yang menyatakan bahwa jika kamu mau bertamu, lalu kamu mengucap salam tiga kali, dan tidak ada yang menjawabnya, maka kamu harus kembali. Ya, saya balik lagi ke rumah. “ Khalifah Umar rupanya kaget dengan keterangan Abu Musa, karena Umar belum pernah mendengar ada sabda Nabi saw seperti itu, lalu bertanya : “ Benarkah perkataanmu itu wahai Abu Musa, kok, aku belum pernah mendengarnya? Jika engkau benar tolong hadirkan kepadaku saksinya. “
Dengan hati sedikit waswas Abu Musa meninggalkan rumah khalifah Umar, Abu Musa tidak ingat lagi siapa sahabat yang hadir ketika Nabi saw menyampaikan ketentuan itu. Maklum peristiwanya terjadi beberapa tahun silam, sudah melewati masa khilafah Abu Bakar ra. Kemudian Abu Musa mencoba menemui beberapa sahabat yang masih hidup, tapi semua sahabat yang ditemuinya mengaku tidak hadir pada peristiwa itu. Hati Abu Musa semakin waswas, sebab jika tidak diketemukan saksi, Ia kawatir oleh khalifah Umar dituduh telah berdusta atas nama Nabi saw. Hingga akhirnya bertemu dengan Abu Sa’id al-Khudzri yang menyatakan bahwa dirinya hadir pada peristiwa itu, kemudian keduanya menghadap kepada khalifah Umar dan menjelaskan kebenaran sabda Nabi saw tersebut. Barulah baik Umar maupun Abu Musa tentram dengan kesaksiannya itu.
Dari kisah di atas, ada beberapa ‘ibrah atau pelajaran yang bisa kita petik, antara lain : Pertama, Jika kita ingin menjadi manusia yang ditakuti syetan, sehingga syetan tidak berani menggoda dan menjerumuskan kita kedalam lembah dosa dan kehinaan, maka jadilah orang yang mukhlis. Kedua, Jika kita mau bertamu ke rumah orang, kita diperintahkan mengucap salam, dan jika sudah tiga kali mengucap salam tidak ada yang menyahut atau menjawabnya, hendaklah kita pulang. Ketiga, Kita harus berhati-hati dalam menggunakan hadits, karena di samping ada hadits-hadits yang sahih, banyak pula yang dla’if bahkan hadits mau’dlu atau hadits palsu. Jangan asal bahasa Arab, apalagi diawali dengan kalimat “qala Nabi saw “ ( Nabi saw bersabda ) tanpa jelas rawi dan sanadnya , kemudian dianggap hadits. Ini bisa menimbulkan masalah yang serius dalam urusan agama. Wallahu’alam
No comments:
Post a Comment