Pagi itu, mataku terbangun dengan suara
keras alarm handphone di atas meja. Segera kuambil air wudhu dilanjut sholat
shubuh di gubuk kecil itu. Usai sholat, anganku terbang seketika. Mencoba
menyusun kata dan sikap apa yang harus ku persembahkan untuk mereka.
Ku ambil
secarik kertas dan sebuah pena bertinta hitam. Perlahan, kutarik satu persatu
kata yang berlalu-lalang di dalam pikiranku. Dengan harapan, meskipun tak dapat
ku pandang mereka dalam waktu panjang, mereka tetap bisa merasakan kehadiranku
dan kerinduan yang begitu mendalam.
Sudah lama aku
tak berjumpa dengan dua sahabatku itu. Bahkan berbulan-bulan aku tak dapat
menemuinya dengan berjuta kehangatan. Hingga akhirnya dapat kutemui satu waktu
dimana Allah memberiku luang untuk berjumpa.
Kubayangkan puluhan
kisah indah dalam tangis, bahkan tawa bersama mereka satu tahun yang lalu,
tepat di enam bulan pertemuan kami. Sebelum akhirnya, takdir bawaku pergi dan
beranjak tinggalkan mereka. Dengan entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu.
Tega membuat mereka jatuh menangis dan berlari menahan langkah ini agar aku
dapat berpikir ulang. Namun kuabaikan dengan mudah.
Sungguh, betapa
kejamnya diri ini. Sahabat yang begitu lekat. Kawan yang begitu penyayang.
Kusia-siakan begitu saja.
Dan inilah hari
dimana aku dapat memeluknya dengan berjuta asa dan tawa bahagia.
Segera ku siapkan
diri. Kupakai baju putih panjang dipadu rok berwarna coklat muda dan kerudung
putih bercorak. Senyumku nampak mengembang di depan cermin. Dan berdo’a, semoga
hari ini dapat kupenuhi janjiku.
”bu, berangkat..
Assalammu’alaikum.” ucapku sambil menutup pintu rumah.
Berdiri menunggu
angkutan umum cukup selalu membuat kakiku pegal, dan pagi itu aku dipaksa
menunggu cukup lama. Perlu tiga kali naik angkutan umum untuk dapat sampai
kesana. Dan kuputuskan, untuk mampir sebentar membeli buah tangan untuk mereka
sebagai teman sepucuk surat yang sudah kusiapkan sebelumnya. Lalu melanjutkan
perjalanan. Di sepanjang perjalanan, aku tak henti membayangkan kebahagiaan apa
yang akan terjadi. Hingga tak sadar, tinggal beberepa meter lagi aku sampai.
Mobil menepi dan
aku segera turun dengan tak lupa memberikan ongkos.
Kakiku melangkah
dengan pasti. Dengan bahagia. Bahkan langkah yang cepat dan tak sabar ingin
segera berjumpa.
Nampaknya aku
sedikit terlambat. Acara sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Segera saja
aku duduk di kursi paling belakang. Menatap puluhan orang yang khusyu mengikuti
acara. Suasana begitu hening. Dan itu yang selalu aku sukai dari tempat itu.
Tenang, dan
nyaman.
Tak lama, acara selesai.
Betapa bangganya hatiku, dapat segera memeluk erat raga mereka.
Banyak adik
adikku yang datang mendekat. Mencoba bersenda gurau melepas rindu yang tercipta
karena batasan ruang.
”ukhtii,
tebak siapa ana? Masih ingat kan?”
”ukhtii,
kenapa jarang balas smsnya? Nomber antum masih aktif?”
”ukhtii,
ada salam....”
Begitu banyak
ucapan mereka yang dapat telingaku tangkap dengan baik. Tapi, mataku belum
sempat melihat mereka dengan banyaknya orang yang berkerumun.
”mana ukhtii
Silmi?” tanyaku segera.
”itu..” jawab
seseorang disampingku. Segera dia memanggilkannya untukku.
”ukhtii
Silmi!” teriaknya. Dengan spontan gadis itu berbalik dan tersenyum lebar
menatapku. Hanya saja, saat itu kurasakan sesuatu yang aneh.
Widi menarik
lenganku dan menemaniku menepi ke depan koperasi.
Aku bingung,
wajah mereka tak seceria biasanya. Aku tak henti berlalu lalang mencari sesuatu
yang kurasa hilang. Tapi apa? Tak kutemui jawabnya.
”Silmi mana?”
tanyaku lagi. ”tuh di sana” jawab Nur. Tak segera ku hampiri raganya. Sengaja
kucari waktu yang tepat. ”Nis, chacil...” ucap seseorang di depanku. Segera ku
berbalik dan lihat gadis itu. Dipeluk seseorang dengan air mata yang mengalir.
Mengapa? Beribu
tanya hadir dalam benakku. Dan tetap saja tak kutemukan jawabnya.
Segera ku
hampiri. Membuka sedikit celah dari kerudungnya dan memastikannya tak menangis.
Namun aku salah. Matanya begitu merah dan air mata menggenangi wajah mungilnya.
”kenapa??”
tanyaku lirih. Sahabatku itu hanya diam menatapku dengan tak lama merangkul
ragaku erat. Aku semakin tak mengerti. Ada sesuatu yang tidak beres pagi itu.
”Cil, kenapa? Tak
biasanya kau menangis seperti ini..” tanyaku lagi dan lagi.
”terbawa
suasana.” jawabnya singkat.
Apa ini? Suasana
apa? Rasanya langitpun tak restui kehadiranku.
Nur menarikku duduk
di serambi masjid.
”Nur, sebenarnya
ada apa?”
”sebenarnya ada
peraturan yang melarang kami berbicara bahkan mengobrol dengan orang lain.
Sejak kejadian itu terjadi.. entahlah” jawabnya.
Aku bingung, tak
kuasa menahan tangis. Aku sangat sangat merasa bersalah dengan semua yang
terjadi. Apa kehadiran ini adanya menjadi sebuah musibah bukannya hadiah? Ah
Rabb. Aku tak mengerti. Rasanya jutaan rindu jatuh, pecah dan hilang bukan
terbayar pertemuan. Tapi terbayar sesak yang teramat sakit.
Bukan karena
merasa terasingkan. Tapi pikiranku jauh memandang nanti. Bisakah kutahan rindu
begitu lama untuk kedua sahabatku itu? Bisakah kutahan rasa cemburu melihat
kedua sahabatku itu lebih dekat dengan orang lain? Lantas bisakah ku biarkan
mereka menjauh? Bisakah Rabb?
Aku tak kuasa.
Aku tak kuasa membiarkan mereka begitu saja tanpa sebuah kabar. Aku rindu
dengan semua kedekatan itu. Tapi aku tak bisa pentingkan ego. Aku juga inginkan
sebuah ketenangan bagi mereka yang hendak mengabdi.
Aku diam
mematung. Tak bisa ungkapkan sepatah katapun. Suasana tetap hening. Tak ada
tawa sedikitpun. Hanya tetes air mata ditengah diamnya lidah selimuti diri ini.
Ku tatap perlahan
wajahnya. Ku coba mengingat jelas raut wajahnya. Untuk waktu lama yang tak bisa
ku dapati lagi.
Mataku tetap tak
melihat Silmi, satu dari dua sahabatku selain Chacil.
”di sana.” ucap
Asni dengan menunjuk satu tempat. Aku hanya mengangguk dalam diam.
Mataku beberapa
kali berputar memandang tempat itu dari serambi masjid. Namun tetap tak dapat
kulihat wajahnya dengan jelas.
Kuambil sebuah
buku kecil dari dalam tas hitamku. Kutulis beberapa bait permohonan maaf yang
mendalam kepada kedua sahabatku. Bila adanya diriku, tak membuat semua menjadi
lebih baik. Ku robek dan melipatnya dengan rapi, seperti lipatan apa yang pernah
diajarkan dua sahabatku itu pada diri ini. Segera ku sodorkan kertas itu tepat
dihadapan Chacil kawanku, disertai senyum tipis yang ku ukir.
Kupinjam buku
kecil yang sedari tadi dipegangnya. Segera ku tulis pula rangkaian kata rindu
dan penyemangat mereka.
”Selamat
Berjuang” ucapku.
Sesekali air
mataku menetes seberapa kuatpun aku menahannya.
waktu berlalu
dalam hening. Silmi beranjak dengan tundukan kepala bersama beberapa orang lain
yang juga berlalu dari tempat duduk.
”Silmi, itu..”
ucap seseorang yang samar terdengar telingaku. Silmi menatapku dengan tangisan
yang sama, ketika dia menangis untukku saat aku pergi.
Aku tak peduli.
Aku tak memandang wajahnya sedikitpun, seberapapun aku menginginkannya. Aku tak
sanggup melihat tangisnya. Aku tak sanggup melihat wajahnya meskipun sebagai
kenangan di esok hari. Aku tetap menunduk dan lanjutkan menulis dalam buku
kecil Chacil tanpa menghiraukan kehadirannya.
Sebisa diri
kutahan air mata. Namun serangan mereka terlalu kuat. Aku menangis dalam
tundukan kepala tanpa keluarkan suara sedikitpun. Aku tak ingin dia tahu aku
menangis. Kusembunyikan namun tetap saja tak membuatku merasa tegar. Dia duduk
disampingku beberapa detik. Dan selanjutnya memeluk ragaku erat dengan suara
yang mendesah. Aku tetap tak hiraukannya. Aku menunduk tak membalas pelukannya.
Aku tak pernah
menginginkan sebuah perpisahan. Sesak rasanya aku melepas kedua sahabatku.
”Nisaa...
maaf....” ucapnya lirih. Aku tak kuasa menjawab setiap ucapannya. Semua hanya
membuatku lebih sakit lagi.
Perlahan dia
melepas pelukannya. Berdiri dan berlalu meninggalkanku dengan tangis yang masih
melekat.
Aku pahami itu
kawan. Karena akupun tak kuasa melepas kalian berdua.
Seiring
berlalunya Silmi dari pandanganku. Segera ku pandang wajah Chacil dihadapanku.
”Cil, sini. Ada
sesuatu tapi masih banyak orang” ucapku.
”Ya sudah, mau
pulang? Yuk dianter sampe
depan” jawabnya.
Aku hanya
mengangguk dan segera berjalan.
”apa Nis? ”
tanyanya segera. Aku diam tak menjawabnya. Segera ku buka tasku dan ku ambil
sepucuk surat yang sengaja ku buat tadi pagi sebelum menemui mereka, ditemani
sebuah bingkisan kecil. Biru untuk Chacil, dan kuning bergambar monyet lucu
untuk Silmi.
”nih, buat anti
sama Silmi” lanjutku.
Tak lama, kulihat
air mata Chacil jatuh dengan pelukan erat memeluk ragaku untuk kesekian
kalinya.
Aku tak bisa
mendengar jelas apa yang diucapkan untuk terakhir kalinya padaku. Isak
tangisnya terlalu bergema dalam ruang jiwaku.
”Sukses buat ke
Gontor nya.. jaga diri baik-baik.. dan jadi pemimpin yang baik” ucapku untuk
sebuah kalimat perpisahan.
Sungguh, hatiku
kacau dibuatnya.
”maaf” ucapku
sambil berlalu tinggalkannya.
Dalam perjalanan
pulang, kubaca sepucuk surat yang sempat Silmi beri lewat Asni padaku.
Bismillahirrahmanirrahiim...
Assalammu’alaikum..
Annisa, apa kabar? :’)
Sungguh, betapa senangnya hati ini melihat lagi wajah
indahmu lagi J
Tapi, betapa perihnya hati ini hanya karena sebuah aturan
yang berlaku, aku hanya bisa melihatmu dari jauh :’(
Sungguh betapa sakit dan perih hati ini karena keadaan
ini :’(
Aku begitu ingin memeluk erat dirimu, bercerita panjang
lebar kepadamu, setelah hampir ± 3 bulan lamanya kita tak bertemu..
Maafkanlah diriku ini nis, sungguh menulis kata-kata ini
begitu menyayat hati ini..
Ya Allah, sungguh aku tidak mau begini!
Rasanya aku ingin berlari menghadapmu dan menangis
sejadi-jadinya didalam rangkulanmu..
Wahai sahabatku, bintangku...
Annisaa...
Annisa...
Annisa..
L
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Wassalam..
Sahabatmu,
© Silmi F
Tesss.. tess.. sesuatu yang dingin jatuh basahi secarik
kertas itu lagi. Kutunggu dirimu di gerbang kesuksesan ’esok’ hari, kawan.
Meskipun tak dapat kukenali lagi apa arti ’esok’ dalam kamus hidupku saat ini.
No comments:
Post a Comment